Skip to main content

Berulang Tahun di Killing Field

Hal yang istimewa di hari ulang tahunku tahun ini adalah aku menghadiahi diriku sendiri kunjungan ke Museum Genocide di Phnom Penh dan The Killing Field di Choeng Ek, sekitar 15 KM dari Phnom Penh, Cambodia. Rasanya bener-bener menghantui. Museum Genocide atau yang lebih dikenal S-21 adalah bekas ruang penjara, intrograsi dan penyiksaan orang-orang yang dianggap menentang rezim Khmer Merah Pol Pot yang isi ruangannya masih dibiarkan seperti aslinya. Sementara The Killing Field adalah tanah seluas 2 hektar tempat Pol Pot dan serdadunya membunuh dan mengubur secara masal para tawanan politiknya.

Rasanya ini hadiah paling dalam yang pernah aku terima (meski hadiah ini kuberikan untuk diriku sendiri). Terasa dalam kerena membuatku berpikir banyak hal. Ingin segera kembali pulang, membaca kembali buku-buku sejarah dan memaknainya secara berbeda setelah melihat langsung tempat kejadiannya.

Di tengah-tengah tanah Cambodia yang begitu kering dan gersang, tanah dua hektar dengan sebuah monumen berisi ribuan tengkorak manusia korban kekejaman Khmer Merah dan juga lubang-lubang bekas kuburan masal, bener-bener terasa mencekam buatku. Keheningan yang ada di sana seperti keheningan yang terjadi ketika baru saja tengkorak-tengkorak itu ditemukan. Turis-turis yang datang ke tempat itu, seperti tak tau harus bicara apa, mereka, aku mengelilingi tempat itu dalam diam. Bahkan saat masuk ke dalam ruang pamer dan pemutaran video dokumenternya pun, semua masuk dalam diam. Tidak tau harus berkata apa.

Ada sebatang pohong yang pada keterangannya di tulis "The Killing Tree". Pohon yang dipakai tentara Khmer Merah untuk menghempaskan bayi-bayi sampai remuk tak bernyawa. Aku tak sanggup membayangkan kekejaman seperti itu, tapi melihat guratan-guratan pada batangnya aku bisa merasakan semuanya ditoreh oleh tangisan para bayi dan juga ibu-ibu mereka yang harus melihat anak-anaknya dibunuh secara kejam.

Jika di Cu Chi, Vietnam aku menyaksikan bagaimana para Vietkong merancang "kota bawah tanah" yang  menurutku sangat vernakular sesuai dengan kebutuhan dan situasi mereka ketika perang melawan Amerika. Dan aku merasakan semangat patriotisme yang luar biasa juga militansi mereka dalam memerangi Amerika, di Cambodia yang kurasakan justru sebaliknya. Apa gunanya memerangi saudara sendiri, membantai mereka secara kejam seperti itu. Masih terlihat jelas wajah-wajah yang berusaha untuk survive di tengah gersang dan 'slum'nya sudut-sudut Phnom Penh juga sepanjang perjalanan menuju Siem Riep. Apa artinya sebuah ideologi jika untuk mempertahankannya, saudara, keluarga, sahabat, bisa saling membunuh dan baku bantai satu sama lain? Aku sedang berusaha mencernanya..

Siem Riep, Cambodia, 31 Maret 2010

P.s. Foto-foto Cambodia dan The Killing Tree menyusul aku upload, karena isi kamera belum bisa kupindahkan, foto Ho Chi Minh udah bisa dilihat di Flickrku.

Comments

I. Widiastuti said…
mbak, mungkin kalo aku ke sana udah nangis2.
Dian said…
speechless. aku tunggu terus laporan perjalanan yaaa...:)
Unknown said…
don't forget, we have that too in indonesia, 1948, 1965. the same thing happen. worst, we haven't admit it.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...