Skip to main content

#30hari30film Salmon Fishing in The Yemen (2011) Diplomasi Ikan Salmon Ala Hallstorm


Sutradara: Lasse Hallstrom
* * *

Ini film yang cukup menarik dan mudah dinikmati. Seperti halnya film-film Lasse Hallstrom yang lain (Chocolate, My Life as a Dog, What's Eating Gilbert Grapes, Dear John, Cider House Rule). Formula dramanya masih sama seperti film-filmnya yang lain. Yang membuatnya berbeda adalah variasi cerita yang ia pilih. Kali ini, Hallstrom memilih diplomasi ikan salmon sebagai latar belakang cerita yang menjadi pondasi konflik tokoh-tokohnya. Ewan McGregor dan Emily Blunt menjadi tokoh utamanya.

Ewan McGregor yang berperan sebagai Dr. Alfred Jones ahli perikanan, tiba-tiba dihubungi oleh Harriet (Emily Blunt) yang bekerja untuk Sheik Muhammed (Amr Waked). Harriet mengatakan dalam emailnya bahwa Sheik ingin mengembangkan ikan ikan salmon di Yaman dan ia membutuhkan ahli perikanan seperti Jones. Semula Jones menganggap ide Sheik ini tidak masuk akal, bagaimana mungkin ikan salmon bisa hidup di cuaca panas seperti Yaman. Jones menolak mentah-mentah gagasan itu. Sampai pemeberitaan mengabarkan pecah perang di Afganistan. Pemerintah Inggris perlu berita positif untuk menjaga kepentingan mereka di negara-negara Timur Tengah. Patricia Maxwell ( Kristin Scott Thomas), sekretaris Pedana Mentri Inggris urusan media, menemukan tawaran Sheik Muhammed soal 'Salmon Fishing in The Yemen'. Maxwell menganggap tawaran dari Sheik akan menjadi kerjasama yang baik antara Inggris dan Yaman untuk membangun berita positif antara kedua negara. PM Inggris menyetujui bahwa Inggris harus membantu Sheik Muhammed mewujudkan proyek salmonnya itu.

Maka Jones yang bekerja di Departemen Perikanan Inggris, dipaksa untuk mengepalai proyek ini. Jones pun menerimanya dengan terpaksa karena ia dibayar dua kali lipat dari pendapatannya selama ini untuk mengerjakan proyek ini. Di sisi lain, Jones sendiri sedang mengalami krisis dalam rumah tangganya, istrinya, Marry (Rachel Striling) menganggap apa yang dikerjakan Jones, sesuatu yang tidak ada gunanya dan tidak cukup menghasilkan. Di sisi lain, Harriet yang baru berpacaran tiga minggu dengan kekasihnya Robert (Tom Mison), harus menghadapi kenyataan bahwa kekasihnya harus pergi meninggalkannya karena panggilan tugas sebagai tentara ke Afganistan.

Proyek salmon ini yang kemudian mendekatkan Jones dan Harriet dengan Sheik sebagai pihak yang menjaga mereka berdua. Sheik mengajarkan tentang cita-cita harapan yang menurut orang lain tidak mungkin itu, mesti diimani, diyakini, karena dengan begitu cita-cita dan harapan akan menemukan kekuatan untuk menjadi kenyataan.

***

Hallstrom di film ini menggambarkan Sheik Muhammed sebagai sosok yang optimis dengan cita-cita dan harapannya. Seolah Hallstrom ingin mengubah imej tokoh arab dalam film hollywood yang biasanya antagonis dan teroris menjadi sebaliknya. Pandangan terhadap sosok arab di film ini menjadi lebih positif dan bukan objek bulan-bulanan. Justru arab dan barat bisa saling melengkapi (seperti itu pesan moral yang dibawa Hallstrom lewat film ini). Karena ini drama yang cukup mudah dinikmati, Ewan McGregor tidak menampilkan kemampuan maksimalnya dalam berakting (jika di bandingkan Young Adam atau Transpotting), begitu juga dengan Emily Blunt, tapi keduanya punya chemistry yang membuat film ini menurutku enak untuk dinikmati dan ga menimbulkan 'efek samping' (misalnya perasaan sesak atau nyeri sesudahnya). Film ini menurutku sejenis film drama yang begitu selesai ya sudah. Tidak terlalu meninggalkan kesan mendalam. Menghiburlah. Buat yang ingin nonton dan ga ingin terlalu mikir tapi juga ga mau nonton film yang terlalu cetek, menurutku film ini bisa jadi pilihan yang pas.

Comments

film yg menyenangkan:)

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah