Tulisan ini dipublikasikan di halaman Teropong Pikiran Rakyat, 7 April 2014. Tulisan yang dipublikasikan di blog ini adalah versi sebelum di edit oleh redaksi.
" Warga Indonesia yang suka, desain, musik, arsitektur,
film, ke Bandung aja, nanti kantornya, sewanya saya murahin, pajaknya saya
kurangin, PBBnya saya kurangi, yang penting datang ke Bandung anak-anak muda
yang gaul, yang produktif, karena
Bandung ini 2,6 juta, 60%nya di bawah 40 tahun, cuacanya nyaman, jadi berbisnis
yang ekonomi kreatif itu
cocok," begitulah 'Jualan' walikota Bandung, Ridwan Kamil di sebuah
acara talkshow televisi nasional, baru-baru ini (12/3/2014).
Tahun 2007, British Council
menobatkan Bandung sebagai salah satu kota kreatif di Asia. Sejak saat
itu jargon Bandung Kota Kreatif menjadi identitas Bandung yang baru.
Usaha-usaha yang dirintis komunitas anak muda di pertengahan tahun 90-an, kemudian
menjadi sektor andalan dari pengembangan industri dan ekonomi kreatif di Kota
Bandung. Kreativitas anak muda ini menjadi ladang ekonomi baru yang seolah-olah
tidak akan habis dieksploitasi.
Namun pertumbuhan ekonomi
yang dihasilkan dari komoditas kreatif anak muda Bandung ini bukanlah tanpa
konsekuensi. Masih tertancap dalam ingatan, peristiwa tragis 9 Februari 2008,
ketika 10 orang meninggal dalam konser musik di gedung AACC, Bandung. Peristiwa
tragis ini merupakan benturan keras dari pergeseran cara melihat kreativitas
anak muda Bandung, dari komunitas menjadi komoditas (penulis pernah menuliskan
hal ini di Pikiran Rakyat, 18/2/2008 ‘Dari Militansi Ke Komodifikasi’). Ketika
di pertengahan 90-an kegiatan konser musik seperti ini diusung dengan semangat
kolektivitas, komunalitas dan kemandirian komunitas, satu dekade kemudian
kegiatan seperti ini menjadi komoditas ekonomi baru, dimana komunitas
pendukungnya dianggap sebagai target pasar oleh para sponsor, benturan sosial
dari perubahan karakter yang memakan korban jiwa pun tak bisa dihindari.
"Usaha-usahanya ini kan
awalnya muncul dari komunitas musik, clothing-clothing ini awalnya muncul untuk
mendukung komunitas musik. Tapi ketika akhirnya berdiri sendiri, si komunitas
musiknya sendiri di tinggalkan. Dan ketika usaha ini mengalami penurunan,
mereka ramai-ramai mendekati kembali komunitas musik. Akhirnya ikatan yang
terbangun ya sebatas sponsorship.
Jadi modelnya hanya bisa endorsment doang, karena usaha ini ga ada
keterikatan dengan fans base si komunitas musik. tujuannya hanya menjadikan
fans base itu sebagai pasar," ungkap Iit yang mendirikan Omuniuum,
toko dan brand di tahun 2003 bersama suaminya Tri Juniantoro. Omuniuum juga
menjadi titik distribusi merchandise band, tiket pertunjukan musik dan juga
'konsultan' untuk beberapa band lokal di Bandung.
Usaha yang dibangun oleh
komunitas pun bergeser ketika dilihat dalam bingkai yang disebut industri
kreatif. Usaha skala komunitas, bergeser menjadi usaha skala industri dengan
konsekuensi hukum suplly dan demand. Pasar dan kekuatan kapital
mengambil alih kendali. Komunitas lantas menjadi target pasar, hubungan antara
anggota komunitas lambat laun menjadi hubungan transaksional ketimbang hubungan
saling berbagi. Pola komunikasi dan interaksi di dalam dan antar komunitas pun
berubah. Pola interaksi tatap muka, kini lebih banyak diperantarai teknologi
dan sosial media. Ruang-ruang pertemuan dan pertukaran ide serta gagasan pun
menjadi semakin terbatas. Ada bahasa non verbal yang kemudian hilang. Komunitas
pun mengalami pendangkalan makna ketika hanya dilihat dari sebesar apa jumlah
pengikut mereka di sosial media. Dan militansi yang menjadi sikap,
perlahan-lahan luntur oleh tuntutan pertumbuhan yang kerap kali di nilai dari
besaran nilai ekonominya.
“ Seringkali brand
yang merintis dari kecil dengan semangat komunitas, ketika usahanya berkembang
dan menjadi besar, sifatnya berubah dan menjadi seperti kemapanan yang dulu
pada awalnya mereka lawan.” Jelas Siscarose yang mendirikan usaha vendor dan brand/merek clothing MoKaw
bersama suaminya Danu Purwoko di tahun 2008.
Pertumbuhan diperjelas oleh
data yang dikemukakan Arief
Anshory Yusuf dalam artikel opininya di Pikiran Rakyat (8/1/2014). Dalam tulisan itu Arief
mempertanyakan: Kota Bandung (Sebenarnya) Untuk Siapa? Sebuah pertanyaan yang
didasarkan pada angka pertumbuhan ekonomi Bandung dalam 5 tahun terakhir
sekitar 8% per tahun, namun pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga di
Kota Bandung secara riil hanya meningkat 4,1 % saja. Termasuk juga peningkatan
jumlah orang miskin di Kota Bandung dari 103.000 menjadi 111.000 orang. Arief
membahas ketimpangan angka pertumbuhan dan konsumsi rumah tangga ini karena dua
faktor. Pertama karena meningkatnya kepemilikan aset-aset produksi dan kedua adanya ketimpangan dimana
pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
Sebagai contoh, laju peningkatan harga properti di Kota Bandung,
banyak dikeluhkan oleh usaha-usaha yang berasal dari komunitas ini. Harga sewa
setiap tahun bisa naik sampai 100%. Bahkan kecenderungan yang ada saat ini,
pemilik propertilah yang mengendalikan usaha-usaha seperti ini.
Sebagai vendor sekaligus
pemilik brand, Siesca menjelaskan bahwa hingar bingar pemberitaan media,
Bandung sebagai Kota Kreatif, berdampak pada laju peningkatan harga properti di
Bandung. “ Sebenarnya di satu sisi, cukup terbantu dengan pemberitaan di media
tentang Bandung Kota Kreatif dan liputan-liputan tentang pertumbuhan distro dan
nilai ekonomi dari usaha ini, tapi di sisi lain, ketika itu dibaca oleh pemilik
properti, harga sewa toko dan tempat produksi jadi naik berkali-kali lipat
karena mereka melihat ini sebagai bisnis yang menguntungkan. Kalau tempat produksi bisa tetap low profile maksudnya tidak harus di
lokasi yang strategis, tapi itu juga harga sewanya selalu mengalami kenaikan,
sementara toko yang menjual brand,
karena lokasinya mesti strategis, kenaikan harga sewa tempatnya seringkali
gila-gilaan dan ga masuk akal. Padahal yang seringkali di diliput pendapatannya
sampai ratusan bahkan milyaran rupiah, itu sebetulnya nilai omset bukan
keuntungan bersihnya. Jadi ya pemberitaan itu bisa berdampak negatif dan
positif juga. Dan sekarang ini kecenderungannya yang jadi pemodal distro itu
yang punya tempat dan biasanya bagi hasil."
"Bayangkan jika harga sewa toko kecil saja 150 juta
setahun, dan itu bisa naik lagi harganya di tahun berikutnya, mana mampu usaha
ini membayarnya. Akhirnya banyak pemilik properti atau vendor dengan modal
besar yang bayarin sewanya dan mereka jadi pemilik modal utamanya. Sekarang justru kecenderungnya, vendor yang buka outlet
dan bikin brand sendiri. Kalau vendor punya satu jenis kain, semua brand
kecenderungannya akan pakai kain yang sama, " Ungkap Tri. "Bahkan ada
vendor yang menawarkan produk yang sudah jadi dan tinggal dipasangin brand aja,
jadi kreativitas sekarang ini lebih banyak ditentukan oleh vendor yang punya modal
besar," tambah Iit.
Konsekuensinya menurut Arief Anshory Yusuf, Kota Bandung dalam
10 sampai 20 tahun ke depan akan mengalami runtuhnya ikatan sosial dan
ketimpangan ekonomi ini akan menjadi sumber dari berbagai penyakit sosial dan
meningkatnya angka kejahatan. Dan Ini semua akan membuat Bandung semakin tidak
nyaman untuk ditinggali.
Comments