Skip to main content

The Flowers of War (2011): Pilihan Menjadi Korban atau Pahlawan Sekaligus

* * * *
Sutradara: Zhang Yimou 

Nasiblah yang menjebak John Miller (Christian Bale) bersama para perempuan ini dalam sebuah gereja di Nanking, di tengah-tengah ganasnya pendudukan Jepang di Cina pada sekitar tahun 1937. Dua kelompok perempuan_ yang satu para perempuan penghibur dan satunya murid-murid biara dengan kepolosan serta keluguannya. John Miller sendiri seorang perias mayat (mortician) yang datang ke gereja itu untuk meminta imbalan atas keahliannya, ketika salah satu pendeta di gereja itu meninggal. Pada saat itu, Jepang tidak akan sembarangan mengusik 'orang barat'. Karenanya kehadiran Miller seperti juru selamat yang diutus Tuhan untuk menentukan nasib para perempuan ini. 

Sementara Jepang begitu ganasnya mengobrak-abrik Nanking. Memperkosa banyak sekali perempuan Cina. Bahkan gereja pun tak luput dari incaran, meski dalam kesepakatan gereja menjadi tempat yang tidak boleh diusik. Namun kesepakatan di tengah keganasan perang bisa setiap saat dilanggar. Murid-murid perempuan itu bisa kapanpun menjadi mangsa kebrutalan para tentara Jepang.

John Miller dihadapkan pada situasi dimana ia mau tidak mau mesti melibatkan diri dalam upaya penyelamatan. Ia terpaksa menyamar sebagai pendeta yang bertanggung jawab terhadap gereja itu, sambil memikirkan cara mengeluarkan perempuan-perempuan itu, bukan hanya dari gereja namun membawa mereka keluar dari Nanking.

Namun mesti diingat juga, film ini bukan film yang menempatkan John Miller sebagai pahlawan tanpa cacat dalam sebuah misi penyelamatan dengan sempurna. Jangan berharap Christian Bale akan memerankan tokoh superhero seperti Batman. Di sini Miller dihadapakan pada pilihan yang pelik, ketika komandan pasukan Jepang, 'mengundang' murid-murid perempuan itu untuk menyanyi dalam pesta perayaan pendudukan Jepang di Nanking. Miller tahu apa artinya undangan itu dan murid-murid perempuan yang masih polos dan lugu itu. Datang ke pesta itu, berarti menyerahkan mereka kedalam kebiadaban perang dan nafsu binatang pasukan Jepang. Meski Miller berusaha keras menolak undangan itu, namun siapa yang bisa melawan kehendak penguasa perang? Yang kemudian harus dilakukan adalah membuat pilihan bagaimana situasi yang tak mungkin dihindari ini harus dihadapi.

Di sini kemudian cerita bagiku menjadi menarik sekaligus mengundang perenungan. Kelompok perempuan penghibur itu dengan semangat patriotisme melawan penjajah, mereka bersedia menggantikan murid-murid perempuan itu memenuhi undangan tentara Jepang. "Mereka profesional dan mereka tahu apa yang harus dilakukan," jelas Miller kepada murid-murid lugu itu saat mereka menghawatirkan bagaimana nasib 'kakak-kakak perempuan' mereka. Meski Miller sendiri sesungguhnya tidak terlalu yakin keputusan para perempuan penghibur ini adalah keputusan yang tepat. Di luar gereja ia menyaksikan bagaimana biadabnya tentara Jepang memperlakukan perempuan sebagai pemuas nafsu dan kebrutalan sekaligus. Yu Mo, pemimpin kelompok para perempuan itu yang membuat Miller jatuh hati sejak pertama kali bertemu. " Ini saatnya kita melakukan sesuatu yang berarti pada negara," begitulah Yu Mo berusaha meyakinkan teman-temannya. keputusan yang sangat heroik sekaligus tragis. Karena meski tidak diceritakan, penonton bisa menebak bagaimana nasib para perempuan ini akan berakhir.

***

Yang sangat menarik buatku dari film ini adalah bagaimana John Miller, menjadi laki-laki yang harus menghadapi kenyataaan  bagaimana perang bisa begitu sangat brutal terharap para perempuan. Bahkan dalam kebrutalan dan keganasan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalam film ini Miller seperti seorang suami yang harus menyaksikan istrinya diperkosa dan dianiaya oleh para penjahat di depan matanya dan dihadapkan pada pilihan menyelamatkan istri atau anak perempuannya. Sementara sebagai laki-laki yang semestinya punya kuasa untuk melindungi keduanya perempuan, namun ia tau ia harus memilih salah satu diantara mereka karena ia tak punya banyak kuasa.

Bahkan Miller sendiri hampir-hampir menyerah pada kuasa nafsu ketika ia begitu sangat menginginkan Yu Mo. Kurasa Christian Bale sekali lagi berhasil membuktikan kegamangan itu lewat totalitas aktingnya. Penonton bisa merasakan kegetiran atas ketidak berdayaannya, saat di akhir film airmata John Miller mengambang saat truk yang dikemudikannya melaju membawa nasib murid-murid perempuan menempuh jalan penyelamatannya. Dan jalan itu tak mungkin bisa tertempuh tanpa pengorbanan perempuan-perempuan yang harga dirinya sempat ia hargai dengan beberapa lembar uang ala kadarnya.

Ketika Yu Mo menyatakan bahwa inilah saatnya melakukan tindakan yang berarti untuk negara dengan mengorbankan diri mereka pada keganasan nafsu tentara Jepang, serta mereta aku membayangkan para Jungun Ianfu yang nasibnya ga jauh berbeda dengan yang dialami Yu Mo dan kawan-kawannya. Pertanyaan yang muncul di benakku adalah apakah mereka itu korban atau pahlawan? sulit bagiku untuk menjawabnya. Karena dalam situasi perang sebrutal itu, tidak adil rasanya menghakimi motif dari sebuah tindakan dan keputusan. Setiap orang seperti dipilih secara acak oleh nasib untuk menjadi korban sekaligus pahlawan bagi dirinya dan juga orang lain. Karena dalam perang, manusia akan dihadapkan pada pilihan-pilihan ekstrim untuk bertahan hidup dan mempertahankan kemanusiaannya.

Sama sulitnya menjawab apakah John Miller seorang pahlawan atau korban dalam cerita ini. Dia ada di dua situasi itu sekaligus. Dan mungkin menjadi korban  atau pahlawan tidak lagi menjadi penting, karena bertahan dengan kemanusiaanlah yang kemudian menjadi lebih penting.

***
Sebagai penggemar karya-karya Zhang Yimou, menurutku ia  selalu berhasil menampilkan keindahan sinema dalam setiap kisah yang ia filmkan. Keindahan itu menurutku bukan dalam rangka untuk bergenit-genit dengan cerita. Bahasa visual Yimou, justru membangun karakter dari cara ia mengisahkan cerita lewat filmnya. Kecermatannya menggarap detail dan rasa artistiknya membuat para penikmat filmnya bisa menemukan kekhasan dari karyanya namun sekaligus menemukan kebaruan-kebaruan dari eksplorasi artistik dan gaya berceritanya. Sekali lagi Zhang Yimou di film ini menunjukkan kelasnya. 




Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah