Skip to main content

Telepon Darimu di Hari Ke Sebelas Ribu Enam Ratus Delapan Puluh


foto oleh tarlen

Yang menjadi kejutan dan melegakan di hari ini adalah telepon darimu. Suaramu yang menyapa lebih renyah dari biasanya, memecah semua rantai utama persoalanku selama sebelas ribu enam ratus delapan puluh hari menjadi mahluk bernyawa. Suaramu itu, beberapa bulan terakhir ini sempat menjadi hantu yang sulit kumengerti. Berkali-kali aku menangisi kegagalanku untuk mengerti kamu. Berkali-kali dokter THT memberiku obat alergi, karena badanku pun ikut-ikutan bereaksi atas ketidak mengertianku atas rasamu. Lalu suaramu itu tiba-tiba muncul kembali, setelah berbulan-bulan kumatikan.

***

Masalahku itu dari dulu selalu berhubungan dengan soal: mengerti dan tidak dimengerti. Semua berpusat pada diriku. Aku yang ingin mengerti dan dimengerti. Dan semua psikosomatis yang merontokkan kekebalan tubuhku, selalu bersumber pada persoalan yang terakhir: merasa tidak dimengerti. Perasaan yang selalu mendorongku, menguji apapun, siapapun untuk afirmasi: 'ya sudah kuduga, kamu memang tidak mengerti aku.' Begitulah. Aku selalu termakan dugaanku sendiri.

Tapi telepon darimu, memecahkan semua itu. Ya, kamu mungkin memang tidak mengerti aku, banyak. Kamu hanya mengerti aku sedikit, tapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu. Aku pun tak selalu mengerti kamu, namun aku tetap merasakan cintamu itu, padaku. Ya sudahlah. Cintamu, cintaku dan perasaan saling silang di antara kita, tetap terkirim rasanya, meski kita tidak selalu saling mengerti.

Aku tidak perlu lagi selalu berusaha mengerti kamu, jika usahaku mengerti dan dimengerti hanya akan menyakitimu, menyakitiku dan membuat kita tersiksa dalam kebekuan yang melumpuhkan sebelah kakimu dan membuatku alergi. Pelajaran dari perjalanan hidupku di hari ke sebelas ribu enam ratus delapan puluh adalah: menerima kalo memang aku, seringkali tidak mengerti dan dimengerti. Karena semakin aku berusaha mengerti semakin aku tidak mengerti. Jadi lepaskan saja. Berterima kalau aku memang tidak selalu mengerti dan tidak selalu harus dimengerti. Kukira pelajaran penting bagaimana menjadi adil pada diri sendiri adalah pelajaran menerima bahwa aku tidak selalu bisa mengerti. Setelah itu, mungkin aku bisa berlaku lebih adil pada orang-orang yang kuanggap tidak bisa mengerti.

Besok, jika masih ada hari ke sebelas ribu enam ratus delapan puluh satu, aku akan tetap menyapamu dengan ketidak mengertian yang mulai bisa aku terima: 'Hai kamu, apakabarmu hari ini?'

Aceh 56,
30 maret 2009, ulang tahun ke 32

Buat kamu penghuni attic di ruang hatiku..

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah