Skip to main content

Catatan Perjalanan 3 - Thailand: Bangkok Dalam Sepenggal Jalan Bernama Khao San

Meski bisa beradaptasi dengan cepat dengan kotanya, namun aku ga bisa beradaptasi dengan cepat dengan moodku yang hilang di tengah jalan. Mungkin karena kehilangan frekuensi dengan teman perjalanan, merasa perjalanan ini jadi terasa sangat lama dan panjang, dan merindukan pekerjaan-pekerjaan. Setelah berhitung, kami memutuskan ga jadi ke Phuket, karena budget terbatas. Akhirnya 6 hari dihabiskan hanya di Bangkok dan kehidupanku selama 6 hari berputar di Khao San Road dan Silom saja.

Sempat berkeliling ke beberapa kuil besar, tapi ya semuanya seperti sama saja. Ga banyak perbedaannya. Yang menarik justru demonstrasi 'kaos merah' Thailand yang gencar menyuarakan reformasi kepemimpinan di Thailand. Banyak tempat-tempat tutup juga gara-gara pawai para demonstran yang waktu aku datang mereka udah berdemonstrasi selama 20 hari. Beneran non stop 24 jam. Mereka membangun basecamp dekat Khao San Road. Jadi setiap malam aku bisa mendengarkan pidato para orator seperti suara pengajian dari mesjid lewat load speaker.

Sebagai kota besar yang mirip Jakarta, kecuali besar dan kepadatannya, menurutku Bangkok termasuk cukup bersih. Kecuali soal kemacetan lalu lintasnya. Daerah Khao San Road ini termasuk daerah di Bangkok yang justru tidak tersentuh fasilitas transportasi umum yang lebih nyaman seperti sky train atau subway. Hanya daerah ekonomi seperti Silom yang kawasannya bisa ditempuh dengan menggunakan dua transportasi umum itu, selain bus. Selebihnya, daerah Khao San Rd dan sekitarnya bisa ditempuh dengan taxi, Tuk Tuk (kendaraan umum sejenis bajaj) dan juga bis. Karena daerah turis, banyak supir taxi, tuk tuk bisa berbahasa Inggris sedikit demi sedikit.

Malam hari, daerah Khao San berubah seperti arena pasar malam. Banyak tempat makan kaki lima dan para penjual menjajakan dagangannya di sepanjang jalan itu. Sebenernya mirip dengan Petaling Streetnya Kuala Lumpur, hanya "bule"nya lebih banyak. Barang yang dijual cukup murah-murah. Makanan kaki limanya juga enak-enak dan porsinya pas denganku (setidaknya). Hanya satu yang aku ga tahan, panasnya itu loh. Ada satu hari baru keluar sebentar aja, badan rasanya kaya mateng kepanggang mata hari.

Di daerah Khao San Road, ada beberapa toko buku second yang harganya murah-murah. Lebih murah dari di Indonesia dan koleksinya lumayan bagus-bagus. Aku nemu beberapa judul Jack Keroac (yang dengan menyesal tidakku beli), dan juga aku menemukan Roland Barthes a Reader nah kalo ini terpaksa aku beli karena pasti perlu. Udah gitu, kalo dah selesai baca bisa dijual lagi ke toko yang bersangkutan. Internet lumayan kenceng di Bangkok, kukira lebih kenceng di Bangkok daripada di Bandung atau Kuala Lumpur. Perjam 30 Bath. Oya tempatku menginap ini namanya New Mery V Guest House per malam 200 Bath atau sekitar 60 ribu rupiah. Kamarnya bener-bener cuma tempat tidur doang dengan kasur yang keras banget dan ga ada colokan listrik. Jadi kalo mau ngecharge hp atau batere kamera harus bayar 20 Bath.

Tempat-tempat wisata di Bangkok kalo di kelilingi sehari aja udah selesai. Selebihnya buatku yang menarik sambil nonkrong di hallnya guest house ya sambil merhartiin turis-turis yang lalu lalang di sepanjang jalan itu. Kurasa mereka seperti menemukan tempat untuk bebas di Bangkok. Bisa bergaya  seeksotik mungkin dengan biaya yang murah meriah tentunya dan nenteng-nenteng bir dingin di siang hari bolong yang ga mungkin dilakukan di kota seperti New York City sekalipun (kamu bisa disamperin polisi kalo minum bir secara terbuka (botolnya keliatan) di Central Park atau Union Square atau Bryant Park di Manhattan. Di Bangkok, tepatnya di daerah Khao San Road, kamu boleh melakukannya dengan bebas. Lucu juga, karena banyak dari "bule-bule" itu ternyata juga tidak berbahasa Inggris, karena banyak juga yang dari Eropa. Mereka dengan gaya dan kepede-an masing-masing menjadikan kawasan itu sebagai catwalk mereka untuk 'show off'. Pada kenyataannya aku lebih sering disangka orang Thailand daripada dikenali sebagai orang Indonesia. Baru ngaku bukan ketika diajak ngomong bahasa Thai dan aku ga ngerti.

Tempat yang menarik juga yang hanya buka setiap Sabtu dan Minggu adalah ChatuChak weekend market. Semacam pasar seni disetiap akhir pekan. Bisa nemu aneka merchandise, kerajinan tangan, artworks, art supply dengan harga yang murah  dan kualitas yang cukup baik. Aku cukup kalap ketika menemukan kertas-kertas daur ulang handmade yang bagus dan murah. Kalo aku balik lagi ke Bangkok, tempat utama yang mau aku datengin ya ChatuChak. Seneng aja liat betapa seriusnya mereka dalam mengerjakan souvenir-souvenir kerajinan tangannya. Biarpun dijual murah, tapi ga asal-asalan.

Hal lain yang juga kuperhatikan selama di Bangkok adalah, banyak sekali "perempuan jadi-jadian" alias bencong dan nampaknya itu bukan hal yang aneh. Heran juga, kenapa banyak laki-lakinya yang senang berdandan perempuan.

Oya hampir lupa, aku juga datang ke pameran buku nasional di Queen Sirikit National Convention Center. Menarik juga. Karena stand yang ikut pamerannya cukup banyak udah gitu pengunjungnya juga banyak dan meski banyak buku-buku terjemahan, nampaknya mereka cukup serius menggarap kemasannya. Udah gitu harga buku di Thailand itu termasuk murah banget. Banyak buku bagus dijual antara 30-50 Bath atau dibawah 50 ribu rupiah. Hampir setengahnya dari harga-harga buku di Indonesia. Denger-denger pemerintah mencabut pajak untuk kertas, jadi produksi buku bisa lebih murah. Senangnya. Udah gitu kertasnya juga kertas yang biasa dipake buar paperback jadinya ringan.

Tidak ada yang begitu istimewa dalam perjalanan ini, kecuali mendapatkan menyadari bahwa mencari teman perjalanan yang nyambung frekuensinya tuh ga gampang. Dan Bangkok atau Thailand secara umum, sekarang sedang mengalami goncangan demokrasi yang di Indonesia sudah berkali-kali terjadi. Mereka kawatir sekali jika demonstrasi ini bisa menjadi rusuh dan mengganggu kenyamanan hidup mereka. Meski mereka juga ingin pemerintahan yang korup diturunkan dari jabatannya.

Ternyata hidup di negara yang 'awut-awutan' seperti Indonesia ini justru menyiapkan mental warganya untuk siap dalam banyak hal (terutama hal-hal yang paling buruk). Hal yang menjadi kepanikan orang Bangkok, mungkin hal yang sudah sangat biasa terjadi di Indonesia, jadi ga ada yang perlu dikawatirkan. Tapi disisi lain juga semakin menyesalkan "kesalah urusan" negaraku yang besar banget itu. Sempat bertanya-tanya, kapan kira-kira manajemen pengelolaan negara ini bisa jadi lebih baik? sehingga kota-kota macam Jakarta bisa punya sarana transportasi publik yang lebih baik, Bandung bisa punya sistem pembuangan air yang baik dan jalan yang nyaman buat dilewati. Negaraku itu bukannya ga mampu dan bukannya ga bisa. Mampu sekali dan bisa sekali. Banyak orang pintar, punya semangat kerja keras dan pandai mensiasati keterbatasan, seharusnya sudah jauh melebihi tetangga-tetangganya, tapi kok ya kenapa lebih senang membiarkan rumahnya berantakan dan bobrok sampai akhirnya runtuh daripada memperbaikinya secara tuntas dan tepat.

Ku kira ini bukan lagi persoalan rumput tetangga lebih hijau atau tidak, tapi bagaimana mengurus lahannya supaya ga ditumbuhi sembarang rumput, alang-alang dan gulma. Pikiran-pikiran itu menemaniku selama dua hari perjalanan menuju Kuala Lumpur dengan menggunakan kereta. Pertama kami hanya dapat kursi untuk kereta bisnis yang interiornya masih terbuat dari kayu udah gitu semua jendelanya terbuka. Murah sih hanya 455 bath sampai Hat Yai, tapi semalaman tidur dengan sebagian jendela yang terbuka (karena orang yang duduk disebelahnya lebih senang membuka jendelanya daripada menutupnya) bener-bener perjuangan, terutama mengatasi angin dan serangga-serangga. Kami berangkat dari Huang Lam Poo Train Station Bangkok  Pk. 15.40  tanggal 7 April dan sampai Hat Yai Pk.12.00 siang tanggal 8 April. Udah gitu kami juga harus menyambung perjalanan dari Hat Yai ke Kuala Lumpur dengan kereta. Syukurlah karena dapet kereta yang jauh lebih baik (kaya kereta eksekutif), keretanya Malaysia KTM Senja Langkawi dan lebih murah 450 bath perorang. Jadi cukup menghemat ongkos juga. Tarif yang biasa dipakai untuk rute kereta api ini biasanya dari Bangkok - Buttoworth (perbatasan Thailand-Malaysia) itu 1200 Bath untuk kereta kelas 2 lah ya kaya kereta Malasysia itu. Setelah itu dari Buttonworth ke KL, 40 RM (120 ribu) lagi mau naik bis atau kereta sekitar segitu. Karena aku ganti keretanya di Hat Yai, jadi pemeriksaan perbatasannya di stasiun Padang Besar. Dari Hat Yai berangkat Pk. 14.20 sampai Padang Besar Pk. 15.30 jadi cepet banget. Setelah itu dari Padang Besar ke Kuala Lumpur berangkat Pk. 17.00 waktu malaysia (lebih cepet 1 jam dari Jkt) nyampe Pk. 06.10 pagi.

Berada di Kuala Lumpur lagi, rasanya melegakan. Meski aku tau di sini juga ga ada yang bener-bener menarik selain: Kinokuniya KLCC, Petaling street dan IKEA. Tapi tetep aja lega karena semakin mendekati pulang. Dan disini aku bisa ketemu beberapa teman baik. Lagi pula akses transportasi umum lebih mudah dengan monorail dan LRT. Bahasa mereka juga membuat aku merasa semakin dekat dengan rumah. Dalam perjalanan yang cukup panjang seperti ini, sampai di Kuala Lumpur seperti tiba di rumah tetangga yang dibenci tapi juga dicintai. Love hate relationship..

Petaling Street, Kuala Lumpur
10 April 2010

Foto di upload menyusul

Comments

I. Widiastuti said…
Khao San oh Khao San, kamu selalu menarik...psst, mbak, nggak lupa salamku buat si itu tuh...ya kan ya kaaaan?
vitarlenology said…
udah aku sampaikan pada "dia" yang kutemui disetiap kuil.. hehehehhe
MagnusCaleb said…
mahu liat foto-fotonya :)

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah