Skip to main content

New York, I Love You (2009): New York Di Mata Yang Lain, Hop In Hop Off!

* * *

Sutradara dan Full Cast buka di sini

Apa yang sesungguhnya ingin diceritakan fragmen-fragmen dalam film ini? Apakah 'moment-moment' intim dari mata 'yang lain' (Karena sebagian besar sutradara di fragmen-fragmen ini sepertinya pendatang atau hanya mampir, Fatih Atkin misalnya)? Atau ini cerita tentang sebuah metropolitan dengan lima borough yang bebeda (Bronx, Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island)? Aku sungguh-sungguh mengalami kebingungan dengan tujuan dari film ini.

Harapanku untuk menemukan 'New York' yang pernah kualami 2 tahun lalu, sepertinya tidak terjawab. Aku tidak menemukan sesuatu yang 'Brooklyn banget' (btw, beberapa teman di ACC menyebutku: brooklyn girl, sangking senengnya aku maen ke brooklyn) atau 'queens' banget. Bronx dan Staten Island apalagi. Mahattan yang kutemukan di film ini juga hanya kelebatan saja: sedikit bau Soho, west side, 5th Ave, China Town dan rasanya seperti melihat gambar-gambar itu di katalog wisata.

Ada apa dengan para sutradara ini? sepertinya mereka kehilangan  bahan cerita tetang NYC, selain sex dan sex dan sex dengan orang kamu kenal, maupun orang yang tidak kamu kenal sama sekali. Tapi mana perasaan sendiri di tengah keramaian sehingga kamu begitu mengingkan keintiman itu. Aku tidak menemukannya rasa itu di film ini. Sepertinya para sutradara mengalami  kebingungan menceritakan New York, sangking 'hip'nya kota ini. Ingin menemukan kedalaman dari fragmen kisah tentang NY, tapi tidak berhasil karena terlalu banyak yang ingin di ceritakan. Aku inget satu kompilasi tentang NY berjudul 'Subway'. Film itu memang tidak dimaksudkan untuk menfokuskan diri pada NY secara khusus, tapi kisah-kisah yang terjadi di subway, tapi menurutku menggambil secuplik dan menelisiknya akan jauh lebih bisa menampilkan rasa dan aromanya.

Ya, aku memang mencari konfirmasi tentang NY dari film ini. Mencoba memastikan adakah rasa NY yang pernah kualami secara langsung itu bisa kutemukan di sini? Aku juga sama, menjadi 'yang lain' seperti para sutradara itu, tapi setidaknya empat bulan disana, membuatku bisa membedakan rasanya Bronx, Queens, Brooklyn, Manhattan, Staten Island. Menonton film ini seperti berputar keliling, sightseeing  New York dengan bis turis: Hop In Hop Off. Sangat 'romantis'  dan permukaan.

Comments

I. Widiastuti said…
nah ini dia mbak...kemarin waktu temen2ku rame ngebicarain ini di twitter, aku cuma bisa komentar dengan skeptis :will it be good as Paris Je t'aime? karena menurutku film ini kan dibikin agak mirip itu.
vitarlenology said…
menurutku kalo ini film ide awalnya emang ngikutin Paris Je'taime, jelas gagal, karena Paris Je'taime berhasil menampilkan memberikan rasa yang Paris banget itu... koreksi kalo aku salah, tapi rasanya dua film ini kan pengen ngomongin soal manusia dan kotanya... di NY, I love you, kota masih sebatas setting yang di komentari secara verbal, belum sampai pada kota itu sendiri yang bercerita..
I. Widiastuti said…
Persis! kalo di Paris Je t'aime itu yang berbicara bukan hanya cinta yang superfisial. Kalo aku lihat kedua kota ini sebetulnya sangat multikultural, seharusnya "new york, i love you" bisa lebih sensitif dengan isu-isu seperti ini ya.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah