Skip to main content

Aku Suka Cara Kalian Bercerita



Michael Gondry dan Jim Jarmusch
Foto ini pelesetan dari cover album The White Stripes, Get Behind Me Satan. Michael Gondry dan Jim Jarmusch sama-sama pernah menggarap video klipnya The White Stripes dan Raconteurs, tapi di sini aku ga akan ngebahas soal itu. Michael Gondry pertama kali memikatku lewat penyutradaraannya di video klip The Hardest Button to Button dan juga filmnya Eternal Sunshine and The Spotless Mind. Sementara Jim Jarmusch pertama kali kukenal lewat Down By Law (bener-bener film lucu meski buat temenku tidak menemukan kelucuannya, di film ini juga aku langsung terpikat oleh 'kesintingan'nya Tom Waits) dan bener-bener membuatku mencari semua filmnya Jim Jarmusch salah satunya yang dibintangi Johnny Depp: Deadman dan kurasa film itu jadi salah satu film pentingnya Johnny Depp. Gondry dan Jarmusch punya gaya yang sama sekali beda dalam meyajikan gambar bercerita di layar lebar. Dua-duanya punya ke khas-an yang sulit dideskripsikan tapi bisa dikenali. Btw, aku suka banget fotonya, makanya aku pasang diurutan teratas.


Terry Gilliam.
Jika dalam dunia sastra ada Salman Rusdie yang mewakili aliran Magical Surealism Realism, maka dalam dunia film aliran ini diwakili oleh sutradara yang mempunyai kombinasi antara sinting, liar dan sangat kuat dalam visualisasi yang fantastis. Ya, namanya Terry Gilliam.  Brazil, Fear and Loathing in Las Vegas, Brother Grim, Tideland, The Imaginarium of Doctor Parnassus, selalu membawa kita masuk dalam imajinasi visual karakter-karakter dalam film-film itu. Konon kabarnya J,K. Rowling pengarang Harry Potter menginginkan Terrry Gilliam yang menggarap Harry Potter, ketika cerita karangannya itu difilmkan. namun produser menolak karena mereka tau pasti, biaya pembuatannya filmnya akan menjadi sangat-sangat mahal karena Gilliam pasti ga akan setengah-setengah dengan visualisasinya dan tentu saja kekawatiran bahwa filmnya kemudian belum tentu laku. Apa yang dibuat Gilliam bukan untuk menyenangkan para penonton yang mau bersusah payah membeli tiket untuk menghibur diri. Gilliam justru menyajikan karyanya untuk para penonton yang bisa sangat membenci karyanya atau sangat menyukainya. Dia tidak memberikan karyanya bagi penonton yang biasa-biasa saja: tidak benci tapi juga ga suka-suka amat. Hal lain yang membuatku mengagumi Terry adalah cara dia mengatasi kegagalan filmnya: The Man Who Kill Don Quixote pada tahun 2002 yang dicatat dalam film dokumentar The Lost of La Mancha. Kegagalan itu tidak membuat Terry menyerah. Terry kembali memproduksi Don Quixote yang rencananya akan di rilis tahun 2011.  Penonton seperti itu bukan untuk karya-karyanya Terry Gilliam. GOD! I love Fear and Loathing in Las Vegas, so muuuuuchhhh!!!!!



Alejandro Gonzalez Innarittu
Pertama muncul lewat Amores Perros, dunia perfilman langsung heboh: siapakah gerangan pendatang baru yang menggarap sebuah cerita seperti menyusun sebuah puzzle dengan cara bercerita yang sama sekali bebeda dari kebiasaan Hollywood. Amores Perros, buatku meninggalkan kesan yang dalem. Bukan karena Gael Garcia Bernal semata, tapi karena kemampuan Innarittu menyusun kehidupan beberapa tokohnya dan mengkait-kaitkannya dengan begitu artistik dan intens. Setelah itu, aku mengikuti kekaryaannya: 21 Grams, Babel dan film pendeknya untuk kompilasi 09'11'01 tentang 9/11. Tiga filmnya itu, masih bicara pada persoalan yang sama, soal kehilangan, kesalahpahaman tapi dalam kadar dan intensitas yang makin lama makin kental. Innarittu mengajak penontonnya  mendengarkan tokoh-tokohnya untuk bisa mengerti. Aku menunggu film dia selanjutnya yang akan segera di release: Biutiful.


Julian Schnabel
Sebagai visual artist, karirnya sebagai sutradara seperti bagian dari project seninya. Itu sebabnya Julian tidak banyak membuat film. Ada tiga dari empat yang sudah aku tonton dan film kelima sedang salam produksi. Basquiat (1996), Before Night Fall (2000) dan The Diving Bell and The Butterfly (2007) menjadi film yang cukup berkesan buatku. Sementara aku sedang mencari dokumenternya konser Lou Reed dari album Berlin yang juga di garap Julian. DI The Diving Bell and The Butterfly aku suka cara Julian melihat dengan mata tokoh utamanya yang hanya bisa berkomunikasi dengan kedipan mata. Menurutku cara Julian bercerita seperti menikmati sebuah lukisan kontemporer. Setiap scene menjadi permainan warna dan komposisi. Kedalaman karakter justru dapat ditemukan dari warna-warna yang saling bertumpuk di setiap scenenya dan itu yang membuat film-film Julian sangat artistik.

Steven Soderberg
Jika ada anggapan bahawa sutradara film-film box office belum tentu bisa menggarap film yang sama sekali serius dan ga komersil, tentunya anggapan ini ga berlaku buat Steven. Sebut saja Ocean Twelve, Thirdteen, Traffic sampai Che part One dan Part Two. Steven menggarap semuanya dengan serius. Semua mengandung bobot keseriusan dan integritasnya sebagai sutradara. Steven menarik perhatianku karena dia sutradara dua kali (dan sedang menggarap yang ketiga) bekerjasama dengan Benicio del Toro. Dan aku merasa mereka berdua punya chemistry yang cocok: Traffic membawa del Toro pada Oscar pertamanya di tahun 2000 dan Che memberi del Toro Palm d'our sebagai Actor Terbaik Cannes 2009. Aku suka ekspresi Soderberg yang 'monalisa' banget itu. Aku sedang mengumpulkan kembali film-filmnya dan kembali mencermatinya. Ekspresi yang selalu menyimpan kejutan dan membuatku penasaran untuk mengikuti karya-karya Steven selanjutnya.


David Cronenberg
Ada apa antara David dan kekerasan? David selalu membawa penontonnya pada sisi lain dari sebuah tindakan bernama kekerasan yang tidak terlihat oleh mata kebanyakan. Sebut saja Dead Ringer dimana Jeremy Irons bermain ganda sebagai karakter kembar yang punya pandangan sangat berbeda tentang kekerasan dan kesuburan perempuan. Spider yang menghubungkan kekerasan dan kegilaan. Crash yang membawa penonton melihat bahwa disatu sisi manusia membenci kekerasan tapi disisi lain ada kerinduan dan adiksi terhadap kekerasan itu sendiri. History of The Violence, meski lebih drama, namun tetap mencoba melihat kemungkinan bagaimana sejarah kekerasan dalam hidup seseorang tersembunyi menjadi rahasia hidup yang mencoba untuk di tutup-tutupi. Aku suka cara David menceritakan persoalan ini.

Lars Von Trier
Menyimak karya-karya Lars Von Trier menurutku seperti membaca buku-buku filsafat post modernism. Banyak hal bisa dijungkir balikkan kemudian di bangun lagi atau di ubah sama sekali. Lars dengan senang hati mengacak-acak kemapanan cara berpikir dan melihat penonton film-filmnya. Dancer In the Dark, Five Obstruction, Dogville, Breaking The Wave, Europa, Anti Christ membutuhkan pemahaman semiotika yang lebih ketika menontonnya.


Guy Ritchie
Sutradara Inggris dengan sense of humor yang Inggris banget. Khas. Sedikit sinis dan sarkas. Lock Stock And Two Smoking Barrels, Snatch, dan box office movie seperti Sherlock Holmes. Aku suka sense of humornya.

Wong Kar Wai
Ada dua hal yang paling aku suka dari film-filmnya Wong Kar Wai. Pertama, karena Tony Leung adalah  aktor yang selalu menjadi langganan Kar Wai di beberapa filmnya. Kedua: Wong Kar Wai selalu berhasil membuat cerita yang ditampilkannya terasa 'menggoda' dan sexy karena misterinya.  Dia selalu bisa membuat ketidak verbalan ekspresi Asia menjadi intens dan sexy, tanpa menjadi klise. Aku paling suka In The Mood for Love dan Eros.

Miranda July
Pertama kali menonton filmnya  'Me and You and Everyone We Know', langsung membuat aku jatuh hati pada cara Miranda bercerita. Apalagi setelah aku menemukan kumpulan cerpennya: 'No One Belongs Here More Than You'. Absurd kadang sureal sekaligus begitu nyata. 

Paul Thomas Anderson
Magnolia adalah film PTA yang membuat aku jatuh hati pada karyanya. Magnolia membuat Tom Cruise bekerja keras dengan aktingnya. There Will Be Blood, membuatku mengakui kehebatannya sebagai sutradara yang mampu membuat Daniel Day Lewis berakting dengan sangat total dan maksimal.


Comments

I. Widiastuti said…
Gondry di science of sleep uh...cakeeep. apalagi ada gael dan charlotte. Miranda July Yaaayyy!!! dan wong kar wai...yak pas semuanya.

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah