Skip to main content

The Soloist (2009)

****

Adalah Steve Lopez, kolumnis LA Times yang tercerahkan oleh permainan biola seorang gelandangan bernama Nathaniel Ayers. Kisah hidup keduanya berubah, ketika Lopez memutuskan menuliskan sosok Ayers dalam kolomnya. Sejak itu keduanya terhubung dalam jalinan persahabatan yang tidak biasa.

Kisah ini diangkat dari buku yang ditulis berdasarkan persahabatan Lopez dan Ayers. Dua tokoh utama ini diperankan dengan sangat luar biasa oleh Jamie Foxx sebagai Nathaniel Ayers dan Robert Downey Jr. sebagai Steve Lopez. Foxx kembali membuktikan kehebatannya dalam berakting, setelah tahun 2004 lalu menyabet Oscar sebagai aktor utama terbaik dalam perannya sebagai Ray Charles, musisi buta yang luar biasa. Dalam The Soloist, Foxx kembali berperan sebagai musisi hebat, Drop Out dari salah satu konservatori paling bergensi di dunia The Juliard School karena mengidap schizophrenia yang mendamparkan Ayers dalam kehidupan sebagai gelandangan di Los Angeles. Sementara Robert Downey Jr. mengambarkan karakter Steve Lopez, kolumnis yang dicintai pembacanya, namun menyimpan kekosongan besar dalam hidupnya. Persabahatannya dengan Ayers, mengisi hidup Lopez dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Sebagai sahabat, Lopez berusaha membuat Ayers sembuh dengan mengusahakan pengobatan untuk Schizophrenia yang dideritanya, namun film ini memberi pelajaran penting bagi penonton termasuk juga aku, bahwa menjadi sahabat bukan berarti kamu harus menjadi pahlawan bagi sahabatmu, memastikan bahwa kamu hadir sebagai sahabat saat sahabatmu membutuhkanmu, itu saja sudah cukup.

Film yang digarap dengan sangat apik oleh Joe Wright sang sutradara ini, menurutku berhasil menampilkan komposisi-komposisi klasik Beethoven dalam orkestra visual yang sangat urban LA. Cara Wright memotret dan membingkai gambar dan mengkomposisikan, memberi makna baru komposisi-komposisi musik klasik itu di tengah-tengah kehidupan urban Los Angeles yang keras sekaligus kosong. Permainan celo Ayers dalam sisi kehidupan jalanan LA yang selama ini terabaikan (LA menjadi ibukota 'homeless people' di Amerika Serikat), seperti mengisi ruang-ruang kosong yang keras itu.

Menariknya lagi, secara sengaja film ini dibuat oleh sutradara dan produsernya, dengan maksud mengangkat persoalan kehidupan gelandangan (homeless people) di LA yang menjadi persoalan sosial yang cukup serius tapi seringkali terabaikan. Lamp Community yang menjadi salah satu setting penting dalam film ini, dalam kehidupan nyata berusaha menjadi organisasi yang menampung para homeless dan memberi mereka jaminan makanan sehari-hari, tempat tinggal serta kesehatan.

Sebagai film yang penuh misi, kukira film ini berhasil dengan sangat baik menghadirkan misi itu tanpa berusaha menjadi pahlawan kesiangan. Aku berharap Jamie Foxx mendapatkan Oscar keduanya dari perannya di film ini.

Comments

AuDa said…
wow.. jd penasaran pengen ntn niy..
thx bgt ats review nya.. :)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...