Skip to main content

Kepedulian yang Melanggengkan Konflik (Israel-Palestina)

Palestinian kids having an ice-cream in Nablus Gambar diambil dari sini

Tiba-tiba saja banyak orang menuliskan tagnya di YM dan facebook, mengutuk kekejaman israel di Jalur Gaza. Demo anti Israel juga kembali marak di gelar di banyak kota. Postingan yang mengecam kebrutalan Israel (dan Yahudi) juga banyak menghiasi multiply dan blog. Semua mengutuk Israel (a.k.a. Yahudi). Tapi benarkah semua itu karena kita sungguh-sungguh peduli pada Palestina yang tertindas?

Di antara berbagai tanggapan tentang tindakan Israel itu, ada satu postingan yang menggelikan tapi sekaligus membuatku miris. Nada postingan seperti ini selalu muncul setiap kali konflik Israel Palestina kembali memanas, aku dapat dari milis jurnalisme. Media di Amerika dikuasai oleh lobby Yahudi! Maka tidak heran kalau fakta di lapangan selalu ditutupi dan dimanipulasi demi public relation campaign untuk mengelabui rakyat Amerika!

Lalu temanku membalas di milis yang sama dengan lucu, namun mengena.
Logika kalimat di atas sama konyolnya dengan :Pasar makanan kita dikuasai oleh lobby Sumatera, khususnya Padang! Maka tak heran kalau dimana-mana selalu ada restoran Padang yang dimanipulasi sebagai makanan asli Indonesia. Jawaban untuk logika seperti itu ialah : 1. Bikin restoran Padang tandingan, yang lebih enak, lebih murah, lebih bersih, lebih marketable 2. Bikin warung2 nasi selain Padang misalnya Warung Tegal, Soto Semarang, Coto Makassar, Bubur Manado, Sate Cirebon, Nasi uduk Betawi, Soto Lamongan, Rawon Surabaya, Jus Timun Aceh, dll. 3. Puasa makan makanan Padang 4. Mutih --- makan nasi putih doang. Selain supaya tidak terpengaruh cita rasa dan tipuan lobby Padang, mutih bisa membikin pelakunya "sakti mandraguna" seperti pendekar2 silat zaman dulu.

Selama ini, kita sering terjebak dalam kepedulian semu terhadap kasus-kasus kemanusiaan seperti yang terjadi di Jalur Gaza, tanpa berpikir bahwa bentuk kepedulian kita hanya mengekalkan penindasan itu sendiri. Secara gegabah kita menyamakan bahwa pelaku penindasan terhadap rakyat Palestina adalah bangsa Yahudi, kita lupa, apakah yang dilakukan Israel adalah perwakilan dari keinginan seluruh etnis Yahudi untuk menindas Israel? logika ini juga sama artinya dengan menyebutkan bahwa semua orang Jawa adalah penjajah, semua orang Islam adalah fundamentalis dan teroris. Kita lupa bertanya, Yahudi yang mana? Jawa yang mana? Islam yang mana? Generalisasi kita yang terburu-buru itu, justru melanggengkan kebencian dan prasangka, melanggengkan posisi mana korban mana penindas, dan itu semua membuat konflik Israel Palestina menjadi sesuatu yang mustahil untuk diselesaikan.

Carlos Bolado, B.Z. Goldberg, Justine Shapiro
, tiga sutradara film dokumenter 'Promises' (2001-pernah di putar di Jiffest travelling Bandung, 2002 tobucil-trimatra), mencoba melihat konflik ini dari perspektif yang berbeda. Selama tiga tahun (1995-1998) mereka mengikuti 7 anak dari latar belakang yang berbeda (Yahudi, Kristen, Islam) yang tinggal di Jerusalem. Ketujuh anak ini, dihubungkan satu sama lain dan dipertemukan. Awalnya banyak sekali prasangka dan ketakutan baik dari anak-anak itu maupun keluarga dan lingkungan mereka. Setiap anak punya trauma dengan perbedaan latar belakang ini. Masing-masing merasa jadi korban kejahatan konflik yang seolah-olah tak pernah selesai ini. Yang Yahudi merasa islam telah membunuh keluarga, tetangga dan teman-teman mereka, begitu juga sebaliknya dari yang islam dan kristen. Namun ketiga sutradara ini berhasil meyakinkan anak-anak ini untuk bertemu di suatu tempat.

Dengan pengalawan ketat, mereka bertemu dan mencoba saling mengenal. Mulanya mereka canggung, namun setelah tau bahwa satu sama lain menyukai basket, punya kisah-kisah lucu yang hampir sama di sekolah mereka, juga mereka berbagi kisah bagaimana di besarkan di Jerusalem. Suasana mencair. Mereka bisa bermain bersama dan melupakan kepahitan-kepahitan yang ditimbulkan dari latar belakang mereka. Mereka saling berteman satu sama lain sejak itu. Saat merka harus kembali ke rumah masing-masing, suasana haru tak bisa di bendung. Betapa mereka berharap, suatu hari nanti mereka bisa bertemu dan bermain bersama dengan mudah. Setelah pertemuan itu, mereka di wawancarai dan diminta pendapat mereka tentang latar belakang masing-masing. Ketujuh anak ini sama sekali berubah. "Ternyata tidak semua orang muslim adalah pembunuh", "tidak semua orang Yahudi itu jahat", "tidak semua orang kristen itu suka menyiksa". Prasangka yang mencair saat mereka akhirnya bisa saling mengenal dengan perbedaan masing-masing. Setahun kemudian, tiga sutradara itu kembali mewawancarai anak-anak itu, ternyata masih saling berteman, meski hanya bisa berkomunikasi lewat telepon.

Setelah rilis, film ini menjadi banyak pembicaraan dan menjadi alternatif penyelesaian konflik Israel Palestina. Solusi yang ditawarkan adalah dengan memutuskan rantai kebencian yang selama ini diturunkan secara turun temurun. Setiap anak Jerusalem yang lahir, mereka tumbuh dan dibesarkan dengan kebencian terhadap muslim, yahudi dan kristen. Sampai dewasa mereka dibebani oleh prasangka-prasangka satu sama lain. Luka-luka komunal dijaga sedemikian rupa oleh masing-masing pihak untuk membuat permusuhan diantara mereka tetap ada. Itu yang membuat rekonsiliasi di antara mereka sulit dilakukan.

Memang, Israel dan Palestina tidak seperti Afrika Selatan dan politik Apartheidnya. Israel Palestina, punya sejarah konflik yang jauh lebih panjang dan dalam, bahkan tertulis di kitab suci. Namun sebagai catatan sejarah, dia mengandung dimensi ruang dan waktu? dan tidak menutup kemungkinan untuk menafsirkan sejarah itu dalam konteks kekinian dengan perspektif perdamaian. Aku jadi ingat omongan salah satu mentor agama jaman aku SMA dulu, dia bilang bahwa jika sampai muslim dan yahudi (katakan Israel dan Palestina) itu sampai berdamai, itu tandanya dunia akan kiamat. Pertanyaan yang muncul dalam pikiranku sekarang, jangan-jangan konflik itu sengaja di langgengkan oleh kedua belah pihak karena keduanya tidak ingin dunia buru-buru kiamat.

Dalam keriuhan kecaman terhadap Israel (dan Yahudi), sebuah pertanyaan besar justru menggangguku, apakah kecaman itu muncul karena kita benar-benar peduli pada korban penindasan itu? ataukah kecaman-kecaman dan semua reaksi itu, tanpa disadari bagian dari pelanggengan konflik itu sendiri?

Seorang teman dalam postingannya bertanya: Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Palestina, memberi pelajaran kepada Israel, dan menciptakan perdamaian di wilayah itu? pertanyaan yang muncul di kepalaku justru Apa yang juga bisa kita lakukan untuk Israel dan meredam agresi mereka terhadap Palestina? Kukira jika kita sungguh-sungguh peduli dengan konflik ini, dukungan bukan semata-mata ada pada persoalan keberpihakan yang justru menimbulkan resistensi lebih besar dari salah satu pihak, tapi bagaimana konflik yang sudah sedemikian dalam dan mengakar ini, coba di tengarai dari akarnya: mengacu pada tiga sutradara promises yaitu dengan memutuskan rantai kebencian itu pada generasi berikutnya.

Keberpihakan membabi buta dan generalisasi kita dalam berpihak tanpa kita sadar hanya akan melanggengkan konflik itu sendiri. Kekerasan dalam bentuk apapun memang tidak bisa di benarkan, namun kekerasan bukan hanya sekedar pengeboman, generalisasi dan penyangkalan bahwa Israel dan Yahudi adalah dua identitas yang berbeda, itu juga bentuk lain dari kekerasan bernama pembunuhan karakter. Itu juga sama artinya dengan: menghukum pembunuh, bukan berarti juga pelakunya harus dibunuh juga. Jika solidaritas agama yang muncul, kita juga perlu bertanya, bukankah agama (semua agama) mengajarkan 'semulia-mulianya manusia adalah dia yang memaafkan kesalahan orang lain'. Pemaafan atau rekonsiliasi dalam perspektif konflik politik, bisa di mulai dengan membongkar prasangka-prasangka yang mendasari lahirnya konflik. Berhenti melakukan generalisasi bahwa apa yang dilakukan pemerintah Israel beban kesalahan etnis Yahudi secara keseluruhan, kukira itu bisa menjadi awal. Tidak semua hal berbau Yahudi patut di tentang dan tidak semua hal berbau Islam juga patut di bela. Mari kita lihat persoalannya dengan lebih jernih. Kita disini, punya jarak pandang yang cukup untuk melihat keduanya lebih jelas.

Comments

Anonymous said…
Salam wordpress mania…

Setujukah para wordpress mania bahwa:

Perang Selalu Menimbulkan penderitaan kedua belah pihak yang berperang, terutama warga sipil: wanita dan anak-anak.

Tanggapan dan tulisan di blog yang bernada emosional dan sarat kebeancian hanya akan mendatangkan dan memancing iblizz laknat memercikkan benih benih kebencian dan memencing timbulnya perang.

Dukungan terhadap salah satu atau beberapa negara yang berperang justru menambah semarak dan meriahnya perang itu sendiri, lama waktu perang menjadi lebih lama, dan tentuya jumlah korban perang semakin banyak, karena waktunya lebih lama dan manusia bodoh dan emosional yang ikut terlibat semakin uakehhh.

Propaganda-propaganda tentang semboyan-semboyan perang yang menurut saya kurang benar, conto Mati di Peperangan Mati SahiD, pasti masuk SuarGo. Banyak ormas dan organisasi elemen islam sedang diadu oleh kuasa iblis, mereka berpikir tidak sehat dan cenderung emosional. Pemimpin pemimpin dalam ormas islam tersebut hanya cari nama yang memanfaatkan momentum semboyan dan emosional yang berdasarkan soladeritas agama. Wagunya neng kene Mereka bilang Mati dimedan perang masuk surga tetapi mereka tidak berani berangkat tu.., mereka hanya ngomong ngedebus dan terus merekrut laskar perang berani mati. Mereka ndak peduli jika kita mati dan anak, istri, orangTua kita menangisi kita.

Berpikirlah Sehat.. Jangan emosional… Sing Sabar diSayang Gusthi Allah
dan suarakan paerdamaian serta hindari tulisan yang menimbulkan semarak PePerangan

Say no to war
Peace to Our World.
Anonymous said…
Jadi harusnya bagaimana?

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah