Skip to main content

Dari Fotokopi ke "Blog"

Foto by tarlen

Tak bisa dimungkiri bahwa perkembangan teknologi juga menjadi faktor penting dalam pergeseran bentuk dan media ekspresi komunitas underground, selain situasi sosial, politik, ekonomi makro, dan mikro yang memengaruhinya. Lahirnya teknologi blog, membuat media-media komunitas bergeser menjadi lebih personel. Setiap orang dapat menulis apa yang dipikirkannya dalam medium baru ini dengan lebih leluasa tanpa dibebani oleh masalah produksi dan distribusi. Fasilitas blog yang menyediakan macam-macam template dan kemudahan, membuat penggunanya dapat mencoba bermacam-macam jenis blog sekaligus, sesuai dengan kebutuhannya.

Akibatnya, ruang-ruang pertukaran pemikiran, gagasan, ide-ide, lebih banyak bertemu di ruang cyber. Pertemuan di ruang maya membuat meeting point komunitas tidak lagi menjadi tempat pertukaran informasi utama di antara sesama anggota komunitas. Meski begitu, Pam menilai, perpindahan media ekspresi komunitas underground ini ke internet, justru mematangkan anggota komunitas secara individu.

Meski perkembangan internet berdampak besar pada pertumbuhan media-media underground dalam bentuk cetak seperti zine dan majalah, beberapa di antaranya masih mempertahankan keberadaan zine ini. Sebut saja Thremor, pengelola zine Beyond the Barbed Wire meski terbit hampir setahun sekali, ia tetap bertahan untuk menerbitkan zine sejak 2004.

"Kenapa harus terbit, karena saya sendiri masih ingin mengomunikasikan sesuatu meskipun setahun sekali karena saya harus kompromi sama waktu para kontributor," ucap Thremor. Pada edisi pertama, Beyond the Barbed Wire terbit sekitar 40-an halaman dan jumlah halaman itu bertambah menjadi 88 halaman di edisi terakhir.

"Distribusinya sih nyampe di 20 kota. Caranya saya kirimin master-nya ke teman-teman yang ada di 20 kota itu, nanti mereka perbanyak sendiri," katanya. Metode seperti ini memang lazim dilakukan oleh para pembuat zine. Jejaring pertemanan antara komunitas menjadi modal penting yang harus dimiliki.
Hal serupa juga dilakukan Gembi, pengelola newsletter Wasted Rockers. Pada edisi awal yang terbit 2004, Wasted Rockers berbentuk fotokopi zine, namun edisi selanjutnya, Gembi mengubah formatnya menjadi newsletter selembar A4 yang dikopi bolak-balik. "Pertimbangannya kalau newsletter lebih gampang aja ngelolanya. Lebih murah juga dan bisa cepat beres karena layout-nya nggak rumit."

Kini Wasted Rocker memakai format ukuran lebih besar dari sebelumnya A3 dan dicetak hitam putih 1.000 eks. "Setiap edisi saya sebar di 21 kota, jaringan pertemanan saya dan juga record label independen di banyak kota. Karena newsletter ini fokusnya lebih ke musik," ucapnya. Dengan berkembangnya teknologi internet, Gembi justru memanfaatkannya untuk memperluas jangkauan distribusi Wasted Rockers. "Saya bikin juga versi online-nya (http://wastedrockers.50megs.com) di situ juga versi cetak, file PDF-nya bisa di-download juga," ujarnya.

Saling melengkapi antara media cetak dan online ini pun dilakukan oleh Ripple. Di situsnya ( www.ripplemagazine.net) tersedia link untuk men-download edisi sebelumnya secara full.
Namun, perubahan bentuk media ini tidak sepenuhnya nyaman untuk dijalani. Ada "kekosongan" baru yang dirasakan Didi "Decay" ketika pindah ke media online. Bagi Didi "Decay" pengelola zine Emphaty Lies for Beyond dan Empatika yang kini mengelola blog http://bikinsendiri.multiply.com yang hilang perpindahan medium ini adalah suasana pertemuan dan interaksi pada saat proses berlangsung. "Nggak ada lagi pertemuan antarredaktur zine, distribusi pun kita nggak perlu ketemu langsung dan datang ke kota-kota jejaring teman-teman kita. Cukup send e-mail memberi tahu kalau ada update terbaru. Buat saya kemudian jadi ada jarak emosi karena tidak ada pertemuan fisik pada saat interaksi."

Interaksi yang semakin jarang ini, menurut Decay juga dipengaruhi oleh perubahan minat anggota komunitas itu sendiri. "Sekarang saya nggak terlalu nyari sama musik punk. Masih suka, tetapi nggak kaya dulu. Saya sekarang lebih senang menjalani apa yang berhubungan dengan keseharian saya," ujarnya. Minatnya terhadap craft, menjadi bagian dari keseharian Decay saat ini. Baginya, perubahan minat ini di satu sisi membuka pertemuan dengan komunitas lain dan teman-teman baru.

Resmi Setia atau yang akrab dipanggil Tia, peneliti sosial yang intens mengamati perkembangan komunitas underground ini, mengungkapkan bahwa pergeseran bentuk media ini memberi dampak pada bentuk ekspresi komunitas, bentuk fisik media seperti zine dan majalah, menjadi tidak terlalu penting lagi karena aktualisasi diri telah digantikan oleh media baru seperti blog.

Menurut Tia, blog memberi legitimasi pada individu untuk mengekspresikan pengalamannya. Komunalitas kemudian bergeser menjadi individualitas. "Persoalan baru yang justru perlu dicermati adalah persoalan akses terhadap teknologinya itu sendiri," ungkap Tia. (Tarlen Handayani) ***

Comments

Anonymous said…
mm...menurutku nggak juga. Kan ada juga blog yang dibuat bareng-bareng. Nggak sepenuhnya tepat kalau blog cuma bisa menampung ekspresi individu.

Singkatnya, pinter-pinter user-nya lah....

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah