Skip to main content

Catatan Perjalanan Bagian 1- Vietnam: Salam dari Paman Ho



 Selamat Datang di kotanya Paman Ho

Akhirnya tanggal 24 Maret tiba juga. Perjalanan di mulai dari Jakarta ke Ho Chi Minh. Penerbangan pk. 16.40 WIB dan sampai di Ho Chi Minh Pk. 20.00 waktu setempat. Oya antara Ho Chi Minh dan Jakarta tidak ada perbedaan waktu. Di Ho Chi Minh aku menginap di rumahnya Mba Vera dan Mas Andreas, teman kakakku yang tinggal di daerah Ann Phu, Distrik 2 Ho Chi Minh City. Mereka sedemikian luar biasa. Sangat welcome dan membuat perjalanan ini dimulai kenyamanan rumah sendiri. Menariknya karena Mba Vera dan Mas Andreas adalah orang Indonesia, mereka berlangganan TV satelite yang menayangkan tayangan stasiun TV Indonesia, seperti SCTV, Indosiar, TVONE, Metro TV, hahahah.. jadinya pas jam sinetron tiba, aku sedikit bingung.. sebentar ini di Indonesia atau di Ho Chi Minh sih.. hehehheh..

 Perkabelan yang mirip sarang burung di sepanjang jalan-jalan Ho Chi Minh langsung menarik perhatian..

Di Ho Chi Minh, kami menghabiskan 4 malam 5 hari untuk mengekplor Ho Chi Minh sesuai dengan budget plus bonus dari tuan rumah yang begitu baiknya. Aku cukup kaget juga melihat Ho Chi Minh. Bener-bener ga seperti yang kubayangkan. Meski dalam pembangunan tapi sangat terasa bahwa kota ini ditata dengan master plan yang sangat terencana. Trotoarnya sangat ramah untuk para pejalan kaki, mengingatkanku pada trotoar di NYC. Dan yang jelas kota ini cukup bersih. Aku ga liat tumpukan sampah berserakan sama sekali di pinggir jalan. Jalan-jalan protokol cukup besar, kira-kira dua kalinya lebar jalan di Jalan Sudirman Jakarta (setelah dikurangi jalan untuk busway). Taman-taman kotanya terawat dengan baik. Ada satu taman di dekat Ben Tan market yang dilengkapi dengan alat-alat fitnes manual yang bisa digunakan siapa saja. Taman juga dilengkapi dengan WC umum portabel yang cukup bersih. Setiap sore terasa sekali bahwa warga Ho Chi Minh memanfaatkan keberadaan taman. Juga di malam hari, pemandangan muda-mudi pacaran di taman-taman kota bukanlah pemandangan yang aneh. Sayangnya, orang Vietnam sulit sekali berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Mba Vera dan Mas Andreas seringkali dibuat "Lost in Translation" oleh orang-orang Vietnam yang bekerja untuk mereka. Bagiku yang tinggal hanya beberapa hari saja, kejadian-kejadian Lost in Translation ini cukup menggelikan, tapi buat mba Vera dan mas Andreas yang tinggal cukup lama, bikin pusing kepala. Akhirnya aku selalu menunjukan catatan alamat yang akan dituju pada supir taxi kalo hendak kemana-mana. Mereka lebih paham ketika membaca alamat, daripada saat kita menunjukkannya.

 WC Umum di taman kota Ho Chi Minh

Untuk makanan, Ho Chi Minh menurutku cukup serius dalam service kuliner. Dengan harga yang sedikit lebih murah dari harga makanan di Bandung atau Jakarta, mereka menyajikannya dalam penyajian yang menarik dan rasa lebih enak. Aku suka makanan-makanan yang aku makan di Ho Chi Minh. Bagi yang tidak makan daging babi, banyak juga makanan-makanan dari hasil laut yang enak-enak. Kopi Vietnam ga usah ditanya. Meski lebih keras, tapi ga bikin perut mules. Rasanya campuran Robusta dan Arabikanya Kopi Aroma tapi dalam takaran yang lebih sedikit. Biasanya kopi Vietnam ini disajikan dengan saringan kopi khas Vietnam dan dicampur susu kental manis sebagai pengganti gula. Takarannya sebanyak Maciatto. Jika diminum pakai es batu, biasanya lebih banyak.

Ketemu Che Guevara di War Remnants Museum

Hal yang sungguh menarik yang kutemukan di Ho Chi Minh adalah museum-museumnya. Mereka benaran serius menjadikan museum sebagai tempat tujuan wisata. Meski displaynya sederhana tapi terlihat bahwa mereka serius melakukannya tidak ala kadarnya. Museum yang pertama kali aku datangi adalah 'War Remnants Museum'. Harga tiket masuknya 15.000 vietnam dong (Rp. 7.500). Museum ini berisi artefak perang Vietnam. Senjata yang dipakai Vietkong, senjata biologis yang dipakai tentara Amerika atau dikenal dengan sebutan Agent Orange, foto-foto perang karya war photografer dari beberapa media internasional, flyer-flyer propaganda dukungan dari negara-negara sosialis terhadap perjuangan Vietkong (disini aku menemukan flyernya Fidel Castro dan Che Guevara juga bendera Cuba, mereka dianggap saudara seperjuangan). Orang Vietnam lebih senang menyebut perang ini sebagai perang Amerika daripada perang Vietnam artinya bahwa Amerika lah yang memerangi orang-orang Vietnam, bukan sebaliknya. Jadinya terasa ironis ya ketika melihat dari sisi yang lain. Selama ini aku melihat perang Vietnam dari sisi Amerika meski banyak juga sisi Amerika yang juga menentang perang ini, tapi kemudian melihat bagaimana orang-orang Vietnam memandang perang ini sendiri aku jadi dapat pandangan yang berbeda. Hal ini kemudian diperkuat dengan kunjunganku ke Cu Chi.

Agent Orange, senjata kimia yang dipakai tentara Amerika untuk membunuh Vietkong jadi masalah cukup serius sampai saat ini.

Sebelum aku cerita soal Cu Chi, museum lain yang sekalian jalan dengan War Remnants Museum adalah Ho Chi Minh City Museum (tiket masuk 15.000 vietnam dong atau Rp. 7.500) dan juga Ho Chi Minh Fine Art Museum (tiket 10.000 Vietnam Dong atau Rp. 5.000) yang aku datangi. Museum-museum ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku selalu salut pada kota yang punya museum kotanya sendiri, museum yang bisa memperkenalkan pada orang yang datang ke kota itu, bagaimana sejarah kota mereka dan negara mereka. Di museum Fine Art, karya-karya seni rupa yang dipamerkan di sana hampir semuanya adalah karya perjuangan. Temanya seperti karya-karya seni rupa kerakyatan zaman Lekra dulu. Seharian bisa tuh dipakai untuk berjalan-jalan keliling distrik 1 atau downtownnya Ho Chi Minh untuk mengunjungi museum-museum atau melihat-lihat taman, bangunan-bangunan kolonial Perancis yang sebagian besar terawat dengan baik. Lantai-lantai bangunan itu, sungguh mengagumkan sampai aku membuat album khusus foto lantai bangunan-bangunan di Ho Chi Minh.. heheheh.. motifnya itu loh dan juta warnanya.. bisa jadi sesuatu nanti kalo pulang ke Bandung :D

Perhatikan ya... dulu tentara Vietkong bisa tiba-tiba menghilang, masuk ke dalam lubang sekecil ini..

Simsalabim.. ga ketauan jejaknya..

Perjalanan ke Cu Chi, aku tempuh di hari berikutnya. Tiket turnya perorang 90.000 vietnam dong (Rp.45.000). Cu Chi ini lokasinya 1.5 jam dari Ho Chi Minh. Cu Chi menjadi penting karena semasa perang Vietnam- Amerika, Cu Chi menjadi basis perlawanan geriliya bawah tanah. Tiket masuk ke lokasi adalah 5 dolar US per orang. Di Cu Chi kita bisa melihat bagaimana tentara Vietkong membangun jalur-jalur bawah tanah sampai tiga lapis seperti jaring laba-laba dan yang mengagumkan, jalur bawah tanah ini dilengkapi juga dengan rumah sakit, barak, dapur umum. Desain pertahanan bawah tanahnya sebenernya sederhana, tapi bener-bener luar biasa. Mereka sangat tau bagaimana mengelabui tentara Amerika dengan memanfaatkan semaksimal mungkin kondisi geografis yang ada. Untuk mendapatkan pasokan udara untuk lorong-lorong bawah tanah, mereka menggunakan bambu dan gundukan lumpur untuk penyamarannya. Tentara Amerika pastinya mengira itu hanya batu saja, padahal rongga-rongga batu itu adalah lubang udara yang membuat pasukan Vietkong bisa hidup di lorong-lorong bawah tanah mereka.

 Lubang udara untuk lorong-lorong bawah tanah.. siapa yang menduga..

Di Cu Chi, pengunjung bisa merasakan langsung seperti apa lorong itu. Aku sempat masuk dan merasakan sesaknya dan orang harus bergerak cepat di dalam, kalau tidak akan menghalangi dan menghambat pasokan udara yang masuk. Pengalaman yang luar biasa. Di Cu Chi juga, kita bisa melihat alat-alat perang yang dibuat tentara Vietkong ketika memerangi Amerika. Aku merasakan semangat Do It Yourself yang sangat tinggi. Mereka membuat senjata dari bambu, membuat bom dan peluru dari bekas-bekas ranjau tau bom tentara Amerika, mereka mendaur ulangnya secara manual dan murah meriah. Mereka membuat jebakan-jebakan yang biasanya dipakai untuk berburu binatang dari bambu-bambu yang diruncingkan untuk menjebak tentara Amerika. Tapi melihatnya langsung bener-bener membuatku bergidik ngeri.

 Dan inilah lorong-lorong bawah tanah tentara Vietkong yang terkenal itu..


Manusia dalam kondisi terdesak, selalu menemukan cara untuk mempertahankan diri atau sebut saja membunuh lawan bahkan dengan alat-alat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Di penghujung tur Cu Chi, pengunjung disuguhi rebusan singkong yang di makan dengan bubuk kacang campur wijen dan garam. Makanan ini adalah makanan utama pasukan Vietkong ketika mereka berperang. Tur Cu Chi ini bener-bener membuat aku harus membuka kembali buku sejara dan membacanya kembali. Ketika sejarah hadir dari sisi 'the other'atau 'liyan', rasanya aku perlu memaknai kembali karena melihatnya dari dua sisi. Mungkin aku ga perlu memutuskan aku ada dimana, tapi melihat keduanya dengan lebih adil, mungkin itu sudah cukup.

Lihat simbol yang tertempel di layar hijau.. :D

Ho Chi Minh juga meninggalkan kesan yang mendalam, ketika aku bergabung dengan rombongan Konjen Republik Indonesia untuk menyerahkan bantuan kursi roda bagi korban Agent Orange di daerah Can Tho atau di delta sungai Mekong. Perjalanannya 5 jam dari kota Ho Chi Minh. Serunya, acara serah terima bantuan ini adalah acara formal Konjen RI dengan pejabat setempat, dua jenderal yang hadir atas nama ketua yang mengurusi korban Agent Orange tinggal propinsi Can Tho dan juga Ho Chi Minh. Bantuan ini diberikan oleh masyarakat Indonesia yang ada di Vietnam. Aku seneng juga bisa hadir di acara ini (thanks ya mba Ver untuk infonya, juga staf konjen RI untuk perjalanannya yang berkesan).Menarik karena acara diselenggarakan di sebuah balai pertemuan dengan patung Ho Chi Minh atau Paman Ho, lambang palu arit dan bintang kuning juga foto Karl Marx dan Stalin di ruangan itu. Beberapa orang korban Agent Orange hadir mewakili sekitar 3000 korban di daerah Can Tho. Daerah ini menjadi daerah dengan korban Agent Orange yang cukup besar. Meski perang telah lama usai, tapi radiasi yang menyebabkan mutasi genetik menimbulkan korban sampai beberapa turunan. Bukti kekejaman senjata kimia,efek membunuhnya justru bisa sampai beberapa generasi yang ga tau menahu soal perang itu sendiri.

Jamuan makan ala Vietnam

Bagian yang paling menarik dari upacara seremonial penyerahan bantuan ini adalah pesta jamuan makan. Aku duduk dimeja para peminum hihihih.. karena staf konjen ada beberapa yang ga minum bir. Aku jadi tau dan bisa merasakan makanan-makanan khas Vietnam. Gokilnya jendral-jendral yang tadi pas serah terima terasa begitu formal, begitu di meja makan jadi ramah dan heboh. Meski aku ga ngerti mereka ngomong apa. Dan di mejaku, gelas bir ga pernah dibiarkan kosong, selalu di tambah dan di tambah terus. Bir merek Tiger yang kami minum kadar alkoholnya cukup rendah, lebih rendah dari bir bintang, jadinya ringan banget. Dan lucunya setiap ada salah satu yang duduk di meja itu mau minum, kami semua harus tos dulu.. hihihihihi...

 Salah satu klenteng di Chinatown Ho Chi Minh

Hari terakhir di Ho Chi Minh di tutup  mengunjungi beberapa kuil di China Townnya di distrik 3 sekalian mencari oleh-oleh. Makan malam ada pesta ikan bakar yang dibuat tuan rumah yang begitu baik, mba Ver dan Mas Andreas. Mereka sengaja bikin pesta gurame merah bakar untuk merayakan ulang tahunku yang masih kurang dua hari lagi saat itu (28/3/2010). Bener-bener berkesan. Besoknya, tanggal 29 Maret 2010, kami beranjak untuk menyebrang ke Cambodia dari Sinh Cafe, daerah Den Tham St, Distrik 1. Kami membayar 195.000 vietnam dong (Rp. 97.500) untuk tiket bisnya perorang. Sempat ada sedikit masalah dengan bisnya. Bis yang tadinya akan ditumpangi adalah bis Cambodia. Bis itu kena cekal oleh polisi Vietnam. Menurut penumpang asal Cambodia, adalah hal biasa bis dari Cambodia kena cekal di Vietnam. Biasa persaingan bisnis. Jika nyebrang ke perbatasan pakai bisa Vietnam urusannya akan lebih mudah. Akhirnya setelah menunggu hampir 1 jam, kami dapat bis pengganti yang membawa kami menyebrang ke Phnom Penh, Cambodia. Oya di perbatasan sebagai warga negara Indonesia, kami harus bayar visa on Arrival 20 US dolar di perbatasan. Pengurusannya mudah karena ditangani oleh kru bis yang membawa kami menyebrang. Selamat tinggal  Vietnam, Selamat datang Cambodia..

Ikan bakar di ulang tahun yang kurang dua hari, thanks ya mba ver dan mas andreas :)

Aku akan datang berkunjung lagi ke Ho Chi Minh, mungkin 5 tahun mendatang. Penasaran aja aku pengen lihat bagaimana jadinya kota Ho Chi Minh nanti. Sekalian menyaksikan hasil perkawinan sosialisme dan kapitalisme dalam membangun calon kota kelas dunia, Ho Chi Minh.



Salam dari Paman Ho untukmu semua..

Siem Riep, Cambodia
1 April 2010

P.s. foto menyusul karena koneksi internet disini lemot banget.. foto bisa dilihat di album flickrku, tapi untuk sementara belum dikelompok dan dikasih keterangan

Comments

Dian said…
ingin ke sanaaaaa...
deni said…
kl t berkesempatan mencari bukunya prison diary ho chi minh, asik tuh..puisi2nya sederhana dan puitik..
Unknown said…
anjroy siga nu rame euuuy.....

ada kabar bagus nih buat tobucil kalo jadi hihihi...sambutan klo pulang :D
I. Widiastuti said…
Ho Chi Minh City Fine Art Museum will be my destination.

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah