Skip to main content

Mencintai Lelaki Beristri


Foto karya Roy Voragen


Satu hal yang harus kamu pahami, ketika berhubungan dengan lelaki beristri, kamu harus rela. Rela menjadi nomer kesekian. Rela menjadi bukan prioritas. Rela menerima sisihan waktu. Rela menerima label pengganggu rumah tangga orang lain. Rela memberi maaf atas semua alasan yang harus kau terima, saat si lelaki itu tak bisa menepati banyak hal yang ia janjikan padamu. Rela atas banyak hal. Rela atas semua resiko, ketika kau tau, lelaki yang kau cintai adalah lelaki dengan status NOT AVAILABLE alias Suami orang, alias bapaknya anak-anaknya.

Tentunya kau akan dituduh cari gara-gara, cari penyakit, parahnya perempuan ga bener, perempuan gatal, ketika kau lebih memilih mencintai lelaki beristri daripada lelaki lajang untuk kau kencani. Tapi kau juga bisa membela diri, siapa yang bisa melarang perasaan cinta yang datang?

Kerelaan ini, termasuk juga ketidak pahaman lingkungan ketika dalam hubungan itu,ketika kau berusaha keras menjaga dengan susah payah batas terjauh dari hubungan kalian dan tetap menjaganya di wilayah aman. Tetap saja, lingkungan akan menganggapmu sebagai si pelanggar batas. Pelanggar aturan dan norma masyarakat. PIhak ketiga dalam rumah tangga orang lain. Tertuduh utama dari sebuah peristiwa bernama perselingkuhan. Meski kau bersikeras, bahwa kau bisa menjaga batas aman, kau berhasil tidak bersetubuh dengan suami orang lain, tetap saja, kau adalah tertuduh utama. Kau adalah orang yang ketiga yang membuat lelaki beristri mencintai perempuan lain selain istrinya. Kau membuat lelaki itu tak setia pada istrinya.

Pada kenyataannya seringkali bukan kamu yang memulai semua kerumitan ini. Dan kenyataan pula bahwa kesetiaan seringkali bukan berarti memilih untuk tetap pada satu pilihan. Kesetiaan teruji justru saat mengalami beberapa pilihan. Manusia terlalu fana untuk bisa menjadi utuh atas satu hal. Begitu juga para suami. Seringkali si suami sendiri merasa ada bagian dalam dirinya yang kosong yang seringkali tak bisa dipenuhi oleh istrinya di rumah. Ia hanya butuh teman berbagi, teman yang bisa mengisi kekosongan itu. Tidak dengan seks. Cukup dengan sedikit antusiasme. Berbagi cerita atau sedikit berpegangan tangan saja sudah lebih dari cukup. Karena ia butuh teman yang bisa bergulat secara emosional dan pikiran, di tengah situasi rumah tangga yang semakin rutin dan datar. Apa yang salah dengan keinginan mencari teman pengisi kekosongan. Yang seringkali suami cari bukanlah cinta yang sama yang ia berikan pada sang istri, ibu dari anak-anaknya. Suami butuh cinta yang lain, untuk memberinya keyakinan diri bahwa cintanya pada perempuan lain bisa melengkapi dan mengukuhkan cintanya pada sang istri.

Lalu kau, perempuan lajang, penuh dengan semangat dan menawarkan antusiasme itu dan kebaruan-kebaruan dalam mengalami hidup. Selamat, kau terpilih. Kau tak perlu merayunya kau sudah terpilih. Seperti menang hadiah kejutan. Di tengah-tengah kesulitanmu bertemu lelaki yang bisa menjadi teman hidupmu, karena semakin kau membangun kualitasmu, semakin sulit kau menemukan pasangan. Seringkali kualitas pasangan yang kau butuhkan justru ada pada lelaki yang telah beristri. Dan saat kau bersepakat membuka pintu hatimu, kau sadar bahwa mengusir si suami dari ruang hatimu bukanlah hal mudah.

Lalu lelaki beristri datang dengan sejumlah pengertian dan membawa perasaan memahami yang kau cari. Bagaimana mungkin si lelaki tidak paham dan mengerti? dia sudah melewati itu semua. Kehidupan berumah tangga menyadarkannya, ternyata banyak hal yang tidak bisa ia dapatkan dari pasangannya. Kau seperti pasal-pasal tambahan yang belum tercantum dalam kontrak nikah yang dilakukan suami dengan istrinya. Kenyataan ini membuat lelaki beristri menjadi lebih pengertian pada lajang-lajang sepertimu. Siapa yang tak ingin dimengerti? siapa yang tak ingin menerima tawaran pundak, ketika kau lelah menyandang beban kelajanganmu dan ingin punya pundak untuk bersandar. Lalu apakah kau mesti menolak pundak itu sama sekali saat kau merasa begitu lelah? padahal kau bisa menerimanya untuk menyandarkan diri sejenak, mencoba mengerti substansi rasa nyaman yang kau temukan dari pundaknya, tanpa menuntut hal lain selain pundak. Lantas pertemuan seperti ini apakah menjadi pertemuan yang salah dan seharusnya dihindari?


Mungkin persoalannya bukan pada pilihan menghindarinya atau menerimanya, tapi ada pada kerelaanmu saat kau memutuskan bersandar sejenak di pundaknya. Jangan kau bayangkan pertemuanmu dengan lelaki beristri, membuatmu otomatis nyaman ketika bersandar padanya. Kenyamanan itu tergantung dari kerelaanmu padanya. Kerelaan untuk menyadari bahwa kapanpun dia bisa beranjak, mengambil pundaknya kembali ketika istri dan anak-anaknya menginginkannya. Kau tak bisa menuntut pundak itu hanya untukmu. Kau hanya meminjamnya sesekali dari istri dan anak-anaknya. Kau tak bisa menuntut hakmu atasnya, karena dia tak punya kewajiban apa-apa atasmu, kecuali kerelaannya untuk memberikan cinta di ruang kosong hatinya itu untukmu. Kerelaan yang menuntutmu memaknai cinta adalah memberi bukan meminta. Kau memberikan relamu padamu. Kau tidak memintanya, juga mungkin dia. Kalian sama-sama memberi dan membuat kekosongan masing-masing menjadi terisi. Meski sangatlah sulit mengukurnya, sejauh mana kekosongan masing-masing itu telah terisi.

Pada prosesnya, menjadi rela itu kadang terasa seperti kekosongan baru dalam dirimu. Kekosongan yang muncul dari kesadaran bahwa kau dikelilingi pagar yang jelas yang tidak bisa kau langgar. Kau terkurung dalam ruang mencinta yang jelas teritorialnya, tapi seringkali sulit bagimu untuk melihat batas wilayahnya karena hakmu atas rasa cintamu padanya, bertubrukan dengan pergulatan rasionalitas hak dan bukan hak. Apakah mencintaimu menjadi hak yang kau miliki? Juga mengalami cinta dengannya, apakah juga hak yang bisa kau alami? Itu persoalan pelik dan dilematis yang harus kau hadapi. Kerelaan akan menempatakan hakmu dalam tataran pikiran dan menjadikan cintamu itu sebagai sebuah platonisme dalam pergulatan pikiran dan rasa yang intens dan lebih banyak kau pendam sendiri.

Saat kau lelah untuk memendam intensitas itu dan itu membuatmu kemudian nekat menabrak batas itu untuk mendapatkan keintiman fisikal yang nyata dan ekspresif. Lalu kau terjebak pada tuntutan prioritas, waktu yang lebih banyak, kejelasan status, banyak hal yang akhirnya membuat perasaan cinta yang memenuhi ruang kosong itu, habis terkuras, karena kau sibuk dengan masalah teknis, bukan persoalan substansi. Kau kan dihantui persaan takut karena pada akhirnya kau menjadi pamrih dan menuntut. Kau merasa telah memberi lahir dan batin lalu kau berhak menuntut hal yang sama darinya. Padahal sejak awal kau tau, tuntutan itu sering kali sia-sia.

Bertahan pada substansi itu berarti kau rela, menjalani pergulatan pikiran dan rasa tanpa menuntut sensasi fisikal, saat kau sadar kau tidak bisa menyentuhnya dan meraih waktunya kapanpun kau mau. Pada tingkat ini, kau sedang dalam proses memperkaya batinmu. Memperkaya kesadaranmu sebagai lajang atas sebuah hubungan dan memperluas batin dan hatimu atas arti sebuah kerelaan dan ketulusan.

Pada akhirnya, memilih membuka pintu hatimu bagi lelaki beristri, mesti siap dengan semua konsekuensinya. Semua kerumitan dari hubungan itu, akan menempamu untuk bisa berlapang hati dengan semua kerelaan dan ketulusanmu itu. Kau akan menemukan makna mencintai, menemukan cara untuk menjadi fair pada dirimu juga pada dirinya_si suami orang. Setiap kerumitan dan kompleksitasnya, akan membawamu pada kualitas diri yang baru. Tinggal kamu tentukan saja, sejauh mana kualitas itu ingin kamu bangun dari hubungan ini. Kamu yang memutuskan.

Untuk yang mencintai dan dicintai lelaki beristri..

Comments

Unknown said…
Ceu,
Dasyat tulisanmu. Seperti membongkar serpihan benang yang terlilit dalam kain kusam.

Membaca tulisanmu seperti mendapat rasa di tengah kehambaran...

Tulisanmu juga menguak kemanusian dari sebuah relasi yang terbungkus nilai, adat dan dogma yang berkembangbiak di kepala manusia.

Terimaksih
Aku merasa baru saja mendapat sesuatu yang berati.

Miss You
-yani-
sica said…
len len... -nyeuri..- hehehehe
bisma said…
Hey, Shakspeare pernah ngomong begini: "It's better to love and lost than to not love at all".

Mending jatuh cinta tapi akhirnya jatuh, patah dan nanar karenanya daripada nggak pernah belajar mencintai...
Unknown said…
Rumitsasieur!
gecko...gecko..gecko.... kaya lagi bercinta terus ada bunyi toke!
Vie said…
Aduh Len, seperti kuungkapkan dalam percakapan kita terakhir, aku tercekat dengan pilihan kata-katamu. Kemampuanmu merekam suasana dan mengungkapkannya kembali lewat kalimat-kalimat yang memberi nuansa yang lebar dan dalam, yang kau rangkum sedemikian rupa dengan bubuhan interpretasimu atas aspek-aspek kehidupan, emosi manusia, bukan main! Aku senang membacanya.

Topik ini jelas tidak populer di kalangan para isteri. Tak pelak, banyak para isteri/ibu yang terpanggil untuk menuliskan reaksinya di banyak milis. Dan reaksi mereka pada umumnya: kesal kepada sesama perempuan yang mencintai lelaki beristri. Hal yang bisa dimengerti, karena kita masing-masing bereaksi atas dasar prinsip hidup kita dalam hal hidup berpasangan.

Bagusnya, Len, tulisanmu tidak menyerang siapa-siapa. Engkau memaparkan secara tepat sisi perempuan lajang yang terjebak dalam situasi itu, mencintai, atau mungkin lebih tepat, sempat bercinta dengan lelaki yang (kebetulan) sudah beristri, tanpa pembelaan diri atau menyalahkan salah satu pihak terkait. Tidak lagi terasa penting ungkapan setuju atau tidak setuju dengan topik pilihanmu, yang kau ketengahkan adalah salah satu realita hidup. Ya begitulah. Itulah CINTA.

Dan cerita tentang cinta, Len, tidak akan ada habisnya. Sekali lagi, aku menikmati tulisanmu. Kutunggu tulisanmu tentang cinta yang berikut.
saurlin said…
dasyat, eksplorasi yang dalam,
salut.

king.
NUvV said…
Iya,Mbak..
sedih kalo mencintai seseorang yang udah 'Punya',
diajak poligami juga kan ga mau..
sediiih bgt,
ga kepikiran yang laen.
Kenapa selera saya Om-Om ya?
NUvV said…
Iya,Mbak..
sedih kalo mencintai seseorang yang udah 'Punya',
diajak poligami juga kan ga mau..
sediiih bgt,
ga kepikiran yang laen.
Kenapa selera saya Om-Om ya?
sheseelainku said…
jalanin aja yg udh digariskan tuhan.. Dia yang punya kuasa...
Anonymous said…
Sangat sangat menyentuh....tapi ad saatnya kita tidak harus memiliki apa yang kita cintai...karena cepat atau lambat dia pasti kan kembali pd istri n anak2nya....sulit memang
Anonymous said…
Hebat mba. Mengena banget.
nina said…
yaa tuhan,baca nya sampai nangis aku..
ak mengalami masalah ini
sedih..
aku punya hubungan sma bos ku di kantor
alhasil aku resign skrg,
Unknown said…
Bagus tulisan nya,,.sangat membuka kesadaran ketika logika pun tidak mampu berfikir dengan baik , sekalipun hati sudah berusaha sekuat tenanga untuk melawan perasaan namun pada akhir nya cinta buta lah yang selalu menjadi alasan
Anonymous said…
ya ampun mba. tulisannya bagus banget. dan ini udah di post hampir 8 tahun yll.
dari awal aku baca judulnya, aku langsung nangis, sampe kebawah aku baca setiap kata2nya. dadaku sesak bgt, seolah mbak berhasil mengungkapkan yang selama ini gabisa aku ungkapkan. mbak mampu mentranformasikannya menjadi tulisan dan kata2, yang selama ini gabisa aku lakuin. dan kenyataan2 yg mbak tulis itu benar adanya, dan aku sudah tahu dari awal dan tetap terasa sakit saat diingatkan.

gatau kenapa saat baca ini, seolah2 mbak sedang ngomong sama aku, bahkan tulisan mba ini jauh sbelum aku mengalamai kisah cinta seperti ini. mungkin ini yang banyak terjadi saat kita mencintai laki-laki berisitri. masalahnya selalu sama dari waktu kewaktu. kesedihannya selalu sama dari waktu ke waktu. terimakasih mba udah ngepost tulisan ini. terimakasih...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah