Skip to main content

Transformasi Mencari Bentuk

foto by tarlen

Sebut saja Submissive, Tigabelas, Emphaty Lies for Beyond, Empatika, No Compromise, Limbah, Halo Opository, Movement, re-action, Unfold, Rayuan Gombalz, ONe Life Stand, Poster, Setaramata, Ujungberung Update, Crypt from the Abyss, Loud n` Freaks, The Evening Sun, Rottrevore, Minor Bacaan Kecil, Wasted Rocker, menjadi sedikit dari sekian banyak zine yang beredar di komunitas underground pada ’90-an akhir hingga 2005. Media foto copy-an ini menyebar di antara jejaring underground, bukan hanya di Bandung tapi juga di kota-kota lain di Indonesia, bahkan sampai luar negeri.

Tradisi zine sebagai media propaganda, baru dikenal komunitas underground pada pertengahan tahun ’90-an. Saat salah satu anggota komunitas punk, mendapat zine dari jejaring pertemanan mereka di Belanda. Media sederhana dengan teknik fotocopy ini berisi review pertunjukan underground setempat, wawancara dengan personel-personel band, isu-isu seputar musik dan ideologi yang menyertainya. Opini pembuatnya tentang satu persoalan yang berkaitan dengan satu masalah yang sedang hangat di komunitas. Beberapa zine juga membahas isu yang spesifik seperti isu feminisme, lingkungan, fundamentalisme dan semua digarap tanpa perlu teknik jurnalistik yang canggih, modal besar, dan layout yang memukau. Semua serba apa adanya karena semuanya dijalankan dengan semangat Do It Yourself (DIY).

"Waktu itu terasa sekali zine sebagai sebuah kultur serapan. Isinya masih sangat copy-paste, jiplakan beneran dari luar (luar negeri) tapi bahasa Indonesia. Dan kebanyakan memang belum tahu apa yang ingin dikatakan," jelas Pam, pembuat zine Submissive. Tulisan-tulisan dari kolektif CrimethInc (http://www.crimethinc.com/) menjadi langganan yang di terjemahkan dan disebarkan melalui zine seperti Submissive. Melalui zine, komunitas underground mengenal pemikiran-pemikiran Mikhail Bakunin, Emma Goldman dan wacana-wacana ideologis yang menyertai band-band favorit mereka. Hal-hal seperti ini tentunya tidak mungkin ditemui pada media mainstream pada saat itu. Dalam kurun waktu pertengahan hingga akhir ’90-an, media underground seperti zine lebih dominan diwarnai oleh kultur musik yang digemari oleh komunitas pada masa itu. Meskipun situasi sosial, politik, ekonomi pada saat itu turut membentuk karakter komunitas dan apa yang disampaikannya lewat zine. (Baca: Dari Militansi ke Komodifikasi, Tarlen Handayani, "PR" 13/2).

Distribusi zine biasanya dilakukan dengan membuat beberapa master copy untuk disebarkan di jaringan komunitas di dalam dan luar negeri. Setelah itu, jejaring di tiap kota akan menyebarkan zine ke komunitas masing-masing. Jika dijual pun, harganya hanya sebesar ongkos ganti fotocopy. Semangat berbagi dan anti copyright membuat zine-zine underground seperti ini tersebar luas dan bisa digandakan secara bebas.

Beberapa majalah pernah terbit dan mewarnai perkembangan media komunitas underground. Swirl terbit tahun 1994 dan menjadi majalah komunitas skateboard dengan tampilan sederhana cetak hitam putih. Terbit tidak sampai lima edisi dan setelah itu menghilang. Tahun 1999, Ripple terbit pertama kali dengan ukuran saku. Pada awalnya Ripple terbit sebagai katalog produk distro 347 dan berkembang memuat kegiatan tulisan-tulisan komunitas yang berkumpul di distro 347, sampai kemudian berubah menjadi majalah dalam arti yang sesungguhnya. Tahun 2001, majalah Boardriders dan Trolley, ikut mewarnai perkembangan media yang mewakili komunitas anak muda Bandung saat itu.
**

Berubah format, membuat beban pengelolaannya menjadi lebih berat. Majalah-majalah ini menjadi tidak lagi sesederhana zine dalam penggarapannya, termasuk juga biaya produksi yang sangat besar. Pemilik modal menjadi faktor yang menentukan keberlangsungan hidup majalah-majalah seperti ini. "Karena pemilik modalnya nggak paham soal media, kita berhenti terbit," Ungkap Didit E. Aditya, mantan Editor in Chief Boardriders. Sementara Ripple lebih beruntung karena pada awalnya media ini adalah media promosi clothing label 347, sehingga aspek permodalan relatif lebih terjamin. "Awalnya majalah ini kan sebagai fun, tapi ternyata kesininya bisa juga jadi andalan ekonomi," kata Idhar Remadi, Editor In chief Majalah Ripple.

Pertumbuhan bisnis clothing dan distro di Bandung, ternyata memberi dampak yang cukup penting pada perkembangan media-media komunitas underground Bandung. Ketika booming distro tahun 2003 hingga 2005, lahir banyak media gratisan yang terbit untuk kepentingan promosi. Kemampuan distro untuk memproduksi media seperti ini, dalam pengamatan Pam, melibas pertumbuhan zine komunitas. "Mereka bisa membuat media yang lebih menarik secara tampilan dan dibagikan gratis. Tetapi ini juga membuat perubahan di tingkat komunitas dan membaginya jadi dua kubu. Kubu pertama sebagai produsen zine yang masih punya semangat untuk membuat zine dan mencari komunitas lain yang bisa jadi tempat aktualisasi diri yang baru, dan satu lagi yang hanya mengonsumsi saja," ujar Pam. Sementara Kimung, pengelola Minor Bacaan Kecil berpendapat, "Generasi yang sekarang mau aja diseragamin penampilannya maupun isi kepalanya. Padahal, dengan punya media sendiri, bisa menyampaikan manifestasi diri dan mengekspresikan ide-ide lewat bahasa dan tulisan."

Untuk beberapa media yang bertahan seperti majalah Ripple dan Jeune, keberadaan distro dan clothing industri justru menjadi nyawa yang membuat media ini bisa bertahan. "Sembilan puluh sembilan persen nyawa kita ada di pemasang iklan," tutur Idhar. Sampai kini, Ripple telah terbit 59 edisi dan sejak edisi ke 42, Ripple menjadi media gratis dengan jumlah cetak 10.000 eksemplar setiap edisinya. "Salah satu faktornya kenapa kita gratis karena kita ingin memperluas jangkauan distribusi. Kalau distribusinya cukup luas, bisa menarik pemasang iklan lebih banyak lagi.

Senada dengan Idhar, Candra vokalis band Cupumanik yang juga Editor in Chief Majalah Jeune yang terbit 5.000 sampai 7.500 eksemplar (tergantung dari pemasang iklan) sejak tahun 2004 ini, mengemukankan hal yang hampir sama. "Kenapa mereka masih membeli majalah indie atau majalah lokal seperti Jeune atau Ripple, karena memang sudah saatnya kita-kita yang di lokal ini tahu betul dan harusnya yang paling pintar mendokumentasikan apa yang terjadi di lokal trend fashion atau musik apa yang terjadi di lokal," kata Candra.

Keberadaan media-media yang masih bertahan, memunculkan pertanyaan besar dalam benak Pam, "Bisakah konsistensi dan kontinuitas itu terjaga?" Bagi Pam, konsistensi dan kontinuitas itu penting untuk mematangkan komunitas dan juga media yang mewakilinya. "Buat saya, situasi komunitas underground yang berubah cepat kaya sekarang ini sebenarnya bisa dilihat sebagai hal yang wajar. Zine kan sesuatu yang baru, distro juga, banyak hal baru yang menjadi pilihan dan karena ini kultur serapan, proses mencoba menjadi bagian dari pencarian identitas. Konsistensi dan kontinuitas itu justru akan mematangkan pilihan-pilihan itu," tutur Pam.

(Tarlen Handayani, sehari-hari bekerja untuk Tobucil & Klabs) ***

Underground, dalam konteks tulisan ini menjelaskan komunitas yang terbentuk karena minat aliran musik yang sama: hardcore, punk, metal, dan komunitas hobi ekstrem sport yang kebanyakan juga menggemari jenis musik tersbut.

Tulisan ini dimuat di Pikiran Rakyat, 18 Februari 2008

Comments

artikel yang bagus.. jd teringat masa - masa di mana medi zine sangat aktif di scene hc punk di awal 2000an..

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah