Skip to main content

Rumah Proses

Patung karya Aris Tosiga, 2004, Foto Oleh Tarlen
Foto Rumah Proses bisa di lihat disini.


Sore tadi, aku sama Moel berkunjung ke Rumah Proses yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Pemiliknya bernama Rudi St. Darma, pelukis yang namanya malang melintang sejak tahun 90-an. Sebelum membangun Rumah Proses, Rudi atau yang akrab dipanggil Uday, dikenal gigih dan militan dalam mengelola ruang alternatif lain bernama Galeri Barak, sebuah galeri atau tepatnya ruang berkesenian yang memanfaatkan sebuah barak tentara di daerah Setiabudi, Bandung.

"Waktu itu, kita dikasih izin menyewa tempat itu, dengna satu syarat, apabila, tempat itu dibutuhkan kembali, kita harus pindah dari tempat itu," jelas Uday. Galeri Barak sendiri akhirnya tutup seiring dengan kepindahannya dari Setiabudi, di awal tahun 2000. "Setelah itu, ya kita para pendirinya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Saya terus bikin Rumah Proses. Dulu tempatnya di Geger Kalong. Karena habis kontrak, akhirnya kita pindah ke sini. Alhamdulillah, sekarang disini (Jl. Mutumanikam, Buah Batu) sudah tempat sendiri."

Uday membangun Rumah Proses dengan semangat bermain yang perlu di uji terus menerus dan di presentasikan kepada publik. "Ada yang bilang, karena namanya Rumah Proses, berarti ga akan pernah selesai, tapi ya tidak apa-apa. Tempat ini kan di tujukan untuk menjadi tempat regenerasi, biar seniman-seniman muda yang berkarya disini, bisa jadi pemimpin, menciptakan trend bukan jadi pengikut," tandas Uday, meski untuk itu, Uday harus mengeluarkan uang pribadi untuk semua kegiatan yang berlangsung di Rumah Proses. "Ya, pelan-pelan, semampunya. Saya yakin sekecil apapun yang dilakukan disini bisa berarti dan bermanfaat. Mungkin manfaatnya tidak langsung, tapi seni itu kan bisa mengajarkan kita bagaimana bertoleransi. Dan saya harap peristiwa kesenian yang berlangsung di Rumah Proses bisa jadi catatan penting di kemudian hari."

Pada bulan Maret 2009, Rumah Proses akan memulai kegiatannya dengan menyelenggarkan program-program pameran untuk seniman-seniman muda.

Rumah Proses Jl. Mutumanikam 47, Buah Batu, Bandung
email: info@rumahproses.com web: www.rumahproses.com

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah