Skip to main content

Ziarah Kala Rindu



Tidak ada tradisi berziarah yang dilakukan secara khusus di keluargaku.  Tidak pula pada hari raya, dimana orang-orang, keluarga-keluarga, berbondong-bondong pergi berziarah, membuat pemakaman ramai seperti pasar.  Aku berziarah kala rindu saja. Rindu bapak terutama. Dan dalam keluargaku, kerinduan pada bapak itu datangnya berbeda-beda. Setiap anggota keluargaku punya waktunya masing-masing untuk melepas rindu di makam bapak. 

Namun tidak setiap rindu, aku pergi ke makamnya. Biasanya hanya kerinduan yang teramat sangat saja yang bisa memaksaku datang dan terpekur di makamnya. Tidak ada ritual khusus juga yang kulakukan. Hanya mengadu diam-diam sambil coba membendung isak dan air mata kegalauan-kegalauan yang sulit diceritakan pada manusia hidup. Seperti mengosongkan sebagian beban pikiran yang blunder dan sulit dipahami bahkan oleh diriku sendiri. Kasihan sekali bapakku itu, sudah mati, masih saja dibebani oleh curhat-curhat anaknya yang satu ini. 

Menziarahi orang mati, apalagi itu bapak sendiri, seperti mengunjungi sebuah monumen. Percaya bahwa jejak yang mati ada di situ. Mendatangi monumennya seperti berusaha  untuk menemukan keterhubungan dengan si mati. Seperti berusaha mencari titik untuk menemukan sinyal yang paling kuat dari koneksi dengan si mati. 

Setelah 17 tahun tak lagi bisa menjumpainya secara permanen (karena jika orang tua pergi karena bercerai, masih bisa temui, setidaknya perjumpaan fisik masih sangat memungkinkan), mengunjungi makamnya itu seperti mengingatkan kembali jejak kehilangan yang kini tergantikan oleh rasa dan bentuk yang berbeda. Seperti menegaskan bahwa bapakku itu, pernah hadir selama 18 tahun dalam hidupku. Semua yang terjadi sekarang adalah apa yang dia teruskan pada orang-orang yang hadir di sekelilingku kemudian. Seperti mencoba mengingat-ngingat lagi rasa kehadirannya dan mencari benang merahnya dari rasa yang hidup dan hadir kemudian. Dan seringkali ingatan-ingatan itu menjelaskan mengapa aku bisa sampai ada di titik ini. 

Itu sebabnya aku ziarah kala rindu sangat, untuk menjaga ingatan-ingatan dan keterhubungan jejak orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku: sedikit banyak, antagonis protagonis, baik buruk_aku tidak bisa menyangkalnya bahwa ia pernah hadir. Apalagi itu bapakku. 

Terima kasih Arya Dipa yang sudah mau menemani..

Comments

@caturatna said…
Rindu bapak itu ajaib yaaa ;)
Awalnya perih, lama-lama aku menikmatinya...
Awalnya berharap bisa memesan mimpi untuk berjumpa dengannya, tapi kehadirannya yang tiba-tiba menyelinap dalam bunga tidur itu sungguh kejutan yang menyenangkan :)
vitarlenology said…
sampai saat ini, kalau mimpi bertemu bapak, bangun tidur rasanya bahagia sekali... :)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah