Skip to main content

Ibu, Bapak dan Sinkronisasi Keyakinan

Saat kondisi bapakku tiba-tiba kritis dan sakratul maut datang menjelang, ibuku bertanya pada bapakku:
"Pak, Kamu ingin menghadap Tuhan ditunggui pastor atau orang-orang mesjid? Ibu ikhlas, kalau bapak, mau kembali menghadap Tuhan dalam Katolik, ibu tidak akan menghalangi.."
Bapakku dengan nafas terakhirnya yang tersengal-sengal, menjawab:
"Bapak ingin menghadap Tuhan dalam Islam. Bapak sudah yakin bu.."

 ***

Saat menikahi ibuku, bapakku menyetujui mengikuti agama ibuku daripada tetap dalam Katolik. Dua kalimat syahadat menjadi mas kawin pernikahan mereka. Namun pindah agama bukan persoalan mengganti tulisan di KTP atau kartu identitas dari agama A mejadi B. Bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan tiada rasul selain Muhamad, tidak serta merta mengiringi berpindahnya sebuah keyakinan. Meski pindah agama, bapakku membesarkan anak-anaknya tetap dalam disiplin dan logika Katolik yang begitu kental. Bapakku memang tidak pernah mengemukakan doktrin-doktrin Katolik, tapi yang dia ajarkan dan contohkan pada anak-anaknya adalah ajaran Katolik yang sejak kecil sampai dia menikah dengan ibuku telah terinternalisasikan dalam diri dan menjadi nilai-nilai kehidupannya yang tidak begitu saja bisa dicabut dan diganti dengan yang baru.

Sementara bagi ibuku, berpindahnya keyakinan bapakku dari Katolik menjadi Islam, tidak bisa diartikan sebagai sebuah "kemenangan" seperti yang diyakini para pemeluk agama yang konservatif tentang keyakinan meng'islamkan' orang-orang non muslim. Justru yang dihadapi jauh lebih sulit, karena ini menyangkut perpindahan keyakinan yang telah menjadi logika, cara pandang, disiplin. Meski pada akhirnya solat 5 waktu, puasa di bulan ramadhan, namun disiplin Katoliknya tidak pernah bisa hilang. Dan aku menyaksikan bagaimana bapakku berusaha menemukan sinkronisasi disiplin Katolik yang menjadi laku hidupnya itu dengan keyakinannya yang baru. Aku bisa merasakannya, bahwa itu bukan jalan yang mudah. Bukan hanya bapakku saja yang berusaha, ibu dan anak-anaknya pun berusaha.

Pergantian keyakinan seperti sebuah proses sinkronisasi yang membutuhkan waktu seumur hidup, terhitung sejak keyakinan itu dinyatakan berganti. Pergantian itu baru bisa dilihat berhasil atau tidak, justru diputuskan pada saat nafas terakhir dihembuskan. Sinkronisasi keyakinan dari yang lama kepada yang baru, tidak hanya berdampak pada individu yang melakukannya pergantian itu, tapi orang-orang di sekelilingnya yang menjadi bagian dari sistem bernama keluarga.

Aku beruntung, mendengar langsung keputusan yang luar biasa dari bapakku. Ia menyatakan dirinya berhasil menemukan sinkronisasi itu, setelah berpindah selama 28 tahun. Dan ibuku, dengan penuh keberanian dan kelegaan hati, siap menerima apapun keputusan bapakku dengan keyakinannya itu. Ibuku bisa membuat bapakku berganti keyakinan di atas kertas, tapi Ibuku tidak pernah bisa menjamin apakah bapakku berhasil berganti atau tidak, sampai keputusan itu tiba di penghujung hidup bapakku. Bagiku ini adalah pelajaran menemukan Tuhan yang dilandasi oleh kebesaran hati dan keiklasan kedua orang tuaku.


***

Aku sering bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya berpindah ketika seseorang berganti keyakinan, selain soal nama Tuhan. Jika pada keyakinannya yang lama, seseorang berhasil menginternalisasikan kebaikan dan kasih Tuhan dalam hidupnya, mungkin sinkronisasi yang diperlukan ada pada konsep Tuhan itu sendiri. Dan proses itu seringkali sangat personal, karena seseorang perlu menyelam ke kedalaman dirinya untuk memeriksa dirinya dan pemahamannya tentang Tuhan, sampai akhirnya dia menemukan pemahaman yang baru. Proses ini ga bisa di nilai dari penampilan dan pencitraan saja. Seseorang bisa berbohong pada jutaan orang dan menyebut dirinya orang yang shaleh, namun sesungguhnya dia tak pernah bisa membohongi dirinya sendiri, kecuali dia hatinya tidak lagi bisa merasakan, karena terbiasa berbohong.


Jadi buat apa memaksa seseorang berpindah keyakinan, jika yang berpindah hanya sebutan dan tampilannya saja. Apalagi memaksakan lewat jalan kekerasan. Buat apa berlabel Islam, jika keyakinan yang terejawantahkan dalam perilaku dan disiplin kesehariannya tidak singkron dengan  nilai-nilai yang diajarkan Islam itu sendiri. Mengapa tidak memberikan contoh laku dan pemahaman yang memberi rasa damai, berkat kebaikan, Rahman dan Rahim, sehingga jika memang tergerak untuk berpindah, orang melakukannya dengan sukarela karena ingin menemukan kebaruan dalam perjumpaannya dengan Tuhan. Bukankah ketika menawarkan sebuah keyakinan selalu ada alasan bahwa ini demi kebaikan yang lebih baik dengan iming-iming surga di dalamnya. Mari kembali memeriksa, apakah memang surga yang membawa kedamaian yang selama ini diiming-imingkan? jangan-jangan kebaikan yang kita tawarkan, malah memberikan neraka bagi yang menerimanya.


(Begitu muak dengan orang-orang di sekelilingku yang merasa paling beriman dari orang lain, merasa paling berhak atas surga, lalu menyalah-nyalahkan orang lain..)

Comments

cassia vera said…
mbak.. aku suka tulisanmu ini.. memang kita tidak boleh berhenti berproses berpikir, merasa, dan mengolah apa yang menjadi keyakinan kita :) nice mbak!
Anonymous said…
begitu berhasil follow mba, langsung disuguhkan dengan tulisan yang membuatku mengangkat kepal dan berteriak : SETUJU!!

bagus bgt mba talen, saya suka. saya juga merasa. :)
Anonymous said…
begitu berhasil follow mba, saya langsung disuguhkan tulisan yang amazing. saya suka. saya juga merasakan apa yang mba talen tuliskan. :)
Detta said…
tulisan dan penuturan yang bagus..'kena' banget intinya..ini beneran terjadi baru2 ini? kalau begitu turut berduka cita ya..
ummi maryam said…
anak manis yang lembut hati, begitu memang seharusnya. manusia, betapapun pintarnya, cuma mampu berpikir mikro, terbatas dalam keterbatasan masing-masing. itulah maka Allah mengirim utusannya, menyiapkan kitab suci yang harus jadi bahan pertimbangan.Akal, hati yang bersih dari apriori, dari pandangan umum yang sepertinya sudah benar, adalah jalan menuju hidayah-Nya, semoga Allah mengganti kehilanganmu dengan yang lebih baik lagi. amiin.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah