Skip to main content

Perjumpaan di Lorong Hati



setiap orang pasti punya lorong panjang dalam hatinya. sebuah lorong yang bisa saja gelap, bisa saja terang benderang, bisa saja berwarna, bisa saja hanya satu warna saja. lorong itu bukanlah tempat yang cukup besar untuk bisa ditapaki oleh siapa saja, karena dia lebih mirip 'sanctuary' bagi setiap orang ketika ingin menjenguk dirinya yang paling dalam.

aku punya lorong itu di hatiku. sebuah tempat dimana aku bisa menengok diriku dan menyapanya dengan banyak rasa dan asa. 'hai diri apakabarmu hari ini?' begitu biasanya aku menyapanya. lorongku itu akan membalasnya dengan gema 'apakabarmu' yang bunyinya memantul dari dinding-dindingnya.

aku biasa mendatangi lorong itu. melepas lelah, penat, kesedihan dan menorehkan bahagiaku. tidak banyak yang pernah datang mengunjunginya dan biasanya mereka tidak lama. hanya satu dua saja, yang menetap cukup lama bahkan membangun lorong itu kembali, saat gempa merubuhkan seluruh bangunannya. dia membangunnya kembali sedikit demi sedikit sampai akhirnya bisa tegak kembali. dia sengaja membangun ruang dalam lorong itu, khusus untuk dirinya. 'masuklah kesana, karena sebagian diriku, kutaruh disana untukmu, manakala kau merindukan aku,' begitu dia berpamitan saat ia harus pergi untuk kehidupannya sendiri. 'aku tidak akan bilang selamat tinggal, karena kita masih akan sering bertemu. datanglah kapanpun kau mau.' begitulah kami masing-masing bersepakat.

beberapa tahun berlalu. hidupku dan hidup orang-orang yang pernah datang ke lorongku, berubah. aku datang sesekali menjenguk diriku, dirinya yang lama-lama melesap dalam kekosongan ruang yang ia bangun untukku. 'aku ingin membangun kembali lorong ini, menatanya dan menjadikannya sancturyku yang lebih nyaman dari sebelumnya.

***

sejak dia membangun kembali sanctuary itu, sulit bagiku menemukan orang lain yang bisa menatanya kembali. bangunannya sedemikian khas. perlu orang mengerti dia, untuk menata ulang, tanpa menghilangkan jejaknya dalam rongga-rongga dindingnya. tanpa sengaja, kutemukan ia di ruang terbuka, di antara hiruk pikuk keramaian. seorang yang tak pernah mengaku lurus, saat ia memilih untuk hidup dengan kelurusannya dan belajar iklas atas apa yang harus hilang saat dia berusaha untuk terus yakin pada pilihannya. aku menghampirinya saat ia duduk kelelahan. 'jangan lupa istirahat, nanti sakit,' begitu aku menyapanya. ia tersenyum. menggeser duduknya dan memberikan sedikit tempat untukku duduk di sampingnya. kami saling diam dan lebih banyak diam menikmati kehiruk pikukan itu. 'kamu lihat, gedung pencakar langit itu,' katanya sambil menunjuk sebuah gedung pecakar langit yang dinding-dindingnya memantulkan apa yang bisa ia pantulkan.'gedung itu seperti seseorang yang berusaha mencapai langit, mencari dan mencoba menemukan kerinduan spiritualnya,' suaranya yang merdu dan lirih itu menyapa keheningan di antara kami.

sesekali kami bercakap. memperbincangkan hal-hal yang ringan,.. me, and you, and everyone we know.. tanpa perlu menakar, baik aku maupun dirinya sama-sama tau kalau kami dua orang yang kelelahan. begitulah. setiap kali bertemu dengannya di tengah hiruk pikuk itu, selalu ada hal baru yang bisa aku bawa ke lorongku. begitu pula dengan kelelahannya. aku tak lagi menyapanya dengan kata-kata ,'jangan lupa istrirahat nanti sakit, aku cukup menyapanya dengan diriku dalam perjumpaan-perjumpaan di keramaian itu dan itu cukup membuat secercah keceriaan memancar pada dirinya yang lelah.

'rasanya aku telah jatuh cinta padanya. jatuh cinta dengan berani padanya.' kusadari itu saat aku kembali ke lorongku lagi dan menemukan diriku yang lain. sampai satu saat, dia, si pembangun sanctuaryku itu datang dan berkata: 'biarkan ia masuk dan beristirahat dalam ruangku. ia bisa memakainya kapanpun ia mau. aku akan baik-baik saja. ruang itu kurelakan untuknya.' ku tau itu bukan hal mudah bagi orang yang telah bersusah payah membangun dan setelah selesai, dia justru membiarkan orang lain masuk dan mengisi ruang yang selama ini dia bangun untukku.

dalam beberapa kali pertemuan dengannya aku mengundangnya masuk. 'silahkan beristirahat di dalam lorongku. lebih nyaman, meski bau penghuni lama masih begitu kuat,' undangku padanya. 'tidak sekarang, aku masih belum terlalu lelah,' ia mengaku padaku 'lagipula aku menemukan diriku dan kamu disini, dan orang-orang yang kita tau, di tengah hiruk pikuk ini. terima kasih untuk tawaranmu,' katanya sopan. 'kapanpun kamu mau masuk, masuklah. ruang itu telah ku siapkan untukmu,' balasku. aku menghargai keputusannya. lagi pula darinya aku belajar untuk tidak selalu menyembunyikan diriku dalam sanctuary itu. ia mengajakku keluar, menemukan harmoni dalam keriuhan. ia justru mengajakku melihat banyak keindahan dari banyak hal yang selama ini kulewati sehari-hari. semakin sering perjumpaanku dengannya, semakin banyak keseharian kusadari sebagai hal baru.

***

sampai baru-baru ini, seseorang datang tak terduga, menginterupsi keseharian dan kebaruan-kebaruanku. dia datang langsung mengetuk lorong hatiku. permisi karena ingin masuk kedalamnya. aku menyambutnya seperti layaknya tuan rumah menyambut tamu.

'bolehkah aku masuk?' tamuku berkata. 'aku ingin menemanimu berjalan menjenguk dirimu,' ungkapnya berterus terang. aku menatapnya curiga. siapakah gerangan dia, tiba-tiba datang dan ingin menjenguk diriku. 'boleh-boleh aja,' jawabku. 'tapi kau tengok dulu lah sebentar, sebelum kau menyusurinya. aku tak mau kau masuk lalu merasa terjebak di dalamnya,' aku menakarnya.tamuku itu kemudian masuk, menengok lorongku dan kemudian menakar akan seperti apa perjalanan menyusurinya. 'kurasa aku akan menemukan banyak hal dari perjalanan ini.' katanya padaku. 'bagaimana jika tidak?' aku tidak sedang mematahkan keyakinannya, tapi memberinya peringatan. 'kurasa jika pun tidak ada yang kutemukan aku akan tetap menemanimu,' jawabnya yakin.

seorang teman di lorong ini, Mmm.. mengapa tidak? seorang teman mungkin bisa mengusir rasa kosong yang kadang membuat ngilu. lagi pula aku merasa bisa mempercayainya. 'kalau begitu, sering-seringlah datang kemari, bercakap-cakaplah dulu denganku sebelum memutuskan benar-benar berjalan menemaniku,' saranku padanya.

lalu, tamuku itu datang dan datang. setiap hari. mencoba bercakap dan menggali perjalanan seperti apakah yang akan di hadapi. dia membayangkan bahwa dia sanggup. meski di luar sana, ada kehidupan nyata yang dia jalani. bagiku, tak ada salahnya memberinya kesempatan padanya. dalam waktu yang singkat kami bercakap banyak. aku menjawab apa yang ingin dia tau, begitu pula sebaliknya. apakah itu berarti aku telah mengenalnya? atau dia juga menjadi mengenalku? jangan-jangan tidak.

sampai suatu hari, ketika kami duduk dan berbincang di depan altar bapakku, dia membuat pengakuan. 'sebenarnya aku sedang berjalan di lorong lain, bisakah aku menjalaninya bersama sekaligus dengan perjalanan menyusuri lorongmu?' tanyanya kemudian. aku terdiam, berpikir, lalu balik bertanya padanya: 'sejauh mana perjalanan yang telah kau lakukan di lorong yang lain itu?'
'jauh, sudah sangat jauh,' jawabnya. 'bisakah aku berjalan dilorongmu juga?' tanyanya lagi.'apa yang kau cari di lorongku? jika ternyata kau telah sedemikian jauh berjalan di lorong lain?' aku tidak menjawabnya, tapi kembali bertanya padanya. 'aku hanya ingin menemanimu..' jawabnya

aku menatapnya, mencoba memeriksa kembali keyakinannya. 'mungkin dia bisa jadi teman bergandengan tangan, tapi bagaimana mungkin dia bisa bergandegan dengan dua orang di dua tempat yang berbeda dengan jarak perjalanan yang berbeda pula?' tanyaku dalam hati dan mulai menyangsikan keinginannya menemaniku. aku mencoba memeriksa kembali.
'bagaimana dengan lorongmu yang lain, jika kau masuk kedalam lorongku menemaniku, tapi pada saat yang sama, kau juga menapaki lorong yang lain lorong yang sebelumnya sudah sedemikian intim denganmu dan telah jauh kau telusuri, kau tak mungkin berjalan di dua tempat sekaligus kan?' aku berharap menemukan keyakinannya disana.
'aku hanya ingin menemanimu..' jawabnya. ' terserah kamu, apakah aku diizinkan masuk atau tidak. aku hanya ingin menemanimu,' katanya lagi.

aku berpikir lama. menatapnya berulang. aku tak perlu membuatnya memilih. karena keinginan untuk memilih itu adalah hak dia sepenuhnya, bukan karena aku yang memaksa. namun aku pun tak bisa mengusir pertanyaanku 'bagaimana bisa ia menjalani keduanya sekaligus? lorong yang terpisah jarak dan waktu. pasti ada yang ditinggalkan dan meninggalkan dan jika dia ingin menemaniku, aku tak suka saat dia harus meninggalkanku untuk menjenguk lorong yang lain yang lebih intim itu. jika aku sepenuhnya mengizinkan dia masuk. aku pasti akan memberikan ruang satu-satunya yang telah kusiapkan untuk yang lain. sekuat apa keinginannya? lagipula aku ga mau mendengar penyesalannya, saat ternyata dia tidak menemukan apa yang ingin dia temukan di dalam perjalanan itu nanti, lalu diam-diam pergi ke lorong yang lain, meneruskan perjalanan panjangnya disana. aku akan merasa di khianati nantinya dan aku sulit memaafkan jika merasa di khianati. Tapi, apakah adil menempatkannya pada situasi harus memilih? jika ternyata dia sudah sedemikian jauh di lorongnya sedangkan di lorongku, dia baru saja masuk. sama dengan rasa keadilan seperti apa, jika aku membiarkan dia masuk, lalu seseorang di lorong yang lain menunggunya dan mungkin juga akan merasa di khianati, karena dia pergi diam-diam ke lorongku.

'cukup sampai disini saja ya. aku tak bisa membiarkanmu masuk lebih jauh lagi. lebih baik, kau kembali ke lorong yang lain itu,' kataku padanya. 'selesaikan apa yang seharusnya diselesaikan, jangan mulai denganku, jika yang lain belum selesai,' tambahku dalam hati. kami saling bertatapan. ' baiklah jika itu keputusanmu, katanya. 'senang bisa berjumpa dengamu, meski aku belum lagi mengenalmu. selamat tinggal' katanya lagi. 'aku pun senang bisa bertemu denganmu' balasku. 'selamat tinggal. terima kasih sudah datang,' bisikku dalam hati.

***

saat bangun di keesokan harinya, ternyata aku masih bangun di lorong yang sama. lorong yang menyisakan ruang khusus untuk lelaki kelelahan itu yang selama ini selalu kuisi dengan doaku untuknya setiap hari.'Ya Tuhan, berilah dirinya kekuatan dan mudahkanlah jalannya'. sesekali ditengah doa, bau si pembangun sanctuaryku mengambang disana. jejak-jejak tamuku yang baru saja pergi itu juga masih ada disitu, belum lagi kering apalagi kubereskan. apa yang terjadi kemarin? siapa dia bagiku? siapa aku baginya? siapa yang seharusnya memutuskan? apa ada kesedihan? apa ada kekecewaan? apa ada kelegaan? apa ada luka yang baru? apa ada apa? apanya yang selamat tinggal? perjumpaan singkat itu menyisakan banyak tanya. haruskah kucari jawabnya? itupun sebuah tanya..

***

lalu selalu ada pertemuan kembali dengan si pembangun sanctuaryku, yah..untuk sekedar bertukar kabar masing-masing...
saat menjenguk ke keramaian, si lelaki itu masih ada di tempatnya dan sedikit ruang masih ia sisakan untukku duduk, ia menungguku disana..

mmm.. yang kemudian bisa kulakukan adalah kembali menyapa diriku. 'hai diri, apakabarmu hari ini?'

Gudang selatan - aceh 56, 22 september 2007

buat kamu, kamu dan kamu..

Comments

Anonymous said…
keren.. itu beneran tuh pernah menelusuri lorong hatimu sendiri? aku pernah main ke lorong hatiku, tapi yang ada malah gelap.. segelap tatapan mataku yang kosong
vitarlenology said…
awalnya emang gelap, tapi lama-lama kalo rajin mengunjunginya jadi tau gimana caranya bikin lebih terang dan nyaman... heheheheh

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah