Skip to main content

Masih Tentang Pilihan


Beberapa hari lalu, seorang teman menawariku pekerjaan yang sangat-sangat menarik. Sebuah pekerjaan yang menjanjikan masa depan, jika aku mau serius jadi peneliti. Namun tawaran pekerjaan ini mengharuskanku berada di Jakarta Senin sampai Jumat. Maka dengan berat hati aku menolak tawaran itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Jakarta ke Bandung (setelah menjumpai temanku), aku berpikir-pikir kembali tentang kemungkinan-kemungkinan jika aku mengambil tawaran itu. Setelah kembali pulang dari perjalananan Asia Tenggara kemarin, aku berjanji pada diriku sendiri akan lebih fokus pada apa yang paling menjadi passionku:ngurusin tobucil dan menjadi seorang crafter yang bersungguh-sungguh, membuat sesuatu dengan tanganku sendiri teryata memberiku pengayaan batin yang luar biasa karena membuatku merasa penuh. Sementara aku juga tau, pekerjaan yang ditawarkan temanku itu akan memberikan banyak kesempatan dan pengayaan intelektual yang sangat besar, karena aku akan mendapat banyak kesempatan penelitin juga.

Sesampainya di Bandung, aku sms BQ tentang ini. Dia membalas smsku dengan mengatakan: 'bisa jadi itu godaan atau malah pilihan yang sebenarnya'. Aku kembali bertanya padanya: 'siapa yang menentukan bahwa itu adalah godaan atau pilihan?' BQ yang baik itu pun menjawab kembali: 'yang menentukannya adalah tujuan hidupmu, passionmu, mau jadi seperti apa kamu.' Mencerahkan sekaligus melegakan. Aku membalas sms BQ: 'kalau gitu, tawaran itu adalah godaan :)'.

***

Aku percaya, Tuhan akan mengambil keputusan atas hidupku dengan melihat sejauh mana aku meyakini apa yang aku pilih. Menjadi istiqomah, seperti yang diperintahkanNya. Bagaimana keyakinan itu dibangun juga seberapa kuat argumentasi yang kubangun untuk menyertai keyakinanku, aku percaya Tuhan akan melihat itu. Dan tentunya tidak ada keyakinan yang tidak pernah di uji. Bukan hanya oleh hal-hal yang sulit, tapi justru oleh tawaran-tawaran menggiurkan. Tawaran-tawaran seperti ini menjadi godaanku untuk tetap fokus pada apa yang sedang kujalani di tobucil.

Aku tidak sedang membuktikan sesuatu pada orang lain. Aku hanya berusaha membuktikan pada diriku  bahwa aku menepati janji pada diriku sendiri: ga setengah-setengah dalam menjalani sesuatu. Biarpun menjalaninya pelan-pelan, tapi aku tau tujuanku: aku ga mau mati dengan penyesalan karena apa yang menjadi passionku, tidak dapat kujalani karena aku tidak memilihnya, bukan karena aku tidak punya pilihan. Aku ga mau hal itu terjadi padaku.

Meski rentang minatku sangat beragam, tapi aku tau ada benang merah di antara semua itu. Setidaknya semakin kebertambah usia, semakin diberi kemampuan untuk lebih selektif dalam menjalani minat-minat itu. Hanya yang sesuai dengan tujuanku, itulah yang aku jalani. Gimanapun juga, pertambahan usia menuntutku untuk memilih mana yang sesuai dengan keyakinan. Menjadi istiqomah dan fokus dalam hidup menurutku adalah menjaga benang merah itu supaya tidak terputus. Sampai kapan  benang merah itu mesti dijaga, menurutku ya sampai mati.

Bagaimanapun juga hidup yang sedemikian beragam ini perlu diapresiasi tanpa kehilangan arah dan tujuan. Bagiku keragaman yang satu berkesinambungan dengan keragaman yang lain. Tidak ada yang benar-benar terpisah satu sama lain, aku hanya perlu menemukan garis-garis persinggungannya dan menemukan jembatan dari satu hal ke hal yang lain.



Gudang Selatan
t


'For me it was always about doing my best and devoting myself to a challenge. Sometimes that will cut it, other times it won't. But I'm someone who remains faithful to my dreams.' -Benicio Monseratte Rafael del Toro Sanchez-

Comments

I. Widiastuti said…
semakin kita yakin, semakin banyak godaannya. persis kayak sms kita waktu itu ya mbak :)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Berumur Tigapuluh Sekian

Pic: tara mcpherson Biasanya memasuki umur 30 untuk seorang perempuan lajang akan menghadapi kepanikan-kepanikan ga perlu. Kalaupun kepanikan itu datangnya bukan dari perempuan yang bersangkutan, datangnya dari linkungan sekitarnya: keluarga, teman-teman, tempat kerja. Apalagi yang bisa membuat panik selain soal pasangan. Lingkungan sosial biasanya memang lebih mengkawatirkan soal pasangan ini daripada masalah kontribusi sosial sang perempuan terhadap lingkungannya. Ga punya karir yang jelas juga ga papa yang penting kamu punya pasangan. Dan setelah menemukannya, segeralah menikah. Begitulah nasib sebagian (besar) perempuan yang memasuki dan menjalani usia 30 sekian ini. Seorang baru-baru ini disinisi keluarganya ketika ia menolak lamaran seorang pria. Usia temanku, 34 tahun dan menjomblo beberapa tahun terakhir setelah putus dari pacarnya. "Udah 34 tahun kok masih bisa nolak cowo," begitu kira-kira komentar sinis keluarganya yang lebih panik daripada temanku sendiri. Sementa