Skip to main content

Ridwan Kamil: "Potensi, Reputasi, & Kompetensi Sudah Tinggi"


Ridwan Kamil, Foto atas kebaikan Islaminur Pempasa

DI taman belakang "kantor"-nya, Ridwan Kamil bersama beberapa rekannya tampak asyik berdiskusi. Dari kantor yang lebih mirip rumah di kawasan Sumur Bandung, Urbane Indonesia, sebuah agensi arsitektur menangani berbagai projek arsitektur bernilai triliun di Dubai, Cina, dan selain kota-kota besar di Indonesia. Emil --panggilan akrabnya-- belum lama ini mendapatkan juara dalam perancangan museum tsunami di Aceh dan mendapat International Young Creative Entrepreneur of the Year (IYCEY) British Council, 2006. Berkaitan dengan wacana kota kreatif, Tarlen Handayani dan Wartawan "PR" Islaminur Pempasa mewawancarainya, Sabtu (15/9). Berikut petikannya.

Kenapa Bandung yang dipilih sebagai kota kreatif?

Ini Bandung banget, ini contoh (Emil menunjuk suasana taman yang menjadi tempat diskusi bersama rekan-rekannya). Ini tidak didapat di kota lain. Di Bandung itu lebih inspiratif, suasana intelektualitas tinggi. Ini di Jakarta nggak dapet. Kantor kita walaupun di Bandung, 30 persen projeknya di luar negeri. Kemarin kita (mendapat projek) di Dubai Timur Tengah, dan Cina. Yang begini itu, cukup banyak (di Bandung), tetapi tidak terlalu terekspose. Saya punya teman, di (Universitas) Maranatha, di sana projeknya di Malaysia dan India. Itu baru satu bidang, arsitektur. Padahal, definisi industri kreatif itu adalah industri atau ekonomi yang lahir dari pemikiran yang menghasilkan intellectual property. Jadi dunia desain, baju kayak distro, sepatu, furnitur, grafis, interior, arsitek, media, musik, new media, art and craft, macam-macam. Kemudian software, IT, itu kan dari berpikir menghasilkan. Seperti BHTV (Bandung High Tech Valley). Itu satu. Kedua, ciri-ciri kota kreatif itu, kotanya kosmopolitan. Bandung memenuhi syarat kita. Kotanya kosmopolitan, zaman yang lain rusuh, kita kan stabil secara sosial. Di sini pembauran sangat kencang, itu bagusnya. Jumlah universitas pun lebih dari 30. Jadi dari rumusnya sendiri statusnya sudah dapet. Dengan banyaknya tempat pendidikan, kreatif dan seni berkembang. Kota yang mirip kita, misalnya Yogya. Bedanya di Bandung kreatifnya itu lebih mengglobal sehingga banyak dari mereka hidup dan sukses atau survive. Maksud saya sudah saatnya kita mengonsolidasi semua yang berserakan itu. Berkumpul. Menjual image kita ke luar negeri sebagai kota apa. Ga bisa lagi pake kata berhiber, itu terlalu politis, bukan strength ekonomi. Baiknya profesinya dulu. Kreatifnya dulu. Harus spesifik.

Tagline kota kreatif ini berarti strategi "branding" internasional?

Goal-nya itu internasional. Saya kemarin agak khawatir, kan mau dicanangkan sebagai kota seni budaya. Seni budaya itu kita bisa kalah oleh Bali. Bisa kalah oleh Yogya. Kalau kreatif itu mencakup dunia IT, fashion, yang kota lain ga punya. Makanya kalo bisa "PR" jadi partner kita dalam mengampanyekan. Kenapa berkampanye, karena tahun depan, mau ada acara internasional yang digiring ke Bandung.

Bagaimana dukungan pihak-pihak yang sebenarnya berkepentingan terhadap Bandung sebagai kota kreatif?

Masalahnya kita belum banyak ngobrol. Ngobrolnya baru underground, sesama kita, susah ngakses ke pemda. Sebenarnya, "PR" bisa menjembatani itu.

Dukungan yang paling penting yang bisa didapat dari pemda?

Sebenernya support perizinan, support secara ideologis bahwa kita sepakat. Lain-lain mereka bisa survive sendiri. Kalau ide-ide sih ga usah, ide-ide kita banyak, yang aplikatif, yang menghasilkan ekonomi. Misalnya ke mana-mana kalau ngomong kreatif Indonesia itu Bandung yang harus dibicarakan. Saya sudah bawa Bandung ini ke Jepang, ada konferensi kota kreatif se-Asia. Jadi kita sudah berteman dengan Singapura, Kuala Lumpur, Auckland Selandia Baru, Hong Kong, Taipei, Brisbane, dan Manila. Bandung yang dipilih.

Apakah belum ketemu bahasanya atau ada agenda lain?

Kesulitannya sejauh ini adalah akses. Jadi banyak gerakan-gerakan yang tidak terorganisasi, BHTV (Bandung High Tech Valley) satu hal, BHTV masih satu keluarga, anak dari namanya industri kreatif. Arsitektur-desain anak dari industri kreatif. Nah, alangkah menariknya semua berkumpul sepakat. Wah itu bisa powerfull. Nanti aplikasinya si masyarakat internasional yang kreatif Asia itu sudah menggandeng Bandung, itu bisa membuka pasar. Itu dari segi bisnis ya. Dari event, misalnya kita bisa buat, Februari forum desain se-Asia Tenggara di Bandung, bulan lainnya forum fashion atau distro. Bayangkan kita tiap bulan ada kegiatan penuh. Tiap bulan tiap anak dari industri kreatif ini mengisi kegiatan. Seru tuh. Ini yang belum ketemu.

Dari pemetaan sektor-sektor industri kreatif, yang mana yang sudah siap?

Yang paling terdata yang baik adalah kelompok fashion-distro. Itu seru, berapa permodalannya, berapa jumlah karyawan, market ke mana aja. Poin saya itu baru seperdelapan dari kelompok lain kalau sisa yang tujuh ini bergabung sekuat distro, terorganisasi, ga ada yang bisa mengalahkan kita se-Indonesia. Kita paling lengkap dan paling kuat.

Dari segi arsitektur sendiri?

Arsitektur juga sama, kita ini paling kreatif. Tapi nadanya jangan terdengar sombong. Maksudnya gini, prestasi arsitektur itu diukur dari kualitas desain. Kualitas desain di dunia itu diukur dari sayembara. Sayembara itu kan open semua ikutan. Kalau saya punya projek, orang lain bisa lebih keren, tetapi tidak dapat projeknya sehingga tidak bisa membuktikan. Nah sayembara kan umum, dari 20-an sekian sayembara, 80 persen orang Bandung terus (pemenangnya). Itu nasional lho. Yang menang dari Bandung terus, kenapa, karena suasana kita itu, lebih open terhadap wacana, lebih kosmopolitan, lebih mendiskusikan hal-hal filosofi, budaya, jadi tidak kacamata kuda, melihat arsitektur hanya bangunan. Kedua, British Council menyelenggarakan design entrepreneur yang menyeleksi seluruh potensi-potensi dalam bidang desain, seluruh Indonesia. Saya menang 2006, Gustaff (H. Iskandar) 2007, dua kali dan dua-duanya dari Bandung. Levelnya sudah di nasional nih. Jadi dari segi potensi, reputasi, kompetensi Bandung sudah tinggi. Hanya forumnya (belum ada).

Apa yang harus dibangun Bandung sebagai kota kreatif?

Ya, infrastruktur kota harus diperbaiki, diperbanyak galeri seni, dan galeri desain. Ada ruang terbuka, tempat orang mengekspresikan puisi, pameran patung. Perlu banyak ruang terbuka. Kedua, memotivasi industri ini dengan kredit dari bank yang mudah didapat. Juga perlu ada satu tempat khusus. Di Inggris pemerintahnya siap ada badannya, creative council, kumpulan profesor yang memberi advice. Kamu butuh pabriknya, ini nih buku kuningnya. Di Thailand sudah ada, namanya Thailand Design Centre. Orang datang ke sana, mau belajar sejarah, mau ke perpustakaan, mau pinjem tempat buat pameran. Kita tidak ada. Idealnya kan ada tempat begitu; duh saya ga punya duit, tapi butuh meeting dengan calon klien saya, ada tempat yang murah. Saya mau cari inspirasi, ada perpustakan. Ah saya mau pameran, ada tempatnya. Nah, kalau bisa pemerintah itu men-support itu dengan satu pusat kreatif, yang ujung-ujungnya menghasilkan ekonomi juga. Di negara lain disediakan. Di kita belum.

Jika dibuat skala persoalan, untuk menuju Bandung kota kreatif itu, mana dulu yang harus diselesaikan?

Persoalan dulu lebih ke politis, disepakati bahwa Bandung kota kreatif oleh pemda dan komunitas. Kalau itu sudah ada, komunitas itu punya legitimasi untuk melobi internasional untuk ke sini, karena klaim kota kreatif ini didukung oleh pemda. Sekarang saya ke Jepang (dan menyatakan) Bandung is very creative city, tapi saya 10 persen tidak pede, karena si pemdanya mungkin tidak 100 persen di belakang saya.

Jadi ini juga adalah upaya agar pemerintah untuk mendukung secara politis?

Melihatnya begini, dunia itu adalah penuh persaingan, itu termasuk kota. Apa yang harus dibawa? Kita ingin menonjolkan Bandung kota kreatif, kan memang kreatif. Indikatornya ada dan menghasilkan uang.***

Tulisan ini bagian dari suplemen Selisik, Pikiran Rakyat, 16 September 2007


Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...