Skip to main content

Persaingan, Pembajakan, Hingga ”Copy-Paste”

”We are the original one,” ujar Fiki C. Satari, Direktur Airplane sekaligus ketua KICK (Kreative Independent Clothing Kommunity) yang merupakan organisasi pengusaha clothing Bandung yang berdiri tahun 2006. Potensi usaha clothing mulai dilirik oleh pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Pencanangan pondasi ekonomi kreatif Jawa Barat tahun 2008-2012, diakui Fiki memberi dampak pengakuan terhadap para pelaku industri clothing dan menempatkan sektor ini sebagai salah satu primadona andalan dalam pengembangan pondasi ekonomi kreatif Bandung.


Namun jika ditelisik lebih jauh, perkembangan beberapa sektor industri kreatif di Bandung bukan tanpa masalah. Persoalan yang dihadapi oleh para pelakunya seperti gunung es. Sektor industri fashion misalnya. Selama ini perkembangannya masih dilihat secara parsial. Perkembangannya seringkali tidak dilihat secara utuh dari hulu ke hilir, sebagai satu siklus perkembangan yang saling terkait.


Sebagai contoh, industri clothing Bandung atau lebih dikenal sebagai distro yang merupakan bagian dari industri fashion ini secara keseluruhan, berkembang secara sporadis. Sebagian distro yang muncul dimulai dari aktivitas kultural yang menjadi gaya hidup anak muda Bandung, kemudian melahirkan produk-produk penunjang aktivitas tersebut untuk komunitasnya sendiri. Namun lambat laun, saat produk-produk tersebut dapat diserap oleh pasar, pelaku-pelaku baru bermunculan dengan motivasi bisnis dan kesiapan modal yang lebih jelas. Hal ini menimbulkan banyak ketegangan saat memperebutkan pasar yang sama.


”Selama ini banyak pengusaha yang besar-besar, bikin clothing juga, ini kan bisa bikin pasar jadi jenuh dan mereka mampu membuat mass product secara kuantitas, itu kan bisa bikin pasar jenuh. Masalah kayak gitu yang kita hadapi sehari-hari,” Fiki menambahkan.


Pada mulanya, usaha clothing yang berkembang di kalangan anak muda ini, memang tidak memperhitungan ekspansi pasar melalui kuantitas produk yang besar. Mereka memilih mempertahankan ekslusivitas produk, melalui jumlah produk yang terbatas dan tawaran desain yang beragam. Namun, ketika masuk pada wilayah industri dengan persaingan pasar yang cukup ketat, mereka bersaing dengan pemain-pemain besar dengan modal yang jauh lebih besar. ”Padahal kalau kita bicara industri, kita berada di sektor yang sama,” tambah Fiki.


Kesenjangan pun dirasakan di tingkat vendor produksi clothing. Pada mulanya, produksi clothing ini dilakukan oleh lingkaran teman-teman sendiri. Namun ketika industrinya mulai berjalan, terjadi kesenjangan antara vendor produksi dan distro itu sendiri. Eka Permadi, salah satu vendor produksi untuk beberapa distro di Bandung menjelaskan, bahwa selisih margin keuntungan bisa sangat jauh. ”Kita ditekan untuk tidak lebih dari 20 persen, sementara distro bisa ambil untung sampai 300 persen.”


Hal ini dibenarkan Fiki, ”yang 200 persen itu harga kreativitasnya, harga desain, promosi, dan kemasan.”

Eka memaparkan bahwa persoalan yang yang sering dihadapi oleh vendor produksi seperti dirinya adalah perputaran uang yang lambat. Hal ini karena distro melakukan pembayaran mundur dan harga produksi yang ditekan serendah mungkin. ”Semua bahan baku selama ini masih impor dan harganya enggak stabil. Otomatis itu kan berpengaruh pada pada biaya produksi. Sementara sistem pembayaran dari klien distro, pakai giro dan bisa mundur sampai 3 bulan, kita yang pusing memutar modal untuk memenuhi pesanan itu. Akhirnya saya enggak bisa terima semua pesanan,” jelas Eka.


Tidak adanya standardisasi harga di antara sesama vendor produksi, membuat persaingan menjadi tidak sehat. Setiap vendor bisa menentukan sendiri harga mereka sesuai dengan kekuatan modal yang mereka miliki. Pabrik atau distributor bahan baku, tentunya akan mampu membeli bahan dalam jumlah yang lebih banyak. Sementara vendor produksi skala kecil yang tidak mampu membeli bahan lebih banyak, akan mendapat harga bahan yang jauh lebih mahal. Padahal harga jual kepada distro, baik pemodal kecil dan besar dituntut untuk bisa serendah mungkin.


Ketidakjelasan aturan pemerintah dalam pengembangan sektor usaha kecil dan menengah ini, membuat para pelakuknya harus mencari caranya sendiri untuk bertahan hidup. ”Makanya banyak terjadi jual beli PO (surat pesanan) dari klien, karena vendor tidak punya cukup modal untuk memenuhi pesanan klien. Margin keuntungan yang kecil itu, akhirnya mau enggak mau harus dibagi lagi dengan pembeli PO yang menalangi modal pesanan klien,” ungkap Eka.

Selain itu, margin keuntungan yang tipis tersebut, membuat para pekerja di vendor produksi ini, masih jauh dari upah yang layak. Sistem kerja yang kemudian diterapkan adalah borongan di mana pekerja dituntut bekerja siang malam untuk memenuhi pesanan klien. ”Jangankan asuransi kesehatan, bisa bayar gaji karyawan setiap bulan dengan lancar saja, sudah Alhamdulillah,” jelas Eka.

Persoalan lain yang seringkali mengemuka adalah pembajakan dan penjiplakan desain. Sebagai vendor produksi, Eka mengakui dirinya seringkali merasa serbasalah, saat ada kliennya yang memesan padanya, dengan desain yang sama persis dengan kliennya yang lain. ”Mau ditolak harus mengejar setoran, mau diterima enggak enak sama klien yang lain, akhirnya saya bersikap sebagai produsen saja dan enggak bertanggung jawab pada materi yang dipesan,” jelas Eka.


Fiki juga mengaku bahwa kini produknya juga dijiplak dan diproduksi dengan harga murah. ”Tapi saya sudah punya bukti-buktinya, dan mau mencoba memproses lewat jalur hukum, tapi saya sadar sih, prosesnya akan panjang,” kata Fiki.


Masalah pembajakan ini diakui pula oleh Andry Moch yang lebih suka menyebut dirinya kuli visual di label dan distro Firebolt. ”Banyak juga desainer clothing di sini yang asal comot dari internet terus tinggal dikasih merek sendiri. Memang kelihatan sih, mana distro yang desainnya matang, mana yang enggak. Ada juga yang membajak dari sesama distro,” papar Andry.


Sebagai desainer clothing, Andry termasuk yang mendapat gaji bulanan. Dilabel tempat dia bekerja, sebulan target rata-rata 30 desain yang harus di hasilkannya. Untuk itu ia mendapat gaji 1,7 juta per bulan. ”Tapi rata-rata harga per desain yang berlaku Rp 50.000,00 per desain, itu tuh, mau tiap desain dibikin 1 kaos, atau 1 juta kaos, harganya sama Rp 50.000,00. Pengennya sih ada sistem royalti, misalnya untuk setiap desain kalau dia bisa terjual melebihi jumlah tertentu, desainernya dapat royalti dari situ, tapi belum ada sih distro yang menerapkan itu”. (Tarlen Handayani)***

Tulisan ini bagian dari suplemen, Selisik, Pikiran Rakyat, 16 September 2007

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah