Skip to main content

I Follow You Into The Dark *)


If there's no one beside you when your soul embarks
Then I'll follow you into the dark - Death Cab for Cutie -

Hal yang cukup mengagetkan namun sekaligus bisa dimengerti di awal bulan ini adalah James Franco mendelete account twitternya. Setelah sebulan setengah, James 'berkicau' pada para penggemarnya lewat foto-foto, video aktivitas dia sehari-hari_ sehingga aku yang ada di Bandung, tiba-tiba bisa merasa menjadi teman dekatnya. Bagaimana tidak, keseharian James yang selama ini (sebelum dia buka account twitter) adalah sesuatu yang jauh dan hanya dalam bayangan belaka, setelah bertwitter ria, tiba-tiba sampai isi email buat James saja, penggemarnya bisa tau.

Aku rasa mendelete account dengan lebih dari empat ratus ribu follower, bukan hal mudah. Memutuskan  untuk tidak lagi 'dibuntuti' empat ratus ribu pengikut, menurutku itu tindakan yang sangat berani. Itu sama artinya dengan mengambil resiko mengecewakan empat ratus ribu pengikut yang 'tertarik' pada sosoknya sebagai selebriti.

Orang-orang seperti James Franco yang mendapat 'beban' (bisa juga bukan suatu beban) perhatian penggemar atau pengikut (orang-orang yang punya kepentingan atau harapan padanya). Seringkali dia posisikan pada situasi yang serba salah. James menurutku punya motivasi tinggi untuk terus menerus mengejar standar dan pencapaian yang lebih baik dan ia bekerja keras untuk itu. Kerja keras yang sebenarnya bisa dilakukan oleh semua orang, namun persoalannya, ada yang memilih melakukannya ada yang tidak. Ketika sosok seperti James Franco menjadi tampak bersinar di antara yang lain karena kerja kerasnya, prestasi yang dia raih seolah-olah menjadi garis utopia yang dirasakan banyak orang dan mustahil untuk mencapainya.

Orang-orang lantas lupa, bahwa pencapaian seorang James Franco bukanlah sebuah sihir atau sulap yang tiba-tiba datang. Sehingga orang-orang mulai memproyeksikan 'utopia' itu pada James Franco, mengganggap bahwa James adalah wakil mereka, dimana mereka dapat menyandarkan harapan mereka padanya. Hey, James juga manusia biasa. Bukan rasul atau manusia pilihan Tuhan untuk membawa misi suci menyebarkan tugas mulia berbekal jaminan mujizat langsung dari Tuhan. Dia hanya manusia biasa yang kebetulan punya banyak keinginan dan ia bekerja keras untuk meraihnya.

***

Tulisan ini tidak bermaksud membela James Franco secara khusus dari sisi seorang penggemar. Karena terus terang aja, hampir setiap pagi ketika terhubung dengan internet, twitternya James Franco yang aku buka sejak ia membua account di twitter pertama kali. Ketika tiba-tiba twitternya menghilang, aku seperti kehilangan. Tapi kehilangan apa? Pertanyaan ini  menggangguku. Justru yang dilakukan oleh James itu membuatku berpikir lagi soal: keinginan, kerja keras dan pengakuan. Seringkali apa yang menjadi cita-cita dan keinginan, diupayakan dengan kerja keras dan pengorbanan, sampai akhirnya keinginan dan cita-cita itu berhasil di capai dan diraih, lalu menempatkannya dalam barisan 'orang-orang yang dianggap luar biasa'. Apa yang teraih itu dianggap sebagai mujizat yang tidak semua orang bisa melakukannya. Yang tidak melakukannya menganggap pencapaian 'orang-orang luar biasa' ini sebagai sesuatu yang sangat berat dan tidak mungkin dicapai oleh mereka. Bahkan sebagian menganggap, sudah cukup 'orang-orang luar biasa' ini yang bisa meraihnya dengan begitu mereka sudah merasa terwakili.

Secara sepihak, 'orang-orang luar biasa' ini dipilih sebagai 'wakil', tanpa mereka pernah ditanya, apakah mereka bersedia atau tidak. Secara sepihak juga mereka diadili dan disalahkan jika tidak dapat memenuhi harapan orang-orang yang merasa terwakili. Tak heran, banyak 'orang-orang luar biasa' yang di cap selebriti ini membuat keputusan-keputusan bodoh dengan hidupnya, karena lelah dengan label itu. Mereka dirayakan, tanpa tau mengapa mereka harus dirayakan. Mereka dipuja sedemikian rupa tanpa para pemuja ini mau melihat kenyataan, bahwa mereka ga pantas-pantas amat untuk dirayakan.Para pengikut ini seringkali melihat apa yang ingin dilihatnya dan menutup mata terhadap hal-hal yang tidak ingin mereka lihat.

Menurutku, menjadi 'orang luar biasa' yang biasa-biasa saja, jauh lebih sulit daripada menjadi 'orang luar biasa' dan bergaya luar biasa. Menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja bagi orang yang luar biasa, sama artinya dengan memilih untuk tidak menggunakan kemudahan dan segala fasilitas yang bisa dia dapatkan. Menolak hal-hal seperti ini sama artinya dengan melawan ego dan hawa nafsu. Menjadi biasa-biasa juga berarti menampilkan diri seperti diri sendiri menginginkannya, bukan karena orang lain menginginkannya.

Media sosial yang berkembang sekarang ini, membuat hal-hal yang biasa-biasa justru menjadi luar biasa. Proses yang rumit dan panjang kadang berdarah-darah untuk menjadi luar biasa, sepertinya tidak lagi menjadi penting. Tidak perlu seperti James Franco yang harus bersekolah untuk mendapatkan dua gelar master dan mengorbankan waktu hura-huranya sebagai selebriti, untuk mengikuti perkuliahan program doktoralnya sehingga dia bisa disebut aktor yang luar biasa. Tidak perlu. Keluar biasaannya dalam persepektif para pengikut ini sama absurdnya dengan merayakan sesuatu tanpa tau apa yang sesungguhnya dirayakan. Banyaknya pengikut di jejaring media sosial, menjadi komoditas ekonomi yang bisa di'jual'. Bukan hal yang aneh, jika ada cerita tweetnya orang terkenal ternyata disponsori oleh kepentingan para pengiklan.

***

Keputusan James Franco dengan account twitternya, membuatku berpikir bagaimana keluar biasaan ini menjadi biasa-biasa saja. Ketika James asyik ngetweet, aku bisa melihat James dari yang menunjukkan bahwa dia juga manusia biasa saja. Tapi mungkin (ini dugaanku), jarak yang begitu dekat ini, lama-lama bisa menjadi sangat mengerikan bagi James. Keluar biasaannya ini menjadi tanpa jarak dan membuat empat ratus ribu pengikutnya seperti dibatasi oleh seutas tali tipis bernama twitter dengan sosok James Franco. Siapa yang bisa menjamin hubungan yang biasa antara orang yang luar biasa dengan para pengikutnya ini bisa berjalan setara, adil dan saling menghormati satu sama lain. Tidak ada satupun yang bisa menjaminnya, karena masing-masing melihatnya dengan cara berbeda. Jika ingin bertahan dalam situasi yang tidak fair ini, ya ikuti saja aturan main salah satu pihak atau jangan pernah masuk dalam permainan ini sama sekali. Lalu aku juga mau jadi pengikut seperti apa? Kebiasaan seperti apa yang akan aku tampilkan dihadapan para pengikutku? Jika diterawang, di ujung hubungan diikuti dan mengikuti ini yang ada hanya gelap..


*) judul diambil dari judul lagu Death Cab for Cutie

Comments

sayamaya said…
hmm.. iya untungnya aku bukan org tenar mba dan tak terlalu srg berkicau di twitter, lohhh?

tp, memang terkadang (jujur saja) twitter yg membuat kita makin dekat dgn idola justru bisa menambah atau menghilangkan rasa kagum pd idola tsb.
Anonymous said…
tarlen.. diretweet di twitter yaaa...:) ceita-ceritamu membuatku ingin pulang ke bandung...
Asri said…
sy msh saja suka terkesan dgn kemajuan IT yg makin pesat saja.. salah satunya itu 'mendekatkan' kita dengan sang idola yg mana dulu skitar 10 thn yg lalu tampaknya mereka bak berada di menara gading, tak 'tersentuh'.. :)
Asri said…
sy msh saja suka terkesan dgn kemajuan IT yg makin pesat saja.. salah satunya itu 'mendekatkan' kita dengan sang idola yg mana dulu skitar 10 thn yg lalu tampaknya mereka bak berada di menara gading, tak 'tersentuh'.. :)
I. Widiastuti said…
buatku,menutup facebook dan twitter itu gak lebih kayak ganti baju. toh hidup kita akan tetap jalan dan asyik. I've done that dan rasanya mau ada social media atau enggak, hidupku enggak ada bedanya, sama aja menyenangkannya.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah