Salah satu hal terpenting dalam hidupku adalah impian. Sejak kecil, aku punya banyak sekali impian atau keinginan yang sering seringkali menyeretku pada bentrokan-bentrokan dengan sekelilingku, bahkan dengan ibuku, karena ketidak mengertiannya tentang apa yang kuimpikan. Aku ga memimpikan mainan yang banyak, atau boneka baru yang kalo dotnya di cabut bisa mengeluarkan suara tangisan. Namun sejak kecil, aku sudah memimpikan, memetik buah berry liar di hutan kecil saat musim panas (pengaruh Enyd Blyton), atau pergi berlayar ke pulau tropika (pengaruh pippi si kaus kaki panjang), kadang membayangkan sebuah petualangan di tempat-tempat yang menegangkan seperti pulau kirin (pengaruh lima sekawan), ingin sekali keliling dunia seperti Tintin atau belajar kun fu di perguruan Shaolin (pengaruh komik-komik silat, tapi gara-gara ini aku sangat tertarik pada kajian diaspora khususnya Cina Peranakan di Indonesia sampai sekarang), juga impian menjadi pilot pesawat tempur (pengaruh Tanguy and Laverdure dengan Mirage IIIE) dan yang paling ekstrem adalah memimpikan persahabatan dengan dracula seperti Anton Sukarung Kacang (karena kebanyakan baca Drakula Cilik). Semua impianku dipengaruhi oleh buku-buku bacaanku sejak aku kecil dulu.
Waktu kecil, aku belum bisa membedakan apa yang aku sebut dengan impian dan keinginan. Apapun yang aku inginkan, bisa aku sebut impian. Namun semakin lama aku semakin paham bahwa impian jauh lebih besar dari sekedar keinginan. Impian sering kali ga berbatas dan seringkali mustahil dengan kondisi ril kemampuan kita. Dia bisa bergerak jauh lebih cepat melebihi kecepatan fisik mencapainya. Impian seperti bintang di langit yang ingin kita petik atau seperti galaksi yang ingin kita arungi. Namun baguku, impian seperti energi yang bisa melesat sangat jauh meninggalkan garis yang menjadi penunjuk arah, kemana hidupku mesti menuju.
Ketika bertambah usia dan duduk di bangku SMA, mimpinya jadi aktivis lingkungan seperti greenpeace, pengen jadi ahli virus (karena senang sekali dengan pelajaran mikrobiologi), tapi sekaligus juga pengen jadi seniman yang bisa bikin karya yang menggetarkan jiwa orang yang melihatnya, pengen belajar tentang sejarah Islam dan pergi ke Cordoba menyaksikan monumen-monumen kejayaan Islam masa lalu dan mencoba memahami mengapa kejayaan itu runtuh. Belum lagi cita-cita yang berhubungan dengan profesi. Banyak. Dan seperti kebanyakan orang tua, Ibuku pasti sangatlah pusing dengan hal-hal seperti impianku. Sementara bapakku, justru 'tukang kompor' karena dia sama seperti aku 'seorang yang punya impian yang jauh'. Dia sering mengantarkan tidurku dengan dongeng tentang perjalanan ke tempat-tempat yang jauh, perjalanan yang katanya pernah dia alami. Aku sih percaya saja. Dia mengajarkanku untuk memimpikan bintang di langit, bukan sekedar mimpi melalui tanjakan.
Obrolan bersama Sandy temanku, beberapa hari lalu, aku seperti diingatkan kembali soal ini. Ada hal yang penting dan akan selalu kuingat dari apa yang Sandy katakan: 'Seringkali kita hanya diajarkan untuk merasa cukup untuk sekedar memimpikan tanjakan, bukannya memimpikan mencapai puncak yang paling tinggi.' Kata-katanya mengingatkanku pada pertanyaan yang seringkali muncul dalam diriku: 'mengapa ada orang-orang yang bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil. Misalnya: Barack Obama sebagai Presiden AS Afro Amerika pertama, Lary Page dan Sergey Brin yang menciptakan mesin pencari google dan hampir setengah umat manusia kini tak bisa hidup tanpa mesin pencari ini, dan para inovator, para filantropis, orang-orang yang dianggap melakukan hal-hal yang sebelumnya dianggap mustahil dan tidak mungkin. Atau temanku, Yusrila Kerlooza dan mahasiswanya: Stevanus dan Rodi yang memenangkan kompetisi robot dunia, “The 2009 Internasional Robogames” di San Francisco seminggu yang lalu. Bagiku mereka berhasil memetik bintang di langit itu dan setelah itu, mereka bersiap-siap mengarungi tata surya untuk selanjutnya berkelana diantara galaksi-galaksi yang begitu luas. Mengarungi kemungkinan-kemungkinan hidup yang begitu luas.
Aku pernah mengira, bermimpi memetik bintang di langit itu mudah, namun semakin bertambah usia, kenyataan dan dunia yang kualami mengajarkan, bahwa bermimpi memetik bintang ternyata butuh keberanian setelah itu kemudian bekerja keras. Karena tanpa keberanian dan kerja keras untuk menjaganya, kenyataan seringkali dengan mudah mengahancurkan impian itu. Keberanian menjadi penting untuk membela impianku sendiri, mempertahankannya mana kala ada yang ingin menghancurkannya. Membelanya dengan keyakinan dan keteguhan hati, bahwa tak ada seorangpun yang berhak menghancurkannya. Keyakinan dan keteguhan hati, tak ada artinya tanpa kejujuran diri. Bagaimana kita bisa menemukan keyakinan dan keteguhan, mana kala kita tidak mau mengakui seperti diri kita sendiri. Tentunya termasuk apa yang tidak kita mengerti, apa yang kita mengerti, apa yang jadi kebaikan dan keburukkan kita, apa yang jadi kelebihan dan kekurangan kita. Impian yang disandarkan pada sesuatu yang 'karena yang baik menurut umumnya orang' atau 'hal yang hanya karena ingin di pandang orang lain', hanya menciptakan jembatan mimpi yang rapuh. Keyakinan dan kejujuran pada diri yang membuat impian bukan hanya mencapai sesuatu yang material, tapi juga spiritual.
Hal meterial yang diraih dari perjalanan impian sebenarnya capaian-capaian dari tanjakan yang berhasil di lalui. Karena selalu ada pertanyaan lanjutan. Setelah berhasil menginjakkan kaki di Seattle atau berhasil nonton konser Pearl Jam di Madison Square Garden, NYC, lalu apa? atau ketika berhasil membeli mobil baru, rumah baru, pekerjaan yang lebih baik dengan gaji yang lebih besar, lalu setelah itu apa? Tentu saja tidak akan pernah selesai, akan ada hal-hal lain setelah itu. Pencapaian itu barulah satu tanjakkan yang berhasil dilalui. Masih banyak tanjakkan lain jika ingin sampai ke puncak yang lebih tinggi dan kukira, sampai mati, mungkin kita tidak bisa benar-benar mencapai puncak itu, tapi kita bisa mendekatinya.
Aku selalu percaya impian itu seperti garis cakrawala. Semakin di dekati, semakin menjauh dan tanpa sadar, cakrawala membimbing kita untuk mengelilingi impian itu. Dan aku bisa merasakan 'tanjakan-tanjakan' dari impian itu tercapai setelah mengelilinginya, merasakan ketiga demensiannya, mengalaminya sebagai sesuatu yang memperkaya spiritualitasku. Untuk itu, menurutku sebuah impian yang berhasil adalah impian yang aku mengalami ketiga demensiannya, bukan aku saja yang kemudian bisa merasakan vibrasinya, tapi juga orang-orang di sekelilingku dapat merasakannya pula. Apa arti sebuah kebahagiaan meraih impian, ketika pengalaman bahagia itu tidak aku bagi pada orang lain?
Happiness is real when shared - Into The Wild-
Comments