Skip to main content

Lagi-lagi Soal Mengerti dan Tidak Mengerti: Aku, Kamu Dan Apa yang Kita Tahu

Lampu di rumah Ise, foto: vitarlenology

Beberapa hari lalu, sebuah sebuah pertanyaan ganjil terlontar dari seorang teman: 'memang kalo di Bandung ada ga ya komunitas?' saat itu, dia bertanya pada temanku yang lain dan aku duduk di sebelahnya. Temanku otomatis langsung menunjuk aku. 'Lah, kamu kan lagi duduk di tempatnya komunitas-komunitas pada ngumpul..'  Aku tersenyum maklum. Temanku yang bertanya diam sejenak, lalu tersadar. Dia buru-buru membuat meralatnya. 'Oh iya ya.. maksudku yang komunitas lingkungan..' ralatnya dengan gugup. Pertanyaannya jadi terdengar bodoh di depanku dan temanku satu lagi. 'Santai aja', aku bilang 'aku dah biasa kok ga di 'reken' kaya begini,' kataku sambil tertawa. Temanku yang bertanya itu, jadi bener-bener merasa tidak enak padaku.

Sementara pertanyaan 'ganjil' temanku itu justru memunculkan pertanyaan lain dalam benakku:  Mmm.. membuatku bertanya-tanya kembali dalam hati, apa sebenernya arti komunitas itu seperti yang selalu didengung-dengungkan itu? kadang istilah justru sering menyempitkan arti dan makna. Istilah seringkali mengaburkan esensi. Pertanyaan lain untuk diriku sendiri yang bernada ke-curigaan adalah: 'kalo teman  yang cukup dekat secara personal aja ga me'reken' yang terjadi di tobucil sebagai sebuah aktivitas komunitas, bagaimana dengan yang lain? jangan-jangan program reguler di tobucil selama ini hanya di 'reken' sebagai 'main-main' saja, nongkrong-nongkrong ga penting dan tidak nampak ada gunanya? Mungkin karena pertanyaannya muncul dari seorang teman yang selama ini kuanggap cukup dekat, keganjilannya bagiku malah menggugat hal yang sangat mendasar: 'sebenernya ada gunanya ga sih semua yang sudah dijalani ini?' (mungkin gugatan yang terasa berlebihan juga..)

***


Dalam perjalanan bersama tobucil, aku belajar banyak bahwa seringkali sebuah ide dan gagasan itu harus berhadapan dengan ketidak mengertian (atau mereka mengerti dengan cara yang tidak kumengerti)  dari lingkaran teman-teman yang paling dekat dengaku. Kedekatan dan kemengertian adalah dua hal yang sangat jauh berbeda. Yang ada diantaranya adalah proses untuk mencari cara untuk mengerti yang memang dipahami oleh kedua belah pihak. Mungkin aku memang tidak pandai untuk menemukan kesepakatan untuk sama-sama mengerti. Ketika ide dan gagasan itu aku lemparkan, bisa jadi hanya aku yang mengerti. Ketika aku berusaha membuat orang lain mengerti, orang lain mengerti dengan caranya sendiri, bukan dengan cara yang sama-sama dimengerti olehku dan olehnya (pusing deh..hehehe)..

Salah satu resolusi ulang tahunku yang ke 33 adalah belajar menerima bahwa orang lain tidak mengerti dengan cara aku mengerti sesuatu dan menerima bahwa aku seringkali juga tidak mengerti cara orang lain mengerti sesuatu.

***

Sekarang ini, aku justru menghindari menggunakan kata-kata yang  selama ini melabeli (seperti komunitas, kreatif) apa yang kukerjakan dan membuatku mempertanyakan kembali maknanya.. aku mencoba membebaskan diriku dari pelabelan itu. Terserah orang akan menyebut apa, mengkategorikannya sebagai apa, me'reken'nya atau tidak... terserah saja. Aku hanya sedang malas mencari-cari penjelasan atas pelabelan itu ..

(ga usah kawatir,  yang menggangguku tidak lagi pertanyaanmu, tapi justru pertanyaan-pertanyaanku pada diriku sendiri..)

*** 

“Before I was ever in high school, I had dark circles under my eyes. The rumor was I was a junkie. I have dark circles under my eyes, deal with it.” – Benicio Del Toro

Comments

Dian said…
jeng tarleeennn...huhuhu...kok kita sedang ada di kondisi yang sama (lagi) ya?! hehehe. yuk, kita bebaskan saja. miss you!

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa