Skip to main content

Confucius (2010): Kisah Guru 'Tanpa Ajaran'

* * *

Sutradara:  Mei Hu

Bukan hal mudah memfilmkan biopic tokoh penting dalam sejarah. Apalagi jika film itu dibiayai oleh pemerintah. Kesulitan itulah yang kutangkap dari film yang dibintangi Chow Yuen Fat. Berkisah tentang kehidupan Konfusius, filsuf Cina yang hidup di 551 - 479 Sebelum Masehi sejak kiprahnya di dunia politik sampai akhirnya menjadi guru yang mengajarkan ajarannya ke seluruh penjuru Cina, sampai Konfusius kembali ke tanah kelahirannya dan menghembuskan nafas terakhirnya di sana.

Mei Hu membuat jalan cerita film ini, patuh pada kronologi waktu. Seperti banyak film Cina yang mengangkat kisah klasik, Mei Hu tak mau ketinggalan menghadirkan efek kolosal di film ini. Sebagai orang yang tertarik mengetahui ajaran Konfusius dan penggemar Chow Yuen Fat, Film ini ternyata tidak memenuhi harapanku itu. Mei Hu gagal menjelaskan ajaran Konfusius yang sedemikian penting bagi masyarakat Cina. Kegagalan lain adalah Mei Hu menyia-nyiakan kemampuan aktor-aktor hebat yang berperan di film ini: Chow Yuen Fat sebagai Konfusius,  dan aktor yang memerankan tokoh Yang Mulia dan Pedana Mentri. Kukira tiga aktor ini bermain dengan sangat baik di film ini dan mereka menurutku bisa bermain lebih baik lagi jika Mei Hu bisa lebih memperkuat hubungan antar ketiga karakter itu.

Kurasa persoalan klasik yang dihadapi para sutradara yang mencoba mengangkat biopic tokoh sejarah dunia adalah sulitnya memilih, bagian mana dari perjalanan hidup tokoh itu yang menarik untuk menjadi fokus cerita.  Dalam hal ini aku menganggap Soderbergh cukup berhasil untuk fokus pada Che sebagai 'military man', Jika seorang Konfusius memilki ajaran yang luar biasa berpengaruh, pastilah dia punya pengalaman hidup yang luar biasa juga. Jika yang membuat Konfusius istimewa adalah pemikirannya, tentunya ada hal penting dari cara dia memandang persoalan yang membuat pemikiran-pemikirannya menjadi sedemikian berpengaruh. Mengapa Mei Hu tidak berfokus pada bagaimana ajaran-ajaran penting itu muncul dan menjadi berpengaruh?  Sampai akhir cerita, aku tidak menangkap ajaran-ajaran itu dan bagaimana ajaran-ajaran itu bisa lahir, kecuali sekedar kutipan yang di tulis dalam bentuk teks di film ini.

Setelah menonton, aku berdiskusi dengan temanku dan kami sepakat kegagalan ini adalah kegagalan sutradara untuk memahami 'keistimewaan Konfusius'. Namun bisa jadi juga, pilihan untuk patuh pada kronologis, tidak berusaha memberi pemaknaan baru pada ajaran Konfusius lewat film ini, bisa ditafsirkan juga sebagai mencari jalan aman (mengingat film ini dibiayai pemerintah Cina dan dibuat dalam rangka ulang tahun Konfusius yang ke 2650 tahun). Film ini akhirnya terjebak ke dalam film propaganda belaka yang tidak memberi tafsiran baru terhadap ajaran maupun sosok Konfusius sebagai filsuf besar. Film yang menghabiskan 2.8 juta dollar Amerika ini, menurutku menjadi 'sia-sia'  karena gagal menjadikan film ini sebagai medium untuk memperkenalkan ajaran Konfusius ke seluruh dunia (padahal hal ini sangat mungkin dilakukan, mengingat Chow Yuen Fat adalah aktor internasional) dan kurasa banyak orang di luar Cina (termasuk juga aku) yang tertarik pada ajaran Konfusius.

Sekilas jika menyimak kutipan ajaran Konfusius di film ini, ajarannya menjadi terkesan sangat maskulin. Karena Konfusius lebih banyak bicara soal bagaimana menjadi pria sejati (setidaknya yang banyak di kutip di film ini). Pertanyaanku berikut muncul dari kecurigaan: apakah keengganan  Mei Hu sebagai sutradara untuk mengeksplorasi ajaran Konfusius juga karena dia sebagai sutradar perempuan yang cukup penting di Cina? Keengganan yang kumaksud di sini adalah, tidak mudah mencapai pengakuan sebagai sutradara perempuan dari generasi kelima perfilman Cina. Aku yakin, pertarungan Mei Hu untuk sampai pada pengakuan ini, bukan hanya pada tuntutan dia untuk membuat film yang bagus, tapi juga bagaimana dia harus mendapatkan pengakuan itu di tengah-tengah dominasi sutradara laki-laki yang terlebih dahulu mendapatkan pengakuan. Sehingga menafsir ajaran Konfusius dan memberi perspektif perempuan  lewat filmnya, menjadi terlalu beresiko. Akhirnya jalan amanlah yang dipilih. Karena aku yakin tekanan membuat film biopic seperti ini, bukan hanya ada 'kepatuhan' pada sejarah hidup tokoh yang bersangkutan, tapi juga tekanan dari pandangan dan harapan orang-orang terhadap penokohan Konfusius itu sendiri. Mei Hu harus berhadapan dengan Konfusius yang ada dalam kepala para penganutnya dan itu pasti menjadi tekanan yang sangat berat.

Soderbergh mungkin tidak terlalu dipersalahkan ketika sebagian merasa kecewa dengan penafsirannya atas Che Guevara karena Soderbergh melihat Guevara sebagai orang lain (the other) karena Soderbergh sendiri bukan orang Amerika Latin. Namun berbeda halnya dengan Mei Hu, sebagai seorang Cina yang mencoba menafsir tokoh besar yang terhubung erat dengan kesejarahan yang melekat erat pada dirinya,  seperti mencoba melucuti dirinya sendiri atas ajaran-ajaran yang sudah mengalir dalam darahnya. Dan itu juga sama artinya dengan menilai diri sendiri yang belum siap menerima kekurangan-kekurangan yang ada.

Aku hanya bisa menelan kekecewaanku terhadap film ini dengan menyayangkan  kehebatan aktor -aktornya karena sutradara memilih 'jalan aman' menafsir Konfusius. Aku yakin jika film ini menjadi sangat filosofis, Chow Yuen Fat pasti mampu memainkannya. Kurasa, film ini baru sampai pada tahap, pengenalan terhadap Konfusius atau sebut saja Konfusius sebagai politisi dan guru, bukan ajarannya. Jika berharap mengenal ajaran, aku berharap suatu hari nanti, ada sutradara lain (tidak harus berasal dari Cina) untuk memberi interpretasi baru tentang ajarannya.

Comments

Dian said…
hehehe, udah ditulis lagi :) untung masih ada chow yuen fat di film-nya. btw, aku baru tahu sutradaranya perempuan dan pas tahu baca tentang itu kata "oohh" malah muncul di kepalaku. hiks :(

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah