Skip to main content

#30hari30film Pull My Daisy - Film 28 Minutes - 1959: Ketika Robert Frank & Alfred Leslie Menafsir Jack Kerouac

Sutradara Robert Frank & Alfred Leslie
Story by Jack Kerouac
Lyrics by Jack Kerouac & Allen Ginsberg
* * * *

Koleksi film sahabatku ini: bu Tita & Pak Agus, selalu membuatku girang gemirang. Salah satu yang terbaru yang kutemukan selama di Yogja adalah film ini. Film pendek berdurasi 28 menit dengan narasi ditulis dan di bacakan oleh Jack Kerouac dan filmnya sendiri digarap oleh Robert Frank dan Alfred Leslie. Mereka semua adalah seniman-seniman di masa beat generation. 

Pull My Daisy merupakan naskah drama Jack Kerouac yang tak pernah di pentaskan. Di ambil dengan menggunakan kamera 16mm, hitam putih di loft studio milik pelukis Alfred Leslie, 4th Avenue, Manhattan, New York City.  Proses penggambilan gambarnya sendiri dimulai sejak bulan Januari 1959 sampai April 1959. Hanya satu orang aktris profesional yang terlibat dalam proyek film pendek ini. Sisanya, aktor dan aktris yang bermain adalah teman-teman sendiri, hanya dengan menggunakan satu kamera dan satu lampu saja. Meski begitu, tidak ada yang tidak dibayar kecuali Frank dan Leslie. Untuk membuat film ini mereka menghabiskan dana $15.000.  Meski semangat dari beat generation adalah spontanitas dalam berkarya, meski durasinya pendek saja, Frank dan Leslie mengaku mereka merencanakan film ini dengan sangat matang.

Filmnya sendiri berkisah tentang  penyair Allen Ginsberg, Peter Orlovsky dan Gregory Corso  ketiganya berperan sebagai diri sendiri juga seniman Larry Rivers (berperan sebagai Milo), Alice Neel (sebagai ibu bishop), musisi David Amram, Richard Bellamy (sebagai Bishop), Delphine Seyrig (istri Milo), Sally Gross (saudara perempuan bishop juga Pablo Frank (anak Robert Frank yang berperan sebagai anak dari pasangan Milo dan istrinya). Semua tokohnya berkumpul dalam sebuah acara makan malam yang digagas oleh istri Milo dengan Bishop sebagai tamu istimewa, dimana sang Bishop menceritakan tentang jalan kereta api brakeman. 

Semua tokohnya tidak ada yang berbicara secara langsung, karena Jack Kerouac berperan sebagai 'dalang' yang menuturkan kisahnya dari awal sampai akhir dengan gambar hitam putih dan gerakan mulut tokoh-tokohnya sesuai dengan apa yang dinarasikan Kerouac. Film ini menjadi komentar bagi berbagai persoalan seperti golongan konservatif Amerika, protes terhadap industrialisasi, masalah pendidikan, anti semit, seksualitas dan pembagian peran berdasarkan gender, agama dan juga patriotisme. Itu sebabnya dilm ini oleh Libary of Congress pada tahun 1996, masuk dalam kategori koleksi "budaya, sejarah atau kategori seni yang cukup penting". 

Ketertarikanku pada karya beat generation dan karena aku menyukai 'On The Road'nya Jack Kerouac, film ini menjadi penting untuk menangkap semangat beat generation lewat film yang dibuat langsung oleh mereka. Tentu saja akan sangat berbeda ketika mencoba menangkap semangat itu, lewat penafsiran generasi sesudahnya. Termasuk juga bagaimana bee boob jazz menjadi ciri musikalitas yang menonjol dari generasi ini. Aku sendiri masih mencerna  soal semangat dari karya-karya beat generation ini, sedang mencoba mencerna karya-karya dari seniman di generasi ini selain Jack Kerouac tentunya. 

Pull My Daisy
Tip My Cup
All My Doors are open
Cut my thoughts for coconuts
All my eggs are broken


Hop my heart song
Harp my height
Seraphs hold me steady
Hip my angel
Hype my light
Lay it on the needy


Pull My Daisy
Lyrics by Jack Kerouac and Allen Ginsberg
Music by David Amram
Singer: Anita Ellis

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah