Foto by tarlen, Pantai Sundak 2005
Sebuah chatting yang cukup intens terjadi semalam, bersama temanku seorang mantan redaktur. Aku berhasil menahannya di kantor sampai hampir pukul 22.30, padahal biasanya pk. 17.00 dia udah pamitan pulang. Tiba-tiba saja kami jadi dekat. Di dekatkan oleh Yahoo Messanger, karena jika dia datang ke tempatku, dia lebih memilih diam dan berbincang dengan buku-buku yang ada di tobucil daripada berbincang denganku. "Dalam diam pun, masing-masing kita sudah bicara banyak," begitu alasannya.
Bukan dia yang akan kubicarakan disini, tapi apa yang berusaha dia katakan dan aku baru mulai memahaminya. Setiap kali aku membicarakan bapak, temanku itu pasti langsung bilang: "nah.. nah.. mulai lagi.. kamu belum sembuh rupanya." Dan dengan kengeyelanku itu akau akan bersikeras bilang: "Aku udah sembuh!" padahal pada saat yang sama hatiku sendiri bertanya: 'Iya gitu udah sembuh?'. Ketika aku masih membicarakannya berarti aku belum sembuh, masih berproses menuju sembuh. Sementara aku membantahnya "Justru dengan membicarakannya aku bisa terbantu untuk sembuh, karena aku butuh orang lain untuk melihatnya dari perspektif berbeda" (Setidaknya itu yang kudapat dari menonton Oprah, banyak orang yang mengira ketika kehilangan, bisa sembuh dengan sendirinya dengan tidak membicarakannya, padahal dengan membicarakannya ada beban yang dia bisa lepaskan).
Ya mungkin dia sepakat dengan apa Oprah, tapi yang dia pertanyakan padaku adalah 'mengapa aku justru terkesan selalu berusaha membicarakannya jika memang aku sudah sembuh?' Mmmm.. pertanyaan yang sama kemudian menggema dalam diriku 'Iya mengapa aku seperti selalu berusaha membicarakannya? Apa yang belum kupahami dari rasa ini?'
Setelah bertahun-tahun memikul rasa sakit atas kehilangan atau apapun itu, memang ga mudah bagi seseorang termasuk juga aku untuk sembuh. Mungkin aku memang udah beneran sembuh. Tapi untuk menyadari hal itu bukan hal yang mudah. Karena seringkali aku justru ga mau kehilangan rasa sakit itu. Rasa sakit yang sudah sekian lama menjadi bagian dari hidupku. Rasa sakit yang selama ini hidup bersama dalam diriku, trus tiba-tiba aku harus menerima kenyataan bahwa rasa sakitnya ternyata sudah hilang. Aku ga tau apa sindrom seperti ini juga terjadi pada orang-orang yang memang sakit fisik menahun, kanker misalnya.
Aku jadi ingat kisah pedagang kristal di Sang Alkemis. Cita-cita terbesarnya adalah pergi ke tanah suci. Ia bekerja keras siang dan malam untuk itu, namun ketika kemampuan itu ada, ia tak kunjung pergi. Ketika orang bertanya padanya mengapa ia tak kunjung pergi, ia menjawab bahwa ia tak ingin kehilangan impiannya pergi ke tanah suci. Karena ia takut setelah impian itu tercapai, setelah itu ia akan akan kehilangan semangat untuk bekerja. Jadi bagi di pedagang kristal memelihara impian jauh lebih penting daripada mewujudkannya. Jangan-jangan untuk para penderita hati yang sakit ini, menjaga hatinya tetap sakit juga menjadi lebih penting, karena ketika sakit hatinya itu sembuh, banyak hal hilang. Kesembuhan kemudian ditakuti sebagai hantu kehilangan baru. Mmm...
***
Setiap orang memang punya beragam cara untuk sembuh. Ada yang memilih tidak mau membicarakannya, atau justru tidak membicarakannya. Baru hampir 3 tahun terakhir ini akhirnya aku mau membuka diri untuk bicara. Mencari teman yang bisa memberikan pandangan berbeda bahkan memberi perhatian untuk sembuh. Dan itu kurasakan sangat-sangat membantu. Di bandingkan dengan 10 tahun sebelumnya dimana aku lebih memilih menyimpannya sendiri karena berpikir, nanti juga luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Tapi ternyata engga. Seperti bisul, nanahnya harus di keluarin, di bongkar lukanya trus di obatin, biar ga busuk. Dan itu yang kulakukan 3 tahun saat membuka diri. Rasanya seperti membongkar luka dan memberinya obat setelah itu membiarkan jaringan sel baru menyembuhkannya. Seringkali ketika luka itu telah sembuh dan tertutup kulit baru, aku ga menyadarinya. Yang tertanam dalam benakku, aku masih sakit. Pahadal rasa sakitnya seperti apa, aku sendiri sudah lupa.
Aku jadi memikirkan apa yang temanku bilang, mungkin memang sekarang saatnya untuk berhenti membicarakannya. Karena waktu kutengok, luka itu telah sembuh. Ada sih bekasnya, tapi tak lagi terasa sakit. Ketika membicarakannya kembali pun aku telah kehilangan emosi dari rasa sakit itu. Rasa sakit yang kubicarakan itu maknanya pun telah berubah karena caraku memandangnya tak lagi sama.
Lalu bagaimana kemudian merasakan sembuh itu dengan perasaan yang benar-benar sembuh? Akibat sakit menahun itu mungkin aku sendiri udah lupa rasanya sembuh. Perlu diindentifikasi kembali bagaimana rasanya sembuh dan mungkin di definisikan kembali. Sembuh yang dulu pasti beda sama sembuh yang sekarang. Seperti juga kesadaran untuk merasakan bahagia yang tidak pernah sama karena bahagia selalu datang dengan cara dan rasa yang bebeda. Mungkin begitu juga halnya dengan sembuh.
Ya, semoga mau sembuh..
Comments
Gak ada luka yang gak meninggalkan bekas. Yang penting ada usaha untuk MAU sembuh.
saya juga MAU sembuh ;-)