Skip to main content

Perjalanan Memaafkan

foto by tarlen


Hanya tinggal beberapa hari saja, rutinitas tahunan: berkirim sms maaf lahir dan batin, akan terulang lagi. Rutinitas kata 'maaf' yang hadir dengan redaksional yang begitu di pikirkan, puitis, lucu, atau ala kadarnya. Semuanya dengan maksud ucapan meminta maaf. Begitulah setiap tahun. Dan tentu saja provider seluler yang paling di untungkan dalam hal ini.

Maaf. Maaf Lahir dan Batin. Sebuah kata yang sedemikian mudah di ucapkan, tapi sulit memaknainya. Karena kata yang sama akan kembali berulang di Idul Fitri berikutnya dan seterusnya dan seterusnya. Namun apa sesungguhnya maaf itu? Beberapa tahun terakhir ini, kata maaf justru menggangguku. Mengusik bahkan menggugat banyak hal dalam diriku. Apa artinya, ketika aku mengatakan: 'Aku memaafkanmu' tapi setiap kali teringat rasa sakit yang ditimbulkan oleh ketidak mengertian seseorang yang muncul adalah rasa ngilu di hati yang entah sebelah mana. Apa juga artinya, berjabatan tangan, berpelukan, bertangis-tangisan saat bermaaf-maafan, jika yang setiap kali menghadapi hal-hal yang mengesalkan dari orang lain yang ada adalah marah dan benci di hati.

Lalu seperti apa maaf itu sesungguhnya? apa tindakan yang semestinya menyertai kata itu setelah di ucapkan pada orang lain? apakah setelah aku bilang: 'aku memaafkanmu', aku mendiskonek seluruh hubunganku dengan'mu' karena mengingatmu begitu menyakiti jiwa dan ragaku (setidaknya aku bisa tiba-tiba batuk-batuk atau gatal-gatal karena alergi ketika hal yang menyebalkan darimu muncul di kepalaku?) atau ketika aku bilang: 'mohon maaf lahir dan batin' itu berarti aku mesti memberi kesempatan lain bagi orang-orang yang sudah membuatku kecewa. Entah kesempatan itu untuk memperbaiki diri atau mengulangi kesalahan yang sama dan menambah kadar kekecewaanku padanya?

Mungkin selama ini aku bukan orang yang cukup pandai memberi maaf pada orang lain. Ketika orang yang begitu menyakiti hatiku meminta maaf, aku cenderung menerima maafnya dengan mengosongkan hatiku dari jejak apapun yang pernah ditinggalkan orang itu padaku. Bahkan aku menihilkan kehadiran dan keterhubungannya dengan diriku. Jika orang itu sungguh-sungguh meminta maaf atas segala kesalahannya dia bisa memulai kembali berhubungan denganku dari awal. Menorehkan kembali jejaknya dalam diriku, tapi jangan berharap dia akan menuliskannya di atas lembaran kertas putih bersih. Memang aku akan menyodorkan kembali kertas kosong padanya, tapi kertas itu meninggalkan jejak hapusan yang mungkin saja tidak sepenuhnya bersih. Bagaimanapun, jejak-jejak itu tersimpan dalam kekosongan yang baru. Seperti menulis diatas kertas dengan bolpen tanpa tinta. Tidak terlihat tulisannya, tapi tekanannya terekam di situ. Kamu hanya tinggal mengarsir tekanannya dengan pensil, maka muncullah kembali jejak-jejak itu. Atau, timpa saja dengan tulisan baru. Toh mungkin masih bisa di hapus juga. Meski jika sering di hapus, kertasnya bisa benar-benar sobek dan rusak.

Sejauh ini, aku memilih cara itu dalam menjalani kata: maaf dan memaafkan. Hapus, di tip-ex juga boleh, tapi jangan harap mendapatkan kertas yang benar-benar baru di kesempatan berikutnya. Setiap orang, termasuk juga aku hanya bisa mendapatkan selembar kertas saja. Besar kecil ruangnya, tergantung kita yang mengelola isinya. Persis seperti logika menulis atau menggambari selembar kertas A4. Mau di tulis dengan pensil, bolpen, spidol, itu semua kita yang memutuskan. Tapi kertasnya hanya selembar saja, karena di dunia ini, tidak banyak orang-orang yang mendapatkan kesempatan hidup kedua setelah mengalami pengalaman 'near death experience'.

Sejauh ini, baru sampai situ perjalanan maaf dan memaafkan yang bisa kulakukan. Aku bukan orang yang senang membalas kesalahan orang lain. Daripada membalas, aku lebih memilih untuk mencoba untuk mengerti posisi diriku dalam tindakan yang orang lain lakukan kepadaku dan setelah itu aku akan berusaha untuk menghapusnya dan menjadikannya lembaran kosong kembali. Hal ini pun belum tentu merupakan perjalanan maaf yang tepat dengan tujuan kebaikan dari maaf itu sendiri.

Jadi sampai dimana perjalanan maaf dan memafkanku ini akan menuju? entah lah.. jangan-jangan perjalanan maaf itu seperti menuju garis cakrawala. Tidak akan benar-benar sampai pada maaf itu sendiri, kecuali mendekatinya..


Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah