Skip to main content

Dari Militansi ke Komodifikasi


JIKA komunitas underground di Indonesia cukup berpengaruh di Asia (Robby Nugraha, "PR", 12/2), Bandung tentunya memiliki kontribusi penting dalam memberikan pengaruh tersebut. Bila mencermati lebih jauh, apa yang berkembang dalam kurun waktu 14 tahun (1994-2008) dapat menjelaskan pengaruh tersebut.

Era `90-an

Tahun 1994 menjadi tahun penting bagi perkembangan generasi yang lahir di era `70-an dan tumbuh menjalani masa remajanya di era `90-an. Identitas kelompok underground ini sangat dipengaruhi oleh pergolakan sosial, politik, ekonomi baik secara makro maupun mikro.

Beberapa peristiwa penting di tahun 1994 seperti pemberedelan media oleh pemerintah Orde Baru, membawa semangat perlawanan dan gerakan underground (bawah tanah) yang memperjuangkan kemerdekaan berekspresi dan kebebasan berpendapat.

Pada tahun itu, aksi perlawanan muncul dalam bentuk demonstrasi, penerbitan media-media independen, dan pertunjukan-pertunjukan musik. Pada kurun waktu pertengahan `90-an, ruang seperti GOR Saparua menjadi tempat penting bagi pertemuan komunitas underground Bandung (baca: Dari Saparua, Tea Huis, Hingga AACC, Robby Nugraha, "PR", 12/2).

Situasi politik global pada saat itu pun turut mewarnai perkembangan komunitas underground Bandung. Pertemuan pemimpin negara APEC di Bogor tahun 1994 untuk mendeklarasikan dimulainya Perdagangan Bebas tahun 2002, mengundang reaksi perlawanan dari komunitas underground lewat penerbitan zine, media alternatif untuk perlawanan. Zine seperti Submissive dan Tigabelas, menjadi cukup berpengaruh saat itu.

Zine alternatif tersebut menjadi media propaganda komunitas mengenai anarkisme, pacifisme, dan gerakan-gerakan perlawanan terhadap wacana globalisasi yang didukung oleh WTO (World Trade Organization). Lirik lagu dari komunitas ini pun tak kurang menyuarakan hal yang sama.

Lahirnya Partai Rakyat Demokrat (PRD) pada tahun 1996, ikut mewarnai ideologi politik komunitas underground yang berkembang di Bandung (baca makalah: Urban Cartography V.01/Bandung Creative Communities, Editor: Tarlen Handayani, 2006). Ideologi politik ini membawa komunitas underground dalam kurun waktu pertengahan hingga akhir `90-an, terlibat dalam gelombang demonstrasi meruntuhkan rezim Orde Baru. Yel-yel "rakyat bersatu tak bisa dikalahkan...!" tidak hanya bergema pada saat demonstrasi berlangsung, namun juga pada saat konser-konser underground.

Gelombang perlawanan dan perjuangan atas kebebasan berekspresi dan mengemukanan pendapat membuat keragaman atribut penanda identitas komunitas menjadi pemandangan yang justru mengemuka. Atribut komunitas yang mencirikan identitas komunitas punk, hardcore, black metal, ska, brit pop beserta paham yang dianutnya, bisa bertemu tanpa menimbulkan friksi yang berarti. "Anak grunge, brit pop, ska, punk, bisa ngumpul bareng di Purna, Kintam, PI, DU (tempat-tempat meeting point komunitas underground Bandung era `90-an -red.)," jelas Arief `bp`, mantan vokalis Bitch Party, band punk yang eksis di tahun 1997-2002.

Suasana komunalitas dan kekompakan ini pada era `90-an, juga terasa sampai ke komunitas yang berada di pinggiran Bandung seperti Baleendah, Soreang, Dayeuhkolot. "Konser di GOR Soreang, GOR KNPI Baleendah, GOR Handoyo Dayeuhkolot, selalu penuh penonton dan aman-aman saja. Padahal, band-band yang jadi bintang tamu lumayan band-band tarik, Injected, Burgerkill, Keparat. Dulu penonton dan bandnya kerasa lebih kompak, kalau ada perkelahian itu hanya masalah kecil dan bisa diatasi," ungkap Dadang `Uzho` Sumarna, mantan manajer Sub Chaos, band punk paling berpengaruh di wilayah Bandung Selatan pada masa itu.

Suasana komunalitas yang kental membuat warna komunitas underground pada saat itu terasa lebih guyub dengan militansi yang kuat. Keterbatasan fasilitas seperti ruang pertunjukan dan modal untuk membuat acara, bukanlah penghalang. Dengan poster fotokopi dan rekaman yang diproduksi sendiri serta acara yang diselenggarakan dengan biaya kolektif, tanpa sponsor mewarnai semangat komunal. Tempaan situasi politik dan sosial ditingkat makro dan mikro membuat militansi komunitas menjadi karakter yang kuat dan mengemuka pada era `90-an.

Tahun 2000-an

Pergeseran karakter ini mulai terasa saat ruang gerak komunitas mulai dibatasi justru setelah era reformasi. Pertemuan dan konser komunitas underground mulai berkurang, saat akses terhadap ruang seperti GOR Saparua dibatasi dengan cara pengelola meningkatkan harga sewa sehingga tidak terjangkau lagi. Selain itu, faktor penting yang memengaruhi pergeseran karakter ini adalah perkembangan teknologi informasi khususnya akses internet yang semakin luas di akhir tahun `90-an.

Pada tahun 1995 saja, Bandung tercatat sebagai satu dari tiga kota pengguna jasa internet terbesar di Indonesia. Setidaknya dari 14.000 pemakai Internet di Indonesia, Bandung menduduki peringkat ketiga dengan 1.000 pemakai setelah Jakarta (10.000 pemakai) dan Surabaya (3.000 pemakai).

Akses internet kemudian memberi alternatif medium baru pada kelompok underground untuk tetap mengeskpresikan diri. Pergeseran meeting point pada awal tahun 2000-an dari tempat-tempat seperti Purna (Jln. Purnawarman), Kintam (Jln. Ranggamalela), dan DU (Dipati Ukur) ke warnet-warnet mengubah pola relasi sosial komunitas itu. Dari semangat komunalitas dan kolektivitas lambat laun bergeser menjadi lebih individual. Perubahan medium aktualisasi ini membuka peluang-peluang baru yang kemudian digarap secara serius oleh sebagian anggota komunitas.
Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia setelah reformasi, pada tahun 1998, menjadi badai yang menguncang, tak terkecuali juga kehidupan komunitas-komunitas underground Bandung.

Musuh besar yang dihadapi bukan lagi kekuasaan tiran, namun kebutuhan hidup yang harus dipenuhi sehari-hari. Pada situasi sulit seperti ini, peluang-peluang baru justru terbuka. Distro dan clothing label justru mulai tumbuh subur di akhir `90-an dan semakin pesat di awal tahun 2000-an hingga pertengahan 2000.
Pada masa ini, pertunjukan musik dan acara-acara komunitas underground justru menyusut tajam dan terasa sampai ke pelosok Bandung seperti wilayah Bandung Selatan. Selain itu, pergesaran tren musik dunia dari era `90-an yang didominasi oleh aliran hard metal, trash metal, grunge, nu-metal, menjadi lebih eksperimental dengan memaksimalkan teknologi.

Perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi baru setelah badai krisis ekonomi yang melanda di akhir `90-an, membuat gelombang konsumerisme global menguat dan merasuk ke seluruh penjuru kehidupan. Identitas komunitas underground terkena pula imbasnya. Booming usaha distro dan clothing label Bandung mengubah atribut dan identitas komunitas menjadi lebih seragam.

Para pelaku bisnis ini yang berasal dari komunitas underground sendiri. Rekan komunitasnya menjadi peluang pasar. Hubungan komunalitas yang militan, kemudian berubah menjadi hubungan mutualisme dan negosiasi ekonomi untuk mempertahankan eksistensi komunal.

Kegiatan komunitas mendapat dukungan sponsor dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota komunitas lain yang memilih jalur usaha untuk ditekuni. "Waktu belum banyak distro dan clothing, susah banget cari sponsor buat kegiatan atau promosi band anak-anak," kata Bonde Rizyan, yang sejak pertengahan `90-an malang melintang sebagai manajer dan pengelola event underground di Bandung. "Sekarang lebih mudah mencari sponsor, jadinya bisa saling mendukung antara band dan clothing label."

Pergeseran ini, menurut Bonde bisa dilihat sebagai perpindahan fase dari para pelaku komunitas underground yang ada di Bandung. "Sekarang, peluang untuk band-band indie sukses secara komersial lebih besar karena peluang untuk indie label pun lebih besar," kata Bonde yang juga mendirikan Palu Music Indonesia/Palu Records.

"Generasi sekarang sebetulnya lebih enak karena infrastruktur pendukungnya sudah lebih siap. Sekarang, yang namanya indie tidak lagi dipandang sebelah mata oleh media juga oleh industri. Generasi sebelumnya sering kali lost opportunity karena aksesnya tidak ada," tambah Bonde.

"Musik apa pun punya zamannya masing-masing. Tetapi dipertahankan oleh komunitasnya atau tidak, itu masalah lain," kata Uzho ketika menanggapi vakumnya band-band underground seperti Sub Chaos.
Menurut dia, eksistensi band dan komunitas underground sangat dipengaruhi oleh kepentingan yang ada didalamnya. Peristiwa Sabtu (9/2) di AACC yang menewaskan lebih dari 10 orang seolah menjadi interupsi bagi dinamika pergeseran karakter komunitas underground Bandung.

Peristiwa ini, bukan sekadar persoalan teknis penyelenggaraan acara atau kebutuhan ruang fisik pertunjukan yang memang sudah tidak memadai, namun yang lebih penting untuk direnungkan komunitas underground sendiri adalah bagaimana pergeseran karakter komunitas ini mampu dihadapi oleh komunitasnya tanpa menimbulkan benturan yang memakan korban jiwa. (Tarlen Handayani)***

Tulisan ini di muat di Pikiran Rakyat, 13 Februari 2008

Comments

za said…
Wah kebetulan aku baca versi cetaknya. Bagus tulisannya. Sarat dengan data. Aku kangen, pengen bisa nulis seperti ini lagi. Sayang sekarang dah sulit nemu teman diskusi :-)
I. Widiastuti said…
underground tidak terlalu terasa underground di tahun 2000

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah