Skip to main content

The White Stripes Jepretan Annie Leibovitz


Akhirnya aku menemukan foto ini. Pertama kali aku melihatnya di majalah Vouge  dan langsung membuatku berkomentar: "Gila ini foto keren banget!" aku suka banget sama suasana dan warnanya. Ganjil. Jack White disini pas banget dengan kostum putih dan pisau dapur di tangannya. Sementara Meg White sebagai sasaran tembak, tersenyum innocent.  Menurutku Annie Leibovitz pas banget mendeskripsikan karakter The White Stripes di foto ini yang seksi misterius dan bisa jadi bebahaya, penuh kejutan tapi semuanya terkontrol. Latar belakang yang sepertinya menggambarkan daerah industri, seperti menjadi metafor Detroit yang industrial, keras, murung, serius dan menyimpan kisah pahit yang lama-lama mengental bersama asap dan debu southwest Detroit. Itu sebabnya menurutku warna merah yang ditampilkan disini lebih untuk menggambarkan 'kekentalan itu' (makanya bukan merah terang, tapi lebih murung dan gelap). Warna putih justu menambah dramatis  pucatnya kulit Jack, seperti menegaskan rasa dingin dan murung itu. Forgotten but not forgiven.

Oya aku posting juga puisi Jack tentang Detroit, kota kelahirannya yang akhirnya dia tinggalkan karena tidak lagi kondusif sebagai tempatnya berkarya.



'Courageous Dream's Concern,' by Jack White



I have driven slow,
three miles an hour or so,
through Highland Park, Heidelberg, and the
Cass Corridor.
I've hopped on the Michigan,
and transferred to the Woodward,
and heard the good word blaring from an
a.m. radio.
I love the worn-through tracks of trolley
trains breaking through their
concrete vaults,
As I ride the Fort Street or the Baker,
just making my way home.

I sneak through an iron gate, and fish
rock bass out of the strait,
watching the mail boat with
its tugboat gait,
hauling words I'll never know.
The water letter carrier,
bringing prose to lonely sailors,
treading the big lakes with their trailers,
floats in blue green chopping waters,
above long-lost sunken failures,
awaiting exhumation iron whalers,
holding gold we'll never know.

I've slid on Belle Isle,
and rowed inside of it for miles.
Seeing white deer running alongside
While I glide, in a canoe.
I've walked down Caniff holding a glass
Atlas root beer bottle in my hands
And I've entered closets of coney islands
early in the morning too.
I've taken malt from Stroh's and Sanders,
felt the black powder of abandoned
embers,
And smelled the sawdust from wood cut
to rehabilitate the fallen edifice.
I've walked to the rhythm of mariachis,
down junctions and back alleys,
Breathing fresh-baked fumes of culture
nurtured of the Latin and the
Middle East.
I've fallen down on public ice,
and skated in my own delight,
and slid again on metal crutches
into trafficked avenues.

Three motors moved us forward,
Leaving smaller engines to wither,
the aluminum, and torpedo,
Monuments to unclaimed dreaming.
Foundry's piston tempest captured,
Forward pushing workers raptured,
Frescoed families strife fractured,
Encased by factory's glass ceiling.

Detroit, you hold what one's been seeking,
Holding off the coward-armies weakling,
Always rising from the ashes
not returning to the earth.

I so love your heart that burns
That in your people's body yearns
To perpetuate,
and permeate,
the lonely dream that does encapsulate,
Your spirit, that God insulates,
With courageous dream's concern.

Comments

I. Widiastuti said…
mbak, setahuku ya, si jack white ini bukannya memang menciptakan image "candy cane" (dominasi merah putih) gitu ya di setiap hal yang dipublikasikannya?
vitarlenology said…
iya itu konsep artistiknya white stripes.. tapi ga berlaku untuk the raconteurs dan dead weathers.. malah warna artistiknya thrid man record, perusahaan rekamannya dia dominasi warna hitam dan kuning..
Fotonya dengan format HD, atau foto biasa tapi dengan hasil warna yang 'ganjil' ya? Kereen...
vitarlenology said…
kayanya emang sengaja warnanya dibikin gitu..itu resolusi paling besar untuk foto ini yang aku temukan di internet..

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah