Skip to main content

Kota Kreatif, Bukan Jargon

WACANA industri kreatif yang ramai akhir-akhir ini dibicarakan, membawa Bandung pada posisi penting dalam pembicaraan ini. Sebagai kota kosmopolit berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini, Bandung dikenal memiliki potensi kreatif yang besar. Mulai dari produk-produk penunjang gaya hidup kaum muda, makanan sampai teknologi informasi yang muncul dari Bandung dan menyebar ke seluruh Indonesia. Wacana industri kreatif sendiri mulai mengemuka di tingkat global dalam lima tahun terakhir ini, ketika negara-negara seperti Inggris mulai mencari sumber-sumber perekonomian baru untuk menggantikan sektor industri manufaktur. Pengembangan industri kreatif ini dianggap menjadi pilihan yang bisa mengakomodasi hak intelektual setiap individu berdasarkan kreativitasnya.

UNESCO tahun 2003, mengeluarkan rilis resmi mengenai definisi industri kreatif ini sebagai suatu kegiatan yang menciptakan pengetahuan, produk dan jasa yang orisinal, berupa hasil karya sendiri. Nilai ekonomis dari hasil penciptaan ini menjadi berlipat ganda ketika diadopsi dan dikomersialisasikan oleh industri jasa dan pabrik. Demikian pula dengan definisi yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris bahwa industri kreatif adalah industri yang berbasis kreativitas, keterampilan dan bakat individual.


Industri tersebut juga memiliki potensi untuk menciptakan kesejahteraan dan pekerjaan melalui pengembangan dan eksploitasi intelektual. Melalui British Council, pemerintah Inggris gencar melakukan pemetaan pontensi kreatif di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Sektor industri yang termasuk ke dalam wilayah industri kreatif ini adalah advertising, arsitektur, craft, desain/desain komunikasi, fashion, film/video, software, musik, visual art, seni pertunjukan, penerbitan, media (televisi/radio/web/cetak).


Bandung termasuk salah satu kota di Indonesia yang masuk dalam pemetaan potensi industri kreatif tersebut. Hal ini disambut baik oleh banyak kalangan. Beberapa sektor industri yang selama ini sudah berjalan dan memberi kontribusi ekonomi, kemudian di telisik kembali apakah ini termasuk industri kreatif atau bukan. Pemilahan pun tak dapat dihindari untuk menemukan definisi yang sesuai dengan situasi dan potensi Bandung. Upaya pemetaan ini, semakin serius dilakukan, salah satunya yang dilakukan oleh Pusat Studi Urban Desain ITB ketika menyelenggarakan Artepolis yang mengangkat tema "Creative Culture and The Making of Place", tahun 2006 yang lalu.


"Saat itu kita masih malu-malu dalam mendefinisikan apa itu industri kreatif, karena itu kita mulai dari pemetaan budaya kreatifnya dulu, " jelas Dr. Woerjantari Soedarsono yang akrab disapa Ririn, ketua penyelenggara Artepolis dan juga staf pengajar di jurusan Arsitektur ITB. "Setahun setelah Artepolis pertama, terjadi perkembangan wacana yang cukup pesat. Di ITB sendiri selama ini banyak orang menganggap bahwa kekuatan ITB ada pada sains dan teknologi, padahal ITB juga punya kekuatan desain dan desain ini bukan hanya sebatas desain yang berhubungan dengan seni rupa, tapi juga ITnya juga. Setahun terakhir ini banyak penelitian-penelitan yang mengarah ke industri kreatif itu," tambah Ririn.


Jika dibandingkan dengan tempat lain, Indonesia termasuk yang terlambat menyadari potensi ini. Meskipun dalam beberapa kesempatan pemerintah pusat mulai memberi perhatian yang serius pada sektor industri kreatif ini. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat melalui Deperindag mulai melakukan strategi pengembangan industri kreatif ini. Dari data yang dikeluarkan oleh BPS, 2006, dari 41 juta penduduk Jawa Barat, 54,8% berusia 15 sampai 45 tahun dan 7% nya berpendidikan minimal D-1. Dari jumlah ini dapat diindikasikan bahwa potensi tenaga kerja kreatif di Jawa Barat cukup memadai. Pada tahun 2004 di Jawa Barat, industri desain ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 2% atau sekitar 344.244 orang dan menyumbang pendapatan daerah sebesar 11%, sedangkan industri kreatif lainnya yaitu industri penerbitan, percetakan, produksi media rekaman, radio, dan televisi menyerap tenaga kerja sebesar 43.775 orang dan dapat menyumbang pendapatan daerah sebesar 12%. Potensi ini menjadi modal utama dari pengembangan industri kreatif yang dapat memberi kontribusi besar dalam meningkatkan indeks pembangunan manusia Jawa Barat. Meskipun nilai ekonomi yang dihasilkan oleh industri kreatif ini belum dapat dihitung dengan pasti.


Batu sandungan yang dirasakan oleh para pelaku industri kreatif, selama ini justru datang dari pemerintah kota. Selama ini pemerintah kota masih melihat potensi industri kreatif ini dalam kaca mata pengembangan pariwisata. "Padahal kalau pemerintah kota bisa membenahi sektor industri ini, sisi pariwisatanya otomatis akan terangkat," lanjut Ririn.


Hal lain yang dilihat oleh Ridwan Kamil, urban designer yang juga pendiri biro arsitektur urbane dan pemenang International Young Creative Entrepreneur of the Year (IYCEY) British Council, 2006 mengatakan "Kalau image Bandung cuma sebatas kota seni budaya saja, itu rawan. Bandung punya banyak saingan." Menurut Ridwan, Bandung memenuhi syarat sebagai sebuah kota kreatif Indonesia. Sebagai kota yang kosmopolitan, Bandung memiliki stabilitas sosial politik. Jumlah perguruan tinggi di Bandung cukup banyak. 

Dua hal ini cukup kondusif bagi iklim kreativitas di Bandung. "Bedanya Bandung dengan Yogja, kreativitas Bandung ini lebih bisa diserap oleh global. Sehingga banyak orang-orangnya yang dapat bertahan tanpa mengandalkan bantuan pemerintah," papar Ridwan.

Menurut Ridwan, Bandung mempromosikan dirinya sebagai kota kreatif di Indonesia, bahkan di dunia internasional. "Dukungan yang kita perlukan dari pemerintah kota support perizinan, support ideologis bahwa mereka sepakat dengan ide ini, karena ide-ide yang bisa memunculkan potensi ekonomi itu bisa kita bantu. Tapi kan semua itu perlu support dari pengelola kotanya," lanjut Ridwan. Namun selama ini, dukungan itu sulit didapat, karena pemerintah kota seperti sulit diajak berkomunikasi. "Terus terang, kita ini sulit mengakses pemerintah kota untuk mensosialisasikan hal ini. Selama ini kita masih sulit ngobrol dengan pengelola kota. Ngobrolnya masih underground, masih sesama kita saja. Susah sekali ngobrol dengan pemda," jelas Ridwan.

Sulitnya berkomunikasi dengan pengelola kota, membuat banyak persoalan yang dihadapi para pelaku industri ini jauh dari sentuhan regulasi yang mendukung perkembangannya. Karenanya, pemetaan potensi kreatif Bandung pun selama ini, masih didasarkan pada kesiapan organik dari setiap sektor yang termasuk dalam industri ini. Karena itu dari hasil pemetaan sementara sektor industri kreatif Bandung yang dianggap lebih siap adalah sektor fashion yang diwakili oleh clothing distro, musik dan IT. Dari ketiga sektor unggulan ini industri clothing jauh lebih terekspose sehingga lebih terlihat. Sementara sektor industri kreatif lain perlu diindentifikasi lebih jelas lagi karena selama ini berada di bawah permukaan dan sering kali tidak mendapat perhatian yang cukup.


Kontribusi kalangan akademisi dalam hal ini menjadi penting untuk melakukan pemetaan yang lebih cermat mengenai siapa dan apa yang termasuk ke dalam sektor industri kreatif ini. Artepolis II yang akan diselenggarakan tahun 2008, sebagai event internasional akan berfokus pada tema Industri Kreatif dan Pembangunan Komunitas. Diharapkan melalui hal kegiatan ini, rekomendasi riset dari kalangan akademisi dapat membantu pihak-pihak terkait dalam hal ini pemerintah kota, untuk menyusun strategi pengembangan yang tepat. (Tarlen Handayani)***

Tulisan ini bagian dari suplemen Selisik, Pikiran Rakyat 16 September 2007

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...