Skip to main content

Surat Untuk Sahabat di Tahun Ke 35


353003

Memasuki usia 35 tahun, ternyata tidak semenakutkan yang dibayangkan. Malah cukup menyenangkan. Banyak sahabat yang ternyata masih menemani dan yang penting adalah ketenangan karena kesipan mental untuk memasukinya. Mungkin inilah yang disebut menjadi dewasa. Dan rasanya di usia ini aku benar-benar siap untuk itu.

Waktu kecil dulu, aku selalu takut menjadi dewasa. Karena menurutku pada waktu itu, menjadi dewasa adalah ga asyik, kehilangan spontanitas, terlalu banyak basa-basi, harus menyerah pada kenyataan, terlalu banyak ketakutan, kehilangan idealisme, kehilangan semangat bermain, terjebak dalam kemapanan dan hal-hal lain  yang pada saat itu terlalu mengerikan dan menakutkan bagiku di masa kecil dulu.

namun, tanpa disadari kenyataan hidup yang kujalani menuntutku berpikir lebih dewasa dari usiaku. Bacaan, khayalan, cita-citaku, apa yang kuinginkan, apa yang kualami di keluarga juga lingkungan di sekitarku, hasrat mencari tau, serta keyakinanku, ternyata membangun pondasi kedewasaan jauh sebelum usiaku memasuki usia dewasa. Meski kedewasaan itu seringkali aku hindari dan aku sangkal, pada kenyataannya aku menjalaninya juga. 

Dewasa itu bagiku  ternyata persoalan tanggung jawab terhadap pilihan-pilihan hidup. Spontanitas dengan perhitungan karena spontanitas orang dewasa itu adalah ketika aku bisa menghitung resiko dan mengesampingkan ketakutan ketika mengambil keputusan. Biarkan takut membuntuti, karena takut juga bisa jadi kontrol, tapi jangan biarkan  ketakutan mendominasi. Dan ternyata kenyataan yang banyak kutemui, semakin tumbuh dewasa, ketakutan itu ternyata semakin besar. Semakin mampu menghitung resiko, bayang-bayang ketakutan itu juga semakin besar. Kedewasaan kemudian menjadi kemampuan untuk mengontrol ketakutan-ketakutan itu. 

Demikian pula dengan soal bertanggung jawab, itu adalah kemampuan menjawab apa yang semestinya ditanggung dan menanggung apa yang semestinya dijawab. Memang, tidak semua hal di dunia ini yang menjadi pertanyaan perlu di jawab, tapi aku percaya bahwa dalam hidup setiap orang selalu ada pertanyaan-pertanyaan besar yang mesti dijawab. Pertanyaan itu seperti soal ujian kenaikan kelas dan jadi bagian tak terlepaskan dari proses pendewasaan. Karena ternyata setiap pembabakan dalam hidup ini, selalu disertai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup. Saat pertanyaan itu belum berhasil terjawab, hidup akan berkutat pada persoalan yang kurang lebih sama, terus-menerus sampai kita berhasil menemukan jawabannya. 

Misalnya, pertanyaan besar dalam hidupku selama masa remaja dan menuju usia dewasa adalah pertanyaan bagaimana aku mengatasi persoalan kehilangan bapak. Kehilangan menjadi pernyataan besar yang menuntut jawab: apa itu kehilangan buatku? apa maknanya buatku? apa yang sesungguhnya yang hilang dari sebuah peristiwa kehilangan? ketika aku masih bisa menyimpan kenangannya dalam ingatanku. Dan rasa orang yang pernah hadir juga ikut membentuk diriku. 

Sampai akhirnya aku mengamini jawaban yang kutemukan bahwa yang hilang itu ternyata ga pernah benar-benar hilang, dia akan kembali dalam wujud dan rasa yang berbeda dan kembali mengisi kekosongan atau lubang yang menganga akibat kehilangan itu. Dan barulah, hidupku kini bergerak ke pertanyaan besar lainnya. Setelah makna kehilangan itu membentuk diriku, lalu apa tugas dan peran apa yang hadur kujalani di dunia ini? kembali ke pertanyaan mendasar sebagai manusia. Mencari tujuan dari penciptaanku. 

Aku selalu punya dugaan bahwa aku bukan termasuk orang yang akan hidup dengan umur panjang. Jika umurku hanya sampai 50 saja, berarti hidupku ini hanya tinggal 15 tahunan lagi. Pertanyaan besar yang mesti di jawab dalam 15 tahun ke depan adalah bagaimana hidupku ini bisa memberi berkah sebanyak mungkin pada kehidupan  sekelilingku, tentunya dengan segala apa yang ada padaku. Karena di akhir hidupku nanti, aku ga pengen mati dengan penyesalan karena banyak hal yang ingin kulakukan belum kulakukan dan ada cita-cita yang ingin kucapai, takut untuk kuraih. Aku ga pengen mati membawa penyesalan-penyesalan seperti itu. Namun jika Tuhan memberiku bonus umur panjang, aku berdoa semoga ketika aku menjadi tua nanti aku tidak merepotkan banyak orang. Kelak aku ingin menjadi tua, sehat dan bahagia. Minimal aku bahagia dengan hidupku sendiri. Aku percaya kalau aku bahagia dengan diri sendiri, aku juga akan lebih mudah bahagia dengan orang lain.  

Itu sebabnya, selain ibu dan saudara-saudara, ketika menemukan sahabat-sahabatku, aku merasa sangat beruntung karena ternyata aku ga sendirian dengan pertanyaan-pertanyaan soal hidup ini.Kami seperti sekelompok orang yang belajar bersama untuk saling membantu menemukan jawabannya atau saling memeriksa pertanyaan kami masing-masing. Kami hadir di dunia bersama-sama karena kami membutuhkan bukan hanya untuk membangun kehidupan sosial dan peradaban bersama, tapi juga untuk saling menemani dalam perjalanan pemikiran dan perjalanan menemukan makna kehidupan dan saling mengisi  kebahagiaan masing-masing. Kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang kami lalui, kami apresiasi, kami bangun bersama, kami peluk bersama-sama. Persahabatan itu mengajarkan hal yang paling sublim dalam hidupku: mencintai sekaligus membebaskan. Apa yang sesungguhnya benar-benar terkuasai ketika mencintai, kecuali rasa cinta itu sendiri. Mencintai para sahabat itu seperti belajar menerima dengan iklas apa yang datang mengisi diri dan menerima apa yang tidak bisa aku mengerti. Mencintai sahabat itu seperti belajar untuk iklas memberi yang terbaik yang bisa diberikan. Karena kebahagiaan sahabat adalah kebahagiaanku juga.

Para sahabat yang hadir dalam hidupku selama 35 tahun ini pun seperti para orang-orang yang secara estafet mengisi bekas kehilangan itu dengan rasa cinta dan memutuskan berjalan bersama-sama, blasak blusuk dalam pencarian diri. Mereka mengisinya sesuai dengan peran dan keiklasannya masing-masing selama 35 tahun ini. Ada yang hanya sebentar menemani, ada yang cukup sabar untuk terus menerus berjalan bersama juga saling menemani perjalanan-perjalanan berat dalam hidup kami masing-masing. Rasa yang mereka torehkan, memberi warna dan bentuk pada kehidupanku.Para  sahabat inilah yang memberi arti pada jawaban: yang hilang akan kembali dalam esensi yang sama namun rasa dan bentuk yang kurang lebih berbeda. 

Untuk itu, tulisan ini kubuat sebagai terima kasih padamu, wahai para sahabatku…
Terima kasih telah menemaniku sampai pada tahun ke 35 perjalanan hidupku..

tanto, yus, cicik, bu tita, adim dan semua sahabat yang pernah datang dan pergi,
yang jauh, dekat dan pernah begitu dekat ….
kamu, kamu, kamu, kamu...

Comments

Anonymous said…
selamat ulang tahun :)
Ekbess said…
Selamat ulang tahun Teteh, senang bisa bertemu dan mengenal teteh :)
Dee said…
happy birthday mba :) many happy returns. may God always bless u.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah