Skip to main content

Zines, Catatan dari Bawah Tanah


foto: Joedith Cristanto


Dalam bukunya yang berjudul `Notes from Underground, Zines and The Politics of Alternative Culture`, Stephen Duncombe, mendefinisikan zine sebagai majalah nonkomersial, nonprofesional dengan sirkulasi yang terbatas, di mana pembuatnya memproduksi, menerbitkan, dan mendistribusikannya sendiri. Dalam sejarah pers alternatif Amerika, zine lahir di era 1930-an dan dimotori para penggemar science fiction. Saat itu, istilah "fanzines" mulai dikenal sebagai media berbagi berbagai cerita science fiction dan komentar kritis dari para penggemar termasuk pula komunikasi antara penggemar.

Empat puluh tahun kemudian, di 1970-an, perkembangan zines modern dipengaruhi para penggemar musik punk rock, yang pada saat itu tidak mendapat tempat di media musik mainstream. Fanzines yang terbit saat itu, lebih banyak berisi tentang musik dan kultur yang berkembang di scene musik tersebut. Baru era 80-an dan 90-an, hal-hal yang bersifat politis kemudian masuk dan memengaruhi perkembangan zines berikutnya.

Duncombe, mengklasifikasikan zines kedalam beberapa kategori. Seperti fanzines, political zines, personal zines, scene zines, network zines, fringe culture zines, religious zines, vacational zines, health zines, sex zines, travel zines, comic zines, literary zines, art zines, dll. Namun, dari semua kategori zines, Duncombe melihat beberapa persoalan yang mengemuka. Persoalan seperti identitas, komunitas, bekerja dan konsumsi, pencarian, kemurnian dan politik budaya alternatif, menjadi persoalan utama yang menjadi isu penting dalam perkembangan zines.

Zines sebagai satu representasi identitas, menjadi media yang mewakili kelompok terpinggir yang selama ini tidak masuk hitungan dalam masyarakat. Di mana, zines memberikan suara kepada mereka yang tersisih, untuk menyatakan aspirasi politiknya dan pandangan serta sikapnya terhadap satu persoalan. Begitu pula saat zines sebagai satu media komunitas, struktur sosial masyarakat yang rigid dan kaku, seringkali membatasi ruang gerak sebagian anggota masyarakat. Zines kemudian menjadi media propaganda dalam upaya membebaskan diri dari aturan sosial dan membuat aturan baru yang disepakati oleh anggota komunitasnya.

Pemaknaan atas kata `bekerja` menjadi persoalan yang seringkali mengemuka. Kerja dan bekerja dalam terminologi komunitas ini adalah keluar dari dikte kepentingan kapitalis. Bekerja atas dasar cinta dan apa yang mereka suka, bukan menjadi budak industri yang digerakan oleh kapital untuk kepentingan eksploitasi. Itu sebabnya, gerakan menyabotase rutinitas dalam kerangka kerja kapitalisme, menjadi wacana yang mengemuka. Sikap kritis terhadap konsumerisme, menjadi isu penting dan bahan propaganda komunitas. Semangat Do It Yourself, mendorong anggota komunitasnya mengambil peran aktif sebagai agen-agen perubahan. Aktivisme menjadi gerakan yang lebih dinikmati dan membentuk gerakan politik komunitasnya sendiri. Pencarian jati diri juga menjadi ciri kuat dalam perkembangan zines. Sebagai media, zines memberikan keleluasaan dalam memediasikannya. Semangat berbagi yang dibawa zines, memungkinkan setiap individu penulisnya, berbagi kisah dan pengalaman dalam proses pencarian identitas. Catatan-catatan personal ini, yang kemudian menginspirasi anggota komunitas lain dalam tanpa disadari membentuk identitas komununal.

Sebagai bentuk budaya alternatif, zines senantiasa berusaha menemukan orisinalitas dan hal-hal yang menjadikannya berbeda dengan kultur utama. Keunikan individu dan bagaimana ekspresi kreativitas ditampilkan secara berbeda, adalah menjadi motor penggerak bagi komunitas ini untuk terus mencari. Meskipun, sesuatu yang berbeda ini pada akhirnya menjadi mainstream, saat banyak orang di luar komunitas menganggapnya sebagai sesuatu yang `cool` dan perlu diikuti.

Dinamika politik yang melingkupi ruang gerak masyarakat, senantiasa membutuhkan imajinasi baru dan pengorganisasian baru, untuk menemukan bentuk-bentuk politik baru. Budaya menjadi ruang di mana cara pandang dan berpikir radikal sekalipun, dapat diekperimentasikan dan dikembangkan. Dalam titik ini, zines memiliki arti untuk menciptakan ruang eksperimentasi tersebut. Zines menjadi media untuk `menagih` ruang-ruang itu. Ruang di mana masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang dapat dimaknai.

Dengan segala keterbatasannya dan hal-hal kontradiktif di dalamnya, zines menawarkan satu hal penting bagi orang-orang ataupun komunitas yang membutuhkannya. Zines menjadi ruang bebas, di mana imajinasi dan eksperimen atas cara berpikir baru terhadap idealisme, berkomunikasi membentuk eksistensi komunitasnya. Sebagai media komunitas, zines menjadi media bagi komunitas untuk mengalami pergulatan pemikiran dalam menciptakan perubahan dunia, seperti yang Eric Rudnick_pembuat zine Aftershock katakan, " To change the world. It may not work but it sure is fun trying." (Tarlen Handayani) ***



Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la...

Postcard From Bayreuth

Sebuah postcard dari sahabatku di Bayreuth menyambutku di meja kerja yang kutinggalkan hampir dua minggu. Sahabatku itu, menuliskan sebuah quote yang dia terjemahkan dari postcard ini dan rasanya mewakili banyak kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.. "Suatu saat mungkin aku akan tahu banyak hal yang ada di dunia, tapi kemudian aku bangun dan tetap merasa dan bertindak bodoh.." thanks a million Dian ..

Menjadi Penjilid dan Perjalanan Menemukan Fokus

Playing The Building, foto vitarlenology 2008 Suatu hari, ketika berkunjung untuk pertama kalinya ke markas besar Etsy, di Brooklyn, NYC, tahun 2008, Vanessa Bertonzi yang saat itu bekerja sebagai humasnya Etsy, bertanya padaku "Setelah pulang dari Amerika, apa yang akan kamu lakukan?" Saat itu spontan aku menjawab, "Aku mau jadi desainer stationery." Padahal, aku belum sekalipun punya pengalaman ikut kelas menjilid buku atau hal-hal yang sifatnya mengasah keterampilanku menjilid buku.  Jawabanku lebih didasarkan pada kesukaanku akan stationery terutama sekali notebook dan alat-alat tulis. Desain Stationery seperti apa yang ingin aku buat, itupun masih kabur. Namun rupanya, jawabanku itu seperti mantra untuk diriku sendiri dan patok yang ditancapkan, bahwa perjalanan fokusku dimulai dari situ. Menemukan kelas book binding di Etsy Lab pada saat itu, seperti terminal awal yang akhirnya membawaku menelusuri ‘book binding’ sebagai fokus yang ingin aku dalami. Pert...