Tulisan ini ditulis ulang dari tulisan lama dengan judul yang sama, untuk dipublikasikan di halaman Teropong Pikiran Rakyat, 7 April 2014. Tulisan yang dipublikasikan di blog ini adalah versi sebelum di edit oleh redaksi.
Dalam menjalankan
usaha, waktu akan membawa pada masa pertumbuhan dan tempaan. Tahun-tahun
pertama (tobucil dua tahun pertama) adalah masa bulan madu, dimana semangat
masih menggebu-gebu, energi masih melimpah ruah, kesulitan dan masalah belum
menjadi hantaman berarti, kerjasama masih terasa manis dan romantis. Ketika
masa bulan madu berakhir, masa tempaanpun dimulai. Usaha yang dibangun seperti
dipaksa masuk ke dalam kawah candradimuka. Kongsi yang bubar, modal habis
keuntungan belum juga nampak, mulai bosan karena usaha seperti jalan di tempat,
tuntutan kebutuhan pragmatis (apalagi bagi yang sudah berkeluarga), jika tak
tahan dengan tempaannya, apa yang sedang dirintis bubar di tengah jalan dan
mungkin malah bikin kapok seumur-umur.
Sementara jika berhasil
menjalani semua tempaan itu, apa yang sedang dirintis, akan memasuki tahap
berikutnya, karena formula untuk 'lulus dalam ujian tingkat pertama telah
ditemukan, pintu-pintu menuju kesempatan yang lebih besar tiba-tiba terbuka
lebar. Dan jalan yang membentang di depan terlihat lebih mudah dan menggiurkan.
Dari pengalaman
menjalankan Tobucil ini adalah fase yang justru sangat berbahaya. kalau tidak
hati-hati dalam memilih dan mengambil kesempatan, resikonya adalah kehilangan
fokus. Semangat yang muncul biasanya adalah semangat aji mumpung: 'mumpung ada kesempatan,
mumpung ada tawaran, mumpung, mumpung dan mumpung..' Kesalahan yang seringkali
adalah lupa mengukur diri. Seperti orang yang puasa hanya menahan lapar dan
haus. Ketika waktu berbuka puasa tiba, segala makanan dan minuman yang ada di
meja masuk mulut. Akibatnya kekenyangan dan malah sakit perut. Ketika kaki baru
menapaki anak tangga kedua, tiba-tiba saja ingin buru-buru loncati lima anak
tangga sekaligus, tanpa menyadari bahwa langkah yang paling lebar yang bisa dilakukan
hanya untuk melewati dua anak tangga sekaligus, bukan lima.
Dalam hal ini, saya
termasuk yang percaya apa yang diperoleh dengan cara cepat, akan mudah lepas
atau hilang, tapi apa yang diperoleh dengan susah payah, akan bertahan lebih
lama. Pada titik ini, sebenarnya komunitas atau sebuah usaha akan dihadapkan
pada pilihan menjadi besar dengan segera atau menjadi besar sesuai dengan
kecepatan alami? Dua-duanya mengandung resiko.
Ketika memilih menjadi
cepat dengan segera, banyak hal mengalami percepatan pertumbuhan. Menjadi besar
secara revolusioner ini, bukan hanya persoalan resiko saja yang perlu dihitung,
tapi juga persoalan percepatan sesudahnya. Jika biasanya mengerjakan pekerjaan
dengan skala 1 sampai dengan 10, lalu secara revolusioner meningkatkan
kapasitas menjadi 10.000 sampai 100.000 itu artinya akan sulit untuk kembali
lagi pada skala 1 sampai 10. Pada level berikutnya, harus bertahan pada skala
10.000 sampai 100.000 atau menaikkannya menjadi 1.000.000. Semakin besar
skalanya, semakin besar pula bebannya.
Biasanya pilihan
percepatan seperti ini akan membuat kewalahan menjaga passion karena target kuantitas menjadi lebih penting daripada
persoalan passion dalam kualitas. Pada
titik ini persoalannya bukan takut atau tidaknya mengambil resiko, tapi
kemampuan untuk menghitung resiko mejadi lebih penting.
Dalam menjalankan
usaha, tidak semua hal bisa dijawab dengan hitung-hitungan matematis. Intuisi
dan kata hati tidak dapat diabaikan begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan tadi
bisa mendapat jawaban yang akurat, jika mau jujur mendengarkan intuisi yang
didukung oleh kemampuan menghitung resiko itu tadi. Jika memang sanggup
menanggung lompatan resiko yang paling besar, maka jangan ragu memilih jalan
menjadi besar secara revolusioner.
Jika tidak, biarkan
semuanya tumbuh secara gradual dan organik 'Padi tidak tumbuh tergesa-gesa'.
Kesabaran adalah kuncinya. Memang akan memakan waktu yang lebih lama untuk
sampai di tingkat berikutnya di bandingkan dengan yang menjadi besar dengan
cara cepat, tapi ketahanan ketika menjalaninya akan lebih terjaga.
***
Lalu dimanakah letak
kesulitannya memilih untuk tetap menjadi kecil? saya bisa menjelaskannya dengan
analogi orang yang berdiet untuk menjaga kesehatan. Dia tau dia bisa memakan
apapun yang ada di hadapannya, tapi dia memilih untuk menseleksi dan membantasi
porsinya. Apa yang akhirnya dipilih untuk dimakan, semata-mata demi kesehatan
dan hidup yang lebih baik.
Bagi Tobucil yang 13
tahun memilih untuk tetap menjadi kecil, tantangannya adalah bagaimana untuk
tidak menjadi silau atas tawaran-tawaran menggiurkan. Memilih tetap kecil bukan
karena anti kemajuan, karena kemajuan tidak harus selalu menjadi besar. Memilih
menjadi kecil seperti hidup dan membuktikan keyakinan bahwa segala yang besar
ada, ketika yang kecil hadir untuk memulainya.
Baca juga artikel terkait:
Harga Jargon Kota Kreatif
Ketika Mereka Memilih Tidak Ingin Tumbuh Tergesa-gesa
Dari Komunitas, Kembali Ke Komunitas
Harga Jargon Kota Kreatif
Ketika Mereka Memilih Tidak Ingin Tumbuh Tergesa-gesa
Dari Komunitas, Kembali Ke Komunitas
Comments