Skip to main content

Pertanyaan-pertanyaan Untuk Diri di Bulan Ramadhan


Gambar dari sampul single 'Conquest' The White Stripes

"... This Ramadan we challenge you to fast. No matter what your take on religion is, the lessons of Ramadan can provide the spiritual oomph that many of us are lacking. By forcing a moratorium on consumption we can gain empathy for the needy, learn to control desires, understand the body’s capabilities and limits and confront weaknesses of the mind..." Adbusters

Ajakan Adbusters untuk berpuasa dalam rangka memahami arti menahan diri untuk mengkonsumsi secara spiritual, sungguh mengejutkan aku. Sebuah ajakan yang menurutku sangat berani yang dilakukan oleh sebuah jurnal 'mental environment' dan promotor 'culture jam' yang terbit di tengah-tengah komunitas sekuler dan agnostik. Tulisan yang mendukung ajakan ini di tulis oleh salah satu kontributor mereka, Ziauddin Sardar yang berasal dari Pakistan. Penjelasan Sardar tentang ramadhan sebenarnya hal yang sangat umum diketahui bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Penjelasannya ga jauh beda dengan penjelasan para ustadz di sini. Yang justru menarik adalah komentar bereaksi dari tulisan ini. Pro dan kontra mengenai hal ini, justru menyadarkanku untuk melihat kembali apa semangat ramadhan dan menahan nafsu mengkonsumsi.

Aku sepakat dengan salah satu komentar yang menyatakan bahwa banyak muslim yang menjalankan ibadah Ramadhan, menjadi begitu hipokrit. Seharian menahan lapar dan haus, namun saat waktunya berbuka tiba, nafsunya untuk memakan segala yang ada, menjadi dua kali lipat. Kenyataan yang kutemui pun menunjukkan, di bulan Ramadhan, bulan yang semestinya membawa semangat untuk merenungkan kembali 'kontrol diri' secara spiritual untuk memuaskan nafsu keduniawian ini, justru menjadi bulan dimana belanja menjadi berkali-kali lipat dari biasanya dengan alasan merayakan kemenangan di hari Idul Fitri.Apakah itu hal yang bisa dimaklumi, atau hal kontradiktif yang semestinya mengganggu?

Sebuah pertanyaan klise namun mendasar kembali muncul, menggugat diriku sendiri: lantas apa inti dari menyucikan diri di bulan ramadhan, jika satu bulan berlalu, kita kembali pada kebiasaan lama mengumbar hawa nafsu termasuk nafsu untuk mengkonsumsi dan ketamakan untuk menguasai apapun yang bisa di kuasai?

***

Seorang ustad berceramah di mesjid dekat rumahku. Suaranya menggema lewat loud speaker sampai-sampai duduk di dalam kamarku pun, aku bisa mendengar ceramah itu dengan jelas. Ustad itu menggangguku, ketika dia mengatakan: "Sungguh orang-orang tidak tau malu, makan di warung-warung makan pinggir jalan di siang hari, di saat orang-orang sedang berpuasa. Para pemilik warung-warung itu pun tak punya malu, karena menjajakan makanan di bulan puasa ini." Reaksiku dalam hati adalah membantah tuduhan tak tau malu itu dengan bertanya pada diriku sendiri, "Loh, mungkin yang berpuasa yang seharusnya malu, karena begitu manjanya, sampai-sampai meminta 'seluruh dunia' ikut berpuasa, biar dia ga tergoda oleh makanan-makanan enak di siang hari. Bagaimana bisa menganggap dirinya beriman karena berpuasa, jika puasanya sendiri ga mengalami ujian."

Hidup di negara dengan agama mayoritas seperti Indonesia, seringkali membuat pemeluk agama mayoritas lupa untuk tidak semestinya mendapat perlakukan istimewa seperti itu. Bagaimana bisa memberi dampak mendisiplinkan diri dengan berpuasa, jika yang selalu dituntut adalah dunia harus memaklumi bahwa dia sedang berpuasa. Sehingga semua mejadi wajar: atas nama puasa, tempat makan bisa di razia begitu saja, bisa tidur sepanjang hari karena sedang berpuasa, bisa malas bekerja dengan alasan berpuasa, bisa makan sepuasnya dikala berbuka. Kurasa puasa yang seperti itu tidak memberi dampak apa-apa terhadap upaya pendisiplinan diri.

***

Logika yang kurasa aneh, ketika orang sibuk makan sedemikian banyak, lalu buru-buru makan pil atau kapsul peluntur lemak atau sibuk sedot lemak, ketika berat badan dirasa sudah melampaui batas penampilan ideal. Kurasa logika seperti ini juga berlaku pada banyak ritual puasa. Seperti aku bilang tadi, seharian menahan lapar dan haus, ketika buka puasa, semua dimakan sampai kekenyangan. Atau, sebulan berpuasa, sebelas bulan lainnya, kembali korupsi, kembali berkhianat pada diri sendiri dan orang lain, mengikuti nafsu menguasai apa yang bisa dikuasai. Apa guna puasa yang seperti itu? Apa jadinya tubuh dan jiwa jika diperlakukan seperti itu? di rem mendadak hanya karena bulan puasa, tapi setelah itu di gas pol sampai ga tau caranya mengerem.. Sesuatu yang lumrah? atau sesungguhnya ga wajar?

***

Di bulan Ramadhan ini pula, aku kembali merasakan guncangan gempa bumi. Bukan hanya mengguncang tanah tempatku berpijak, namun mengguncang tubuh dan jiwaku juga. Bumi yang bergerak itu sedang berusaha menemukan keseimbangannya. Bagaimana dengan aku, manusia yang senantiasa bergerak setiap hari? kemana sesungguhnya aku bergerak? mencari keseimbangan kah? atau justru menjauhi keseimbangan dengan ketamakan dan kerakusan? Dan baru kusadari beberapa hari ini, sejak setahun lalu, aku selalu mendapat gempa bumi untuk tubuh dan jiwaku di setiap bulan ramadhan, sakit yang tiba-tiba. Entah itu demam yang sangat tinggi yang datang tiba-tiba seperti sebuah tamparan keras yang tak terlihat wajah si penamparnya. Atau gejala-gejala alergi yang datang perlahan-lahan tapi memukul-mukul kesaradanku bahwa bukan hanya tubuhku yang perlu diperhatikan tapi juga jiwaku. Jiwa yang mengendalikan tubuh.

***

Tuhan,
Jika bulan ini memang Kau maksudkan bagi manusia untuk menguji batas kelemahan tubuh dan jiwanya, aku sadari, aku ini umatmu yang sungguh-sungguh lemah.
Jika karena kelemahanku ini, aku mengambil hak orang lain yang semestinya tidak ku ambil,
maka dari segala kelemahan itu, berikan aku kekuatan untuk mengembalikan hak orang lain yang sudah aku ambil atas nama cinta, atas nama semua pembenaran rasional dan nafsu, kembalikan kesadaranku untuk menjagaku dari kerakusan yang hanya membuatku kehilangan kemampuan menahan diri dan menempatkan yang hak sesuai dengan haknya..

Sesungguhnya hanya Engkaulah yang Maha Adil, Maha Kuat dan Maha segalanya.
KepadaMu lah aku bergantung, dan KepadaMu lah aku memohon kelapangan hati dan pikiran untuk menemukan kebenaran dan keyakinan atas jalanMu.

Amin.

Comments

I. Widiastuti said…
iya betul banget mbak tarlen. aku suka bertanya-tanya tuh sama orang-orang yang bilang "hormatilah orang yang berpuasa" dengan cara tidak makan di depan orang yang puasa. ya ampun gak segitu ngilernya deh kitaaaaa. harfiah banget pengertiannya. kadang orang yang kita kira puasa ternyata nggak. terus apa kita mau tanya satu-satu?
vitarlenology said…
itu salah satu bentuk untuk melecehkan umat.. sampai2 lingkungan mesti steril takut keimanannya goyah.. padahal gimana tau keimanannya kuat apa engga kalo ga diuji..
ataedun said…
Wah, tulisan yang sangat inspirasional, dan saya setuju sekali dengan mba Tarlen.
Setuju dengan pendapat bahwa kadang (atau sering) umat Islam terlalu ingin ditoleransi tetapi tidak dengan kebalikannya, menoleransi.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah