Skip to main content

Menjadi Istiqomah

Pagi di aceh 56, foto: tarlen
Aku tidak sedang bercerita tentang sebuah masjid bernama Istiqomah di Jalan R.E. Martadinata, Bandung, tapi aku sedang ingin membicarakan soal 'menjadi istiqomah'. Pernah pada suatu hari, aku tidak dapat menahan kesedihanku karena temanku harus pindah ke pulau lain untuk membangun keluarga. Temanku ini aku anggap sebagai sahabat yang mengerti apa yang menjadi cita-citaku. Saat itu, kondisinya aku baru 'bercerai' dengan salah satu pendiri tobucil. Perceraian yang sangat menyakitkanku (sekarang lukanya sudah sembuh, tapi aku tidak pernah bisa melupakan bagaimana rasa sakitnya).

Perceraian yang disebabkan oleh temanku yang pendiri tobucil itu, berubah pikiran dan tidak ingin berada di tobucil lagi. Perubahannya sangat memukulku, karena tiba-tiba saja semua cita-cita bersama yang selama ini coba dibangun, kandas begitu saja. Sebenarnya kejadian seperti ini adalah hal yang lumrah terjadi dalam merealisasikan idealisme bersama. Tapi yang membuatnya menyakitkan atau tidak, adalah cara kandasnya. Ya, saat itu kejadiannya memang menjadi pukulan bertubi-tubi: tobucil pindah ke tempat ke dua dan harus membangun lagi semuanya dari awal, tobucil kehilangan uang yang sangat besar (kalau di hitung di atas kertas, sebenernya tobucil sudah bangkrut sejak itu), perubahan internal, juga persoalan kehilangan bapak yang saat itu belum selesai. Temanku yang pindah ke pulau lain itu, menawarkan punggungnya bagiku untuk bersandar sejenak dari kelelahan menanggung semua beban masalah itu sendirian. Namun belum hilang kelelahan, dia sendiri harus memulai hidupnya kembali, membangun keluarga baru yang selama ini dia impikan.

Menghibur diri dengan membeli "Lost Dogs" Side B nya Pearl Jam, ternyata tidak menghibur. Rasanya seperti menahan gunung berapi yang siap meledak. Tekanannya begitu kuat untuk menyembur keluar. Aku ingat, saat itu aku menelepon seorang teman yang lain, tapi tidak bisa berkata-apa karena aku ga kuat lagi menahan tangisku. Temanku panik dan aku hanya bisa menjelaskan apa yang terjadi lewat sms, aku tak sanggup berkata-kata. Semburan tangis itu harus keluar sebagai residu kesedihan yang mendalam. Lalu temanku yang kurator itu mengatakan sesuatu yang tak pernah kulupakan sampai sekarang: "Seorang avant garde selalu siap kesepian di puncak." Aku bukan avant garde, tapi saat itu aku seperti ditinggal sendirian di tempat yang sulit.

***

"Tidak ada yang memaksa kamu melanjutkan semua cita-citamu itu (dengan tobucil) kecuali dirimu sendiri," sahabatku yang selalu memberiku 'rumah' mengatakan itu padaku, saat aku menenangkan diri di tempatnya setelah perceraian itu. Ya, memang ga ada yang memaksaku untuk mempertahankan tobucil selain diriku sendiri. 'Bagaimana aku bisa melakukan hal yang lebih besar dari ini, jika ujian seperti ini aku ga mampu melewatinya?' Akhirnya aku menantang diriku sendiri dengan pertanyaan itu. Tantangan itu membuatku berusaha mengumpulkan kembali kekuatan diriku sendiri yang porak poranda. Dan saat itu, aku berusia 27 tahun dan meyakini bahwa Tuhan akan memanggilku dalam 30 menit kedepan di hari ulang tahunku. Dan tiga hari sebelum hari ulang tahunku itu, aku terserang vertigo akut. Dunia berputar. Aku memuntahkan semua isi perutku dalam putaran yang tak bisa aku kuasai. Aku kehilangan keseimbangan untuk berpijak.

***

Umurku 32 tahun sekarang. Tobucil masuk tahun ke-9. Persoalan kehilangan bapak sudah selesai. Diriku yang porak poranda itu, tersusun kembali dengan bentuknya yang tidak pernah sama lagi. Aku bertumbuh. Puncak yang dibilang temanku yang kurator itu, ternyata hanya tanjakan saja. Kehilangan seseorang seistimewa apapun dia, tentu membuatku sedih, tapi sekarang tidak lagi membuatku porak poranda atau sampai kehilangan keseimbangan. Semua yang menempaku ternyata membuatku pulih dengan cepat dan kembali pada keseimbangan kosmikku. "Tenang, kamu tidak sendirian. Jika kamu butuh teman, katakan pada angin, langit, burung-burung, bahwa kau merindukan teman-temanmu di sini, merindukan aku, merindukan keluargamu. Langitnya akan selalu langit yang sama kemanapun kamu pergi," nasehat sahabatku yang banyak memandu pencarianku, padaku sebelum aku menginjakkan kaki di negeri yang selalu aku impikan sejak remaja dulu.

***

Apa arti menjadi istiqomah sesungguhnya? apakah aku cukup istiqomah memegang cita-citaku melayani kemanusiaan dan harapan lewat apa yang kulakukan dengan tobucil? Jika diterjemahkan Istiqomah bisa berarti berdiri tegak, konsekuen, komitmen, berani menentukan sikap, mungkin seperti batu-batu di jeram udang Mahakam yang tak goyah oleh arus. Istiqomah itu berarti berkomitmen meretas jalan bagi cita-cita, menghadapi segala tantangan dan rintangannya. Mencintai dan memberikan ketulusan pada jalan cita-cita. Aku percaya, tanpa mencintai perjalanan mencapai cita-cita, kita tidak akan pernah bisa tulus pada tanjakan-tanjakan yang harus kita lewati. Semua pemandangan indah di atas tanjakan, tanpa ketulusan hanya jadi keluh kesah panjang yang menyia-nyiakan semua perjalan yang telah kita tempuh dengan susah payah.

Namun perjalan ini pula mengajarkan bahwa tidak semua godaan melepaskan komitmen disebabkan oleh kepayahan dan kepahitan perjalanan. Kelimpahan adalah godaan yang melenakan. Dalam dua bulan terakhir ini, aku menghadapi godaan kelimpahan itu. "Kamu pasti butuh uang untuk modal, mengembangkan usaha, gimana kalau ada yang ingin berinvestasi? atau kamu butuh dukungan ahli untuk memberi konsultasi bagiamana membuat usahamu jadi lebih besar lagi? Kamu daftar deh, aku yakin kamu bisa terpilih jadi community entrepreneur, lumayan loh hadiahnya 5000 poundsterling (tapi itu berarti aku menggadaikan semua yang seusah payah aku rintis untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinanku).... kamu orang yang tepat untuk membuat strategi entrepreneurship.. mau ya jadi orang nomer 1 di organisasi ini, tapi sebelumnya kamu mesti bicara dengan lembaga menyokong dana kita selama ini (bagaimana mungkin kakiku yang satu berjuang membuktikan bahwa program-program yang di jalankan di tobucil itu bisa di kelola secara mandiri, tapi kakiku yang satu berdiri di tempat yang perdua tahun menghiba ratusan ribu dolar dari lembaga donor asing)..."

Aku percaya, menjadi istiqomah itu, bukan berarti tidak mengenal kata kompromi, tapi menjadi istiqomah itu justru memahami dengan jelas, mana hal-hal yang bisa di kompromikan dan mana yang tidak bisa kompromi sama sekali. Dalam menghadapi lembaga donor (baca: investor) bagaimana mungkin bisa 'ambil uangnya, lalu kerjakan semau yang kita mau' atau juga cari aman ' kalau usaha yang dirintis ini sudah jelas menghasilkan, baru keluar dari pekerjaan tetap, itupun jangan terlalu mencolok' . Saran seperti itu, kurasa hanya mencerminkan sikap oportunis dan cari aman. Kurasa, kegagalan cita-citaku justru dimulai jika aku memutuskan bersikap sebagai oportunis selalu menginkan berada di posisi aman. Jika demikian yang terjadi, tak ada gunanya lagi meretas jalan cita-cita. Hidup dalam ilusi 'kompromis dan realistis', padahal realita tidak pernah bisa menyenangkan semua pihak dan berada di 'antara'. Realita selalu menuntut kita untuk memilih, menentukan sikap dan beristiqomah, jika tidak ingin hidup seperti gang gang yang hidup terapung-apung di lautan.

Aku bisa berkompromi dengan keterbatasan-keterbatasan 'teknis' dan tidak memaksakan standar pencapaian dalam perjalanan ini, namun jangan harap aku bisa berkompromi dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan keyakinanku. Aku tau, semakin bertambah lingkaran tahun, semakin tegak pohon itu berdiri. Jika akarnya terus-menerus di beri pupuk yang baik dan tidak membiarkannya kropos, pohon itu akan tumbuh kuat dan menangungi kehidupan di sekitarnya. Namun jika, akarnya di biarkan kropos, pohon yang besar dan tinggi menjulang itu, akan roboh dan menghancurkan yang di timpanya. Itu sebabnya aku percaya, cita-cita yang baik mesti juga di bangun dari akar yang sehat yang diberi makan secukupnya, tidak berlebihan. Cukup adalah cukup, karena kelimpahan dan keberlebihan itu, seringkali malah jadi bencana.

Lalu apakah aku sudah cukup istiqomah dengan jalanku bersama tobucil? ku kira untuk waktu yang akan mengujinya. Perjalanan seperti yang dilakukan tobucil bukanlah perjalanan 5 atau 10 tahun saja, tapi bisa 20-30 tahun, sampai Tuhan bilang: 'cukup' dan Ia memanggilku pulang di ke pangkuanNya. Sebelum saat itu tiba yang bisa kulakukan adalah 'menjadi' istiqomah.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah