Skip to main content

Mengumpulkan Kepingan-Kepingan Pertanyaan Tentang Kebaikan


Aku adalah orang yang sangat beruntung. Dengan semua kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, kesempatan untuk berada pada lingkungan yang mendukung, kesempatan untuk mendapat kesempatan lebih banyak lagi, keberanian untuk bersikap dan semua hal yang seringkali menjadi keniscayaan banyak orang, namun aku bisa mendapatkannya. Aku sangat mensyukuri semua ini. Aku benar-benar orang yang sangat beruntung.

Apakah keberuntunganku adalah suatu kebetulan belaka? sesuatu yang jatuh dari langit? rejeki nomplok yang datang tiba-tiba? atau keberuntungan adalah serangkaian perjalanan mengumpulkan kepingan-kepingan kebaikan yang ditemukan dalam hidup dan kebaikan adalah kepingan-kepingan yang tau-tau tanpa aku sadari telah menggunung ketika aku memungutinya terus menerus? Tapi bagaimana memilih yang ini kebaikan dan yang itu bukan, yang ini pantas untuk dipungut dan yang itu dibuang saja karena dianggap tidak berguna? apakah yang sesungguhnya menggerakan aku memunguti kebaikan-kebaikan itu?

Jika pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk menemukan kepingan-kepingan kebaikan itu, mengapa ada orang yang bisa mengumpulkan begitu banyak, sedangkan yang lain bahkan kesulitan menemukannya? Sama halnya dengan mengapa ada orang yang merasa beruntung dan ada pula yang merasa dirinya begitu malang?

"Kebaikan ada dalam diri manusia, tapi manusia perlu berjalan menuju kepada kebaikan itu untuk bisa mengapainya," itu menurut penjelasan romo Antonius Subiyanto Bunyamin.

Apakah kemudian kebaikan dan keberuntungan itu adalah sebuah "perjalanan menuju" kebaikan itu sendiri? Jalan seperti apa yang bisa mengantarkan seseorang pada kebaikan dirinya? Apakah 'jalan yang lurus atau jalan istiqomah' seperti yang Allah bilang dalam kitab sucinya? namun sebelum berjalan menuju kepada kebaikan, apakah kebaikan itu sesungguhnya jika ia adalah sesuatu yang terus menerus dicari olehku dan oleh semua mahluk di dunia ini?

[ ............ ]

Lagi-lagi, aku merasa beruntung bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul, bermain-main di benakku, seperti nyala yang memanduku untuk berjalan menuju dan mengumpulkan kepingan-kepingan itu..

Terima kasih telah memberiku kemampuan untuk bertanya..

Comments

POPCORN said…
so inspiring : )
I. Widiastuti said…
buatku, ketika seseorang masih bisa bertanya kepada dirinya sendiri, berarti dia masih hidup :)

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah