Skip to main content

Mengerti Dengan Akal, Rasa dan Keyakinan

Foto by Tarlen

Apakah ada ajaran agama yang tidak masuk akal? Dan pagi tadi Qurais Shihab dalam acara Tafsir Al Mishbah menjelaskan bahwa, tidak mungkin ajaran agama itu tidak masuk diakal. Setiap ajaran agama itu dapat dijelaskan dengan akal. Hanya saja perlu diketahui bahwa untuk mencapai penalaran atas agama, tidak semua orang punya bekal yang cukup. Shihab mencontohkan: Jika kita pergi ke sebuah pedalaman, dimana masyarakatnya belum mengenal televisi sama sekali, lalu kita menjelaskan soal televisi, apakah mereka bisa mengerti? buat masyarakat pedalaman itu, mungkin televisi terdengar sebagai alat yang tidak masuk dalam akal mereka, tapi dalam konteks ini, televisi bukanlah sesuatu yang tidak masuk di akal.

Shihab juga mengingatkan, bahwa ketika sesuatu itu terasa tidak masuk di akal atau menurut kita tidak dapat di nalar oleh rasio, kita seringkali lupa bahwa ada alat lain untuk bisa membuat kita mengerti: Perasaan/hati dan jiwa/keimanan dan keyakinan. Shihab mencontohkan kembali: jika ada seorang ibu yang memiliki anak yang bodoh dan buruk rupa, lalu datang orang menawarkan seorang anak yang gagah dan sangat pintar untuk di tukar dengan anak yang bodoh itu. Tentu si Ibu akan lebih memilih anak yang bodoh dan buruk rupa karena pertimbangan perasaan karena itu adalah darah dagingnya sendiri.

***

Penjelasan soal memahami agama bukan hanya dengan akal semata tapi juga dengan perasaan dan keyakinan ini, mengingatkanku pada seorang teman yang begitu mengedepankan rasio untuk memahami bukan cuma agama tapi juga dirinya sendiri. Hasilnya, semakin besar ia berusaha merasiokan semuanya, semakin besar pula kekosongan yang ditimbulkannya karena ternyata semakin banyak hal yang tidak bisa dia pahami.

Aku sempat mengalami fase seperti itu. Dimana semua hal yang tidak aku mengerti aku kejar dengan pertanyaan yang menuntut untuk terjawab. Tapi hasilnya, semakin menemukan jawaban, semakin tidak memuaskan jawaban itu. Temanku yang satu lagi mengatakan, cobalah menemukannya dengan hati dengan rasa, menurut temanku dengan begitu aku akan menemukan keyakinanku kembali. Hal sederhana yang dia contohkan mulai belajar merasakan adalah dengan memperbanyak kontak dengan alam semesta. Dengan langit, dengan angin, dedaunan, burung-burung, rasakan kehadiran mereka di sekelilingku. Bicara pada mereka bahwa kamu menyadari mereka hadir dan aku merasakannya. Justru empat bulan di Amerika setahun lalu, aku mendapatkan kepekaan untuk merasa. Karena aku sendirian di tempat yang asing. Cara untuk bertahan hidup bukan sekedar dengan rasio dan akal saja, tapi juga dengan rasa. Ketika berpapasan dengan orang-orang di taman, subway, keramaian, tanpa memiliki kemampuan untuk merasa bahwa aku adalah bagian dari semesta dan semesta yang menaungiku terhubung denganku, aku akan sulit mendapatkan keyakinan bahwa aku bisa bertahan hidup di tempat yang sangat asing ini. Saat itu justru aku menyakini bahwa orang-orang yang kutemui adalah orang-orang yang baik yang membawa kebaikan untukku. Alhamdulillah. Empat bulan, meski perasaan kesepian karena terpisah dari sesuatu yang aku kenal selama ini, tidak membuatku kehilangan diriku. Aku justru menemukan diriku yang lain. Diriku yang punya kemampuan untuk merasa dan meyakini sesuatu. Itu sebabnya, bagiku setiap perjalanan kemudian menjadi bagian penting dalam perjalanan spiritualku.

Saat pergi ke Sembakung Januari lalu, aku bener-bener ga tau sama sekali soal Sembakung. Persis seperti contoh orang pedalaman yang tidak kebayang bagaimana televisi itu. Tapi perasaanku membimbingku untuk sampai pada keyakinan, aku akan menemukan jalan untuk bukan hanya sampai di Sembakung, tapi juga bisa bertahan hidup sampai satu bulan di sana. Aku meyakini kebaikan yang menurut perasaanku akan kutemukan disana. Dan ternyata aku bukan hanya menemukan pemahaman baru dari pengetahuan bernama Hak-Hak Minoritas, tapi juga aku mendapatkan keluarga baru yang menerimaku dengan tulus. Mereka mungkin tidak bisa mengerti seperti apa hidup yang kujalani di luar Sembakung, tapi mereka merasa aku terhubung dengan mereka.

***

Merasakan semesta, membuat Tuhan terasa hadir dimanapun aku berada. Aku bisa merasakannya kapanpun aku mau. Aku menalarnya setiap saat bersamaan dengan aku merasakan dan meyakininya setiap saat. Ketika hanya nalar yang mendominasi caraku mengharirkan Tuhan, aku hanya akan mengalami banyak kekecewaan, karena yang terjadi kehadiranNya mesti sesuai dengan kalkulasi pikiranku. Padahal, aku sendiri tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengenalnya. Akan banyak hal yang tak terduka dan di luar prediksiku sama sekali. Kemampuan merasakanNya, akan membawaku pada kesiapan diri untuk menerima kemungkinan-kemungkinan di luar perkiraan nalarku. Dan keyakinan memberikan keteguhan hati untuk menghilangankan keraguan atas kehadiranNya.

Memang, seringkali nalar membawaku pada jebakan-jebakan yang justru menghilangkan kemampuanku untuk merasakannya. Karena seringkali mengerti dalam tataran nalar saja sepertinya sudah cukup. Jika aku berhenti pada tingkat ini saja, itu seperti aku buru-buru mengimani sebuah hubungan virtual saja. Hubungan itu hanya ada dalam pikiran, abstrak, semu, karena aku tidak merasakan kehadirannya yang nyata. Dan keyakinan yang hanya sebatas nalar saja, dengan mudah bisa digoyahkan. Karena itu tadi, perjalanan pikiran itu seperti sebuah labirin yang membingungkan dan penuh dengan jebakan kebuntuan. Rasalah yang kemudian menghadirkan pengalaman nyata. Pengalaman yang bisa teraba. Bukan hanya pikiran yang mengalaminya, tapi juga tubuh yang menjadi satu kesatuan dengan pikiran. Dan pengalaman itu menjadi utuh saat jiwa meyakininya bahwa aku benar-benar mengalaminya, dengan pikiran, rasa dan keyakinan.

Comments

I. Widiastuti said…
mbak...aku suka sekali posting ini, karena belakangan ini aku sedikit mulai "mati rasa". setelah baca ini sedikit tergerak untuk kembali mengaktifkan rasa itu.
vitarlenology said…
seperti hujan yang menyirami tanah kering bisa menyegarkan kembali rasa yang hampir mati itu..
ataedun said…
Waww... keren sekali mbaks... swear by GOD.
saya setuju bahwa untuk memahami hal-hal yang disinggung dalam postingan ini memang tidak akan pernah cukup hanya mengandalkan rasio. Makanya agama misalya memang diimani dengan hati, bukan (saja) dengan akal.

Setelah paragraf terakhir, saya malah berharap ada paragraf berikutnya, hehehe.. disini saya terlalu maen perasaan rupanya, padahal kan kalo menurut rasio, tulisan ini memang udahan ya? hahaha....
yoga zara said…
Betul sekali mbak. Untung kita buru-buru sadar kalo enggak wah berabe.
yoga zara said…
betul sekali. Orang Indian berpikir dengan hati sambil menunjuk dada, ,,,,

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah