Skip to main content

Positive Vibration

 

Setelah membaca komentar puisi Jack White tentang kotanya (yang setengahnya sangat sinis dengan kesuksesannya), aku jadi teringat tentang bagaimana hidup di temani kesinisian orang di sekitarku. Kesinisan bagiku mematahkan dan menguras tenaga. Meski kadang  aku tau di balik kesinisan itu ada maksud baik, tapi tetap saja yang terasa pertama kali adalah mematahkan dan mengecilkan hati.

Sinis dan kritis itu jauh bebeda. Salah satu sahabat baikku, dia orang yang kritis. Dia selalu bertanya mengapa aku memutuskan itu? Dia hanya berusaha memastikan bahwa aku meyakini keputusanku. Sementara orang yang cenderung mengolok-olok lebih dahulu, mungkin hanya bermaksud menggoda dan menggoyahkan keyakinan, tapi jika itu terus menerus dilakukan, bener-bener bisa mematahkan. Aku selalu menduga, mengapa orang bisa sinis dengan gagasan atau karya orang lain, tidak berusaha mengapresiasinya terlebih dulu, tapi lebih senang  'mengolok-olok', pertama, mungkin karena dia sedemikian jago dan hebatnya, sehingga apa yang orang lain lakukan tak ada artinya sama sekali buat dia. Kedua, orang bisa sedemikian sinis pada orang lain, karena dia tau dia tidak mampu. Dia sadar bahwa dirinya pecundang. Sebelum dia diolok-olok, lebih baik mengolok-olok orang lain. Ya semacam naluri mempertahankan diri.

Aku tau bagaimana rasanya dikuras dan dipatahkan oleh kesinisan itu. Itu sebabnya aku lebih memilih menganggap orang seperti itu adalah pecundang yang tidak percaya diri dengan pencapaiannya sendiri. Bersahabat dengan teman-teman yagn nyaman dengan diri dan pencapaiannya, membuatku tidak lagi mudah dipengaruhi oleh kesinisan itu. Aku beruntung sahabat-sahabatku yang luar biasa itu, sedemikian nyaman dengan diri dan pencapaian  mereka masing-masing. Sehingga kami bisa saling merasa bahagaia belaka ketika salah satu dari kami mencapai prestasi atau mendapatkan kebahagiaan, tidak pernah aku mendengar komentar sinis bahkan olok-olokan yang bisa mematahkan semangat atau menyakiti hati kami masing-masing.

***

Jika Jack White akhirnya pindah ke Nasville untuk mendapatkan iklim berkarya yang lebih kondusif dan positif, aku memilih untuk menghindarinya kesinisan-kesinisan itu dan belajar mengabaikannya, karena aku membutuhkan waktu lama untuk pulih setelah dipatahkan, apalagi jika kesinisan itu ternyata datangnya dari orang yang  sedemikian aku percaya. Lebih baik orang itu menyelesaikan dulu persolan dengan dirinya, temukan rasa percaya diri dan kenyamanan dengan apa yang telah dicapai, biar bisa lebih memancarkan energi positif pada orang lain. Temanku yang psikolog pernah bilang, dunnia ini mengalami defisit energi positif, jadi jangan sia-siakan energi positif kita pada orang-orang yang hanya bisa menguras itu semua dengan kesinisannya.

Dan pertama-tama yang mesti dilakukan adalah merasa nyaman dan positif dengan diri sendiri, setelah itu energi positif lain akan menghampiri...

Comments

Unknown said…
Gimana klu sinis dan kritis itu ada dalam 1 pribadi mbak?
Pernah seseorang waktu liad naskah qu, dia sinis bgt comment ny ...
Trus aqu jd lgsg down gtuu... Rasanya lgsg maleess buad ngapa2in ma tu naskah.
Tp abis itu dya kasih solusi. Abis dia ngancurin aqu abis2an (lebbay dee.... :-P) dia ngasi jalan keluar buad aqu.
Solusi ny emang bener klu tk pikir lg,, tp tetep aja awalny ada yg cekitt cekitt gtu..
Salam kenal ya mbak... :-)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah