Phnom Penh, foto oleh vitarlenology |
"Kamu bisa bahagia kapanpun, kalau mau!" -Agustinus Wibowo-
Kata-kata ini muncul tak sengaja dari perbincangan bersama Agustinus saat ia berkunjung ke Bandung. Dan sampai saat ini, kata-katanya itu nempel di kepalaku. Ya, kapanpun, kalau mau. Kalau ga mau? berarti ga akan menemukan kapan yang disebut sebagai 'kapanpun' itu.
Bukankah bahagia itu bisa datang setiap detik bersama dengan setiap hembusan nafas? kebahagiaan-kebahagiaan yang sederhana, tanpa syarat dan pamrih. Namun, jika kebahagiaan itu bisa begitu sederhana, mengapa banyak orang merasa sulit merasa bahagia? Dan mengapa kebahagiaan mesti dipersulit kalau ia bisa datang dengan mudah.
Persoalannya, aku seringkali membatasi kapan 'kapanpun' itu bisa datang. Seringkali aku terjebak dalam banyak persyaratan yang aku buat sendiri untuk menentukan waktu yg disebut 'kapanpun' itu. Dan seringkali persyaratan yang menentukan 'kapanpun' memagari kemauanku untuk menerima kebahagiaan. Itu pula sebabnya, mengapa sebagian orang berkata 'Aku bisa bahagia kalau sudah begini dan begitu'.
Pada titik ini, orang bisa saja mendebat, bagaimana dengan orang-orang yang hidupnya penuh penderitaan sehingga sulit untuk merasa bahagia. Hal ini juga bisa dengan mudah dipatahkan, karena ada orang yang hidupnya penuh penderitaan tapi dia bisa dengan mudah merasakan kebahagiaan. Berarti penderitaan bukan alasan yang bisa menjauhkan diri dengan kebahagiaan. Demikian pula sebaliknya. Apakah ketika hidup dalam kemewahaan, kemudahaan akan membuat orang otomatis jadi bahagia? ternyata tidak. Banyak orang yang hidup bergelimang harta dan segala keinginannya dengan sangat mudah dapat dipenuhi, namun tetap saja sulit menemukan bahagia. Berarti pula, bukan kemudahan dan gelimang harta yang menentukan 'kapanpun' bahagia itu bisa datang.
Dulu aku merasa mungkin bahagia itu memang harus disertai syarat biar terasa rasanya dan harus datang pada waktu yang tepat, biar sahih rasanya sebagai sebuah kebahagiaan. Tapi semakin kesini, aku semakin menyangsikan hal itu, mungkin karena aku merasa sudah cukup dengan sejumlah persyaratan yang telah aku tetapkan sendiri. Karena ga tau batas maksimal dari persyaratan yang kita tentukan sendiri, alih-alih menjadi syarat yang terjadi malah semacam dramatisasi atas nama mencapai kebahagiaan. Ketika aku merasa begitu banyak syarat yang aku upayakan untuk mencapai kebahagiaan, namun yang ingin dicapai tak kunjung tercapai juga, aku lalu mengutuk diri bahwa kebahagiaan itu sesuatu yang begitu sulit bahkan niscaya. Padahal, kebahagiaan itu bisa tanpa syarat dan mudah saja, seperti menghirup udara segar dan menikmati hembusan angin di daun-daun.
Mungkin persyaratanku untuk menerima kebahagiaan ini terlalu banyak dipengaruhi 'fairy tales' dimana perjuangan, penderitaan, pengorbanan menjadi jalan untuk menebus sebuah kebahagiaan. Mungkin semestinya perjuangan, penderitaan, pengorbanan bukan untuk menebus kebahagiaan, tapi sebagai cara untuk mendalami rasanya. Jika tujuannya untuk menebus, berarti aku tidak merasakan kebahagiaan lalu membutuhkan semua jalan itu, untuk dapat merasakan kebahagiaan. Namun jika aku memilih semua jalan itu untuk mendalami rasa dari kebahagiaan itu, berarti aku sebelumnya sudah merasakan kebahagiaan dan semua jalan penderitaan, pengorbana, akan membuatku semakin paham dengan seluk belum rasa dari kebahagiaan itu. Bahagia menjadi tanpa syarat. Perjuangan meraihnya adalah kemauanku untuk merasakan kedalaman dan keragaman rasa dari kebahagiaan itu.
Ya, rasanya setiap orang punya standar tertentu dan perlu mencapai standar itu terlebih dahulu untuk punya kemauan mendapatkan kebahagiaan yang 'kapanpun' itu. Persoalan standar ini, rasanya sangat erat dengan soal bagaimana aku menentukan seberapakah cukup itu. Jika sudah berkecukupan, rasanya tidak ada alasan untuk tidak mau menerima kebahagiaan yang bisa datang kapan pun itu..
'
Comments