Saat Artepolis I tahun lalu, program kegiatan ”Workshop Artepolis” melalui kegiatan online conference dengan beberapa pelaku komunitas Bandung, Artepolis sempat memetakan beberapa persoalan yang selama ini dihadapi oleh industri kreatif Bandung secara garis besar. Berikut beberapa persoalan yang mengemuka.
Tidak semua pelaku memiliki visi, misi dan strategi bisnis yang jelas. Selama ini pengembangannya lebih bersifat intuitif dan tidak didasarkan pada riset dan pengembangan yang jelas, karena itu manajerial belum sepenuhnya terkelola dengan manajemen yang baik.
- Regulasi pemerintah yang tak jelas dalam pengembangan industri kreatif sebagai salah satu potensi ekonomi kota. Hal ini dapat dilihat dari ketidakjelasan pajak yang di kenakan dan subsidi yang dilakukan atas pajak tersebut. Selain itu juga tidak ada peraturan pemerintah yang jelas mengenai regulasi sektor industri kreatif. Selain itu pemerintah kota juga tidak memiliki strategi pengembangan industri kreatif sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.
- Tidak tersedianya infrastruktur yang memadai dari pemerintah kota untuk mendukung aktivitas kreatif di Bandung. Hal ini tercermin dari minimnya ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan komunitas kreatif ini untuk berkegiatan yang didesain dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Misalnya saja, selama ini komunitas musik sering kali kesulitan mencari gedung-gedung pertunjukan yang layak untuk menyelenggarkan konser skala internasional. Ruang-ruang komunitas selama ini dibuka atas inisiatif individu dan kelompok. Akibatnya banyak komunitas bertahan hanya sebatas waktu sewa tempat yang sanggup ditanggung oleh individu atau kelompok tersebut.
- Tidak ada pengaturan penggunaan lahan yang terintegrasi dengan perencanaan kota secara menyeluruh untuk pengembangan industri kreatif Bandung. Akibat tidak adanya pengaturan ini, menyebabkan nilai ekonomi lahan yang digunakan oleh komunitas kreatif ini semakin tidak terjangkau.
Mediasi kegiatan kreatif di Bandung, selama ini dilakukan secara parsial dan hanya sebatas reportase event atau katalog. Hal ini disebabkan tidak adanya reviewer, kritikus, pengamat yang secara intens dan mencatat dan memediasikannya secara luas, sehingga menjadi acuan atau penanda perkembangan dari aktivitas kreatif yang ada di Bandung. Sehingga mediasi yang ada tidak menjadi bagian dari strategi marketing yang tepat bagi kepentingan membuka pasar yang lebih luas. Selama ini, mediasi dilakukan secara masing-masing dan tidak terintegrasi satu sama lain.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh komunitas kreatif ketika menyelenggarakan sebuah event di Bandung.
- Bandung tidak punya concert hall/tempat yang memadai untuk penyelenggaraan event besar dan regular.
- Kebijakan pariwisata pemerintah lokal yang tak jelas, membuat setiap acara-acara yang berlangsung berjalan sendiri-sendiri dan tak memiliki nilai ekonomis yang jelas untuk mendukung kegiatan pariwisata daerah.
- Pajak pemerintah untuk kegiatan-kegiatan, seperti: pajak keramaian, tiket, keamanan, visa, tak jelas larinya ke mana, dan tidak berdampak terhadap pengembangan kegitan kreatif itu sendiri.
- Dari sisi intern komunitas, manajemen dan kreativitas penyelenggaran event, tidak banyak menawarkan konsep baru.
- Sulitnya mendapat sponsor (skala besar) untuk penyelenggaraan kegiatan. Ketika mendapat sponsor besar, sulit mencari titik temu, karena sponsor sibuk dengan branding produk, sementara penyelenggara sibuk dengan konsep acara dan idealismenya. Dalam konteks ini, kompromi sering kali sulit dilakukan.
- Siasat yang bisa dilakukan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada, bisa dibikin program reguler/tahunan, dengan melibatkan banyak komunitas kreatif yang ada. Misalnya dengan menyelenggarakan program-program satelit di banyak tempat sekaligus dengan satu acara besar yang menjadi high light dari program reguler/tahunan.
- Eksplorasi lebih banyak dilakukan oleh komunitas. Tapi komunitas kurang fasilitas, jadi ekplorasi tidak bisa maksimal. Komunitas tanpa fasilitas jadinya cuma nongkrong.
- Banyak promotor yang kurang punya visi akhirnya, pertunjukan musik banyak terjebak pada template yang sudah ada.
- Mediasi event, selama ini masih sangat dipengaruhi oleh anggaran promosi.
- Sponsor selama ini masih menjadikan Jakarta sebagai patokan. Karena sponsor selalu menghubungkan event dengan sales.
- Dalam konteks Bandung, pelaku industri musik seperti FFWD lebih memikirkan investasi sosial daripada faktor bisnis meskipun modal usaha mereka terbatas. Dalam artian mereka lebih mengeksplotasi tuntutan publik untuk memberikan pilihan-pilihan yang berbeda dalam musik. Untuk saat ini mereka belum ada saingan.
- Jika Bandung dikatakan sebagai trend setter perkembangan fashion, sebenarnya tidak ada high light yang menandai setiap perkembangan dan event yang memantau perkembangan itu.
- Bisnis clothing di Bandung terlalu intuitif. Tidak didasarkan pada riset dan development yang jelas. Jika ada hanya dilakukan secara parsial. Karena itu, antara harga, kualitas dan desain, hanya mengulang-ulang dan tidak kompetitif. Akhirnya bisnis clothing yang bisa bertahan adalah yang punya dan bisa membangun style-nya sendiri.
- Fashion event reguler bisa membantu memonitor perkembangan, evaluasi, prediksi trend.
- Street fashion yang berkembang di Bandung, selama ini berkembang sesuai dengan scene komunitasnya. Perkembangan scene musik di Bandung, punya pengaruh yang cukup penting dalam perkembangan steet fashion di Bandung. - Peran media dalam perkembangan fashion di Bandung, selama ini hanya berperan sebatas katalog. Tidak ada yang mencermati perkembangan fashion di Bandung secara kritis. Salah satu sebabnya adalah tidak adanya penulis kritik. Juga tradisi kritik yang rendah.
- Penting bagi media lokal untuk membicarakan potensi industri kreatif di Bandung. Selama ini yang sering dibicarakan lebih ke persoalan aspek komersialnya saja, bukan dari sisi business sustainibility-nya.
- Industri clothing dalam skala tertentu, bisa membantu mengurangi masalah pengangguran. Rata-rata setiap clothing bisa merekrut 10-30 tenaga kerja. Selain itu pula, dalam skala tertentu bisa melawan banjirnya produk Cina.
- Acara-acara seperti Pasar ITB semestinya bisa jadi barometer perkembangan komunitas kreatif di Bandung.
- High fashion untuk sementara, kurang berkembang di Bandung dan masih berpusat di Jakarta.
- Persoalan pasokan bahan baku jadi masalah. Sampai saat ini, belum ada clothing lokal yang mengembangkan bahan tekstil (baca: bahan untuk kebutuhan sendiri).
- Produk fashion Bandung harus diorientasikan untuk diserap pasar dunia. Namun ekspansi ini perlu didukung oleh platform policy yang jelas untuk menghindari keuntungan sepihak dari para broker Internasional. Konsistensi menjadi penting, karena pasar global selalu menuntut kepastian.
- Penguatan komunitas menjadi penting, untuk pembenahan ke dalam. Ada yang mulai mencatat perkembangan, ada yang mulai membenahi manajemen pengelolaan usaha.
(Tarlen Handayani/diolah dari hasil Workshop Artepolis I, Creative Culture and The Making of Space)***
Tulisan ini di muat di Selisik, Pikiran Rakyat, 17 September 2007
Persoalan internal
Tidak semua pelaku memiliki visi, misi dan strategi bisnis yang jelas. Selama ini pengembangannya lebih bersifat intuitif dan tidak didasarkan pada riset dan pengembangan yang jelas, karena itu manajerial belum sepenuhnya terkelola dengan manajemen yang baik.
Persoalan eksternal
- Regulasi pemerintah yang tak jelas dalam pengembangan industri kreatif sebagai salah satu potensi ekonomi kota. Hal ini dapat dilihat dari ketidakjelasan pajak yang di kenakan dan subsidi yang dilakukan atas pajak tersebut. Selain itu juga tidak ada peraturan pemerintah yang jelas mengenai regulasi sektor industri kreatif. Selain itu pemerintah kota juga tidak memiliki strategi pengembangan industri kreatif sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.
- Tidak tersedianya infrastruktur yang memadai dari pemerintah kota untuk mendukung aktivitas kreatif di Bandung. Hal ini tercermin dari minimnya ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan komunitas kreatif ini untuk berkegiatan yang didesain dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Misalnya saja, selama ini komunitas musik sering kali kesulitan mencari gedung-gedung pertunjukan yang layak untuk menyelenggarkan konser skala internasional. Ruang-ruang komunitas selama ini dibuka atas inisiatif individu dan kelompok. Akibatnya banyak komunitas bertahan hanya sebatas waktu sewa tempat yang sanggup ditanggung oleh individu atau kelompok tersebut.
- Tidak ada pengaturan penggunaan lahan yang terintegrasi dengan perencanaan kota secara menyeluruh untuk pengembangan industri kreatif Bandung. Akibat tidak adanya pengaturan ini, menyebabkan nilai ekonomi lahan yang digunakan oleh komunitas kreatif ini semakin tidak terjangkau.
Mediasi
Mediasi kegiatan kreatif di Bandung, selama ini dilakukan secara parsial dan hanya sebatas reportase event atau katalog. Hal ini disebabkan tidak adanya reviewer, kritikus, pengamat yang secara intens dan mencatat dan memediasikannya secara luas, sehingga menjadi acuan atau penanda perkembangan dari aktivitas kreatif yang ada di Bandung. Sehingga mediasi yang ada tidak menjadi bagian dari strategi marketing yang tepat bagi kepentingan membuka pasar yang lebih luas. Selama ini, mediasi dilakukan secara masing-masing dan tidak terintegrasi satu sama lain.
Persoalan di bidang pertunjukan
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh komunitas kreatif ketika menyelenggarakan sebuah event di Bandung.
- Bandung tidak punya concert hall/tempat yang memadai untuk penyelenggaraan event besar dan regular.
- Kebijakan pariwisata pemerintah lokal yang tak jelas, membuat setiap acara-acara yang berlangsung berjalan sendiri-sendiri dan tak memiliki nilai ekonomis yang jelas untuk mendukung kegiatan pariwisata daerah.
- Pajak pemerintah untuk kegiatan-kegiatan, seperti: pajak keramaian, tiket, keamanan, visa, tak jelas larinya ke mana, dan tidak berdampak terhadap pengembangan kegitan kreatif itu sendiri.
- Dari sisi intern komunitas, manajemen dan kreativitas penyelenggaran event, tidak banyak menawarkan konsep baru.
- Sulitnya mendapat sponsor (skala besar) untuk penyelenggaraan kegiatan. Ketika mendapat sponsor besar, sulit mencari titik temu, karena sponsor sibuk dengan branding produk, sementara penyelenggara sibuk dengan konsep acara dan idealismenya. Dalam konteks ini, kompromi sering kali sulit dilakukan.
- Siasat yang bisa dilakukan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada, bisa dibikin program reguler/tahunan, dengan melibatkan banyak komunitas kreatif yang ada. Misalnya dengan menyelenggarakan program-program satelit di banyak tempat sekaligus dengan satu acara besar yang menjadi high light dari program reguler/tahunan.
- Eksplorasi lebih banyak dilakukan oleh komunitas. Tapi komunitas kurang fasilitas, jadi ekplorasi tidak bisa maksimal. Komunitas tanpa fasilitas jadinya cuma nongkrong.
- Banyak promotor yang kurang punya visi akhirnya, pertunjukan musik banyak terjebak pada template yang sudah ada.
- Mediasi event, selama ini masih sangat dipengaruhi oleh anggaran promosi.
- Sponsor selama ini masih menjadikan Jakarta sebagai patokan. Karena sponsor selalu menghubungkan event dengan sales.
- Dalam konteks Bandung, pelaku industri musik seperti FFWD lebih memikirkan investasi sosial daripada faktor bisnis meskipun modal usaha mereka terbatas. Dalam artian mereka lebih mengeksplotasi tuntutan publik untuk memberikan pilihan-pilihan yang berbeda dalam musik. Untuk saat ini mereka belum ada saingan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi industri ”clothing distro”
- Jika Bandung dikatakan sebagai trend setter perkembangan fashion, sebenarnya tidak ada high light yang menandai setiap perkembangan dan event yang memantau perkembangan itu.
- Bisnis clothing di Bandung terlalu intuitif. Tidak didasarkan pada riset dan development yang jelas. Jika ada hanya dilakukan secara parsial. Karena itu, antara harga, kualitas dan desain, hanya mengulang-ulang dan tidak kompetitif. Akhirnya bisnis clothing yang bisa bertahan adalah yang punya dan bisa membangun style-nya sendiri.
- Fashion event reguler bisa membantu memonitor perkembangan, evaluasi, prediksi trend.
- Street fashion yang berkembang di Bandung, selama ini berkembang sesuai dengan scene komunitasnya. Perkembangan scene musik di Bandung, punya pengaruh yang cukup penting dalam perkembangan steet fashion di Bandung. - Peran media dalam perkembangan fashion di Bandung, selama ini hanya berperan sebatas katalog. Tidak ada yang mencermati perkembangan fashion di Bandung secara kritis. Salah satu sebabnya adalah tidak adanya penulis kritik. Juga tradisi kritik yang rendah.
- Penting bagi media lokal untuk membicarakan potensi industri kreatif di Bandung. Selama ini yang sering dibicarakan lebih ke persoalan aspek komersialnya saja, bukan dari sisi business sustainibility-nya.
- Industri clothing dalam skala tertentu, bisa membantu mengurangi masalah pengangguran. Rata-rata setiap clothing bisa merekrut 10-30 tenaga kerja. Selain itu pula, dalam skala tertentu bisa melawan banjirnya produk Cina.
- Acara-acara seperti Pasar ITB semestinya bisa jadi barometer perkembangan komunitas kreatif di Bandung.
- High fashion untuk sementara, kurang berkembang di Bandung dan masih berpusat di Jakarta.
- Persoalan pasokan bahan baku jadi masalah. Sampai saat ini, belum ada clothing lokal yang mengembangkan bahan tekstil (baca: bahan untuk kebutuhan sendiri).
- Produk fashion Bandung harus diorientasikan untuk diserap pasar dunia. Namun ekspansi ini perlu didukung oleh platform policy yang jelas untuk menghindari keuntungan sepihak dari para broker Internasional. Konsistensi menjadi penting, karena pasar global selalu menuntut kepastian.
- Penguatan komunitas menjadi penting, untuk pembenahan ke dalam. Ada yang mulai mencatat perkembangan, ada yang mulai membenahi manajemen pengelolaan usaha.
(Tarlen Handayani/diolah dari hasil Workshop Artepolis I, Creative Culture and The Making of Space)***
Tulisan ini di muat di Selisik, Pikiran Rakyat, 17 September 2007
Comments