Skip to main content

Surat Untuk Tubuh

Drawing karya R.E. Hartanto

Tubuhku sayang,
Aku tau kamu sedang protes akhir-akhir ini dengan alergi hidung yang semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini. Kamu datang menginterupsi kenyamanan hari-hariku, membuat aku terpaksa bernafas dengan mulut, bukan dengan hidung karena kamu sedang protes mengeblock jalan nafasku..

Aku tau, aku suka ga adil sama kamu, tubuh. Memaksa kamu melakukan banyak hal yang mungkin kamu tidak suka. Atau mengajakmu berpikir terlalu keras, sampai-sampai kamu bingung dan sulit mencernanya. Atau berusaha keras menghapus pikiran yang bagimu tidak mungkin bisa dilupakan.

Kita seringkali sulit menemukan titik temu yang seimbang buat kita berdua: kamu, tubuhku, dan aku, diriku ini. Tapi, aku menyadari, kamu adalah teman yang sangat mengerti aku. Kamu selalu memperingatkan aku ketika diriku ini menjalani hidup di luar kemampuan dan kesadarannya. Kadang aku mengabaikan protes-protes kecilmu itu dan tersadarkan saat kamu bener-bener protes besar seperti sekarang ini.

Baiklah tubuh, aku minta maaf padamu jika selama ini diriku ini seringkali memaksamu. Izinkan aku menyelesaikan pekerjaan yang mungkin kamu sudah tidak mau melakukannya. Izinkan aku untuk menyelesaikannya. Tanpa izinmu, aku tidak bisa melakukannya. Setelah itu, aku berjanji memperbaiki hubunganku denganmu. Melihatmu dengan cara yang lebih adil.

Terima kasih tubuh, tanpa dukungan darimu, diriku ini tidak akan bisa menjadi dan menemukan bentuknya.
Terima kasih dan maafkan untuk ketidak adilanku selama ini..

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah