Skip to main content

Yang Publik Yang (Tidak) Berbayar ?


foto dok tobucil


Tulisan ini untuk menanggapi sebuah komentar di fb grup tobucil tentang hubungan tobucil dan ruang publik serta menjelaskan soal kegiatan tobucil yang bebayar.

Seseorang berkomentar di fb grupnya tobucil. Komentar itu muncul setelah aku memposting agenda kegiatan workshop melipat kertas yang berbayar lima puluh ribu rupiah saja. Seseorang di komentar itu bilang: 'public space kok komersil, lagian males ah kalo kegiatannya untuk kelas menengah atas'. Aku memang tidak membalas komentar itu. Komentar itu nampaknya ga perlu di tanggapi langsung di fb, mengingat aku ga kenal orang itu dan setelah aku cek lewat profilnya, nampaknya dia bukan orang yang pernah datang di kegiatan tobucil juga. Makanya aku menganggap dia tidak mengerti. Perasaan terganggu ku itu, lebih baik aku uraikan disini.

***

Aku ga tau apa yang dipahami orang itu soal public space (ruang publik), tapi kalo yang dia maksud sebagai public space adalah ruang yang bisa diakses oleh siapa pun secara gratis dan orang memiliki hak untuk menggunakan ruang tersebut secara bebas, rasanya tobucil tidak sesuai dengan apa yang dia maksudkan sebagai public space. Tobucil, sesuai dengan namanya, lebih cocok di sebut sebagai private space yang membuka diri untuk sebagian kalangan, karena tidak semua orang mau datang juga kok ke tobucil dan tidak semua orang boleh datang ke tobucil. Ada tiga kelompok yang tidak boleh datang ke tobucil: pertama, orang yang sengaja datang dengan maksud memprospek calon klien untuk MLM (Multi Level Marketing). Kedua, kampanye partai politik, rasanya untuk hal ini sudah sangat jelas. Ketiga, kelompok yang sengaja melakukan agitasi keagamaan biar orang lain masuk ke agama yang dia anut dan konteks ini sangat berbeda dengan kajian teologi. Orang bisa mengkaji ajaran agama tertentu di tobucil, tapi bukan dengan tujuan agitasi. Dari tiga larangan ini, kukira, jelas bahwa tobucil tidak termasuk kedalam definisi public space dalam definisi yang konvensional. Dalam konteks ini tobucil lebih cocok di sebut sebagai private space, tentu saja karena tobucil menempati sebuah pavilliun yang kepemilikan ruangnya adalah milik pribadi dan tobucil sendiri memiliki struktur kepemilikan yang jelas.

Dalam definisi yang lebih progresif, sebenernya tobucil lebih cocok disebut sebagai alternative space. Sebuah ruang yang memberi pilihan alternatif bagi komunitas untuk mengaktualisasikan dirinya lewat kegiatan-kegiatan atau program-program yang diselenggarakannya. Tentu saja ada pembatasan untuk apa yang disebut dengan 'kegiatan atau program' di tobucil. Penyebab pembatasannya adalah keterbatasan tobucil itu sendiri. Tidak semua kepentingan 'public' (baca: umum) yang datang ke tobucil bisa terlayani. Itu sebabnya tobucil memutuskan berfokus pada misi dan visi dan memfokuskan diri pada koridor buku, hobi dan komunitas (yang berkaitan dengan buku dan hobi).

Dan kukira, se'publik-publik'nya ruang publik, tetap saja selalu ada pembatasan, ada aturan, ada kesepakatan, untuk membuat publik merasa nyaman berada di dalamnya. Bukan berarti ketika ada di ruang publik, kita bisa berbuat seenaknya dan sebebas-bebasnya. Di negara yang katanya bebas seperti Amerika pun, minum-minuman beralkohol di taman kota di siang bolong dengan botol telanjang (yang memperlihatkan identitas minuman tersebut) bisa tiba-tiba dimarahi orang yang ada disitu, atau di tegur penjaga taman, karena tindakan tersebut dianggap mengganggu kenyamanan publik. Aku ingat, bagaimana petugas taman Union Square memarahi seorang pengunjung karena menginjak rumput di salah satu bagian taman dan menunjukkan pada pengunjung tersebut sebuah papan larangan menginjak rumput yang sedang tumbuh itu. Ini menunjukkan bahwa dalam konsep ruang publik, tidak ada kebebasan absolut. Publik tetap saja mesti mengikuti aturan dan pembatasan-pembatasan yang ada. Aku ga tau, apakah orang yang komen di fb itu, menyadari soal ini atau tidak.

***

Hal lain yang digugat oleh orang yang berkomentar di fb adalah soal kegiatan tobucil yang berbayar dan soal kegiatan yang ditujukan untuk kelas menengah dan atas. Selama ini, tobucil menjalankan seluruh program kegiatannya murni tanpa sponsor (funding dari luar negeri atau sponsor perusahaan) dan tobucil memang memilih untuk tidak menerima uang sponsor. Seluruh kegiatan murni mengandalkan dari profit penjualan di tobucil yang selama ini baru cukup membiayai biaya operasional (bayar staf, bayar internet, listrik, perawatan ruangan dan alat untuk berkegiatan dan hal-hal tak terduga). Itu pun baru dalam 2 tahun terakhir, enam tahun sebelumnya, aku harus mengeluarkan uang pribadi untuk menomboki segala kekurangan dan mempertahankan keberadaan tobucil. Pengalaman menomboki biaya ini, bukan pengalaman yang sehat untuk dipertahankan dalam mengelola komunitas. Karena nombok terus menerus hanya akan membuat aku merasa 'terkuras' bukan hanya secara materi, tapi yang lebih berbahaya terkuras secara mental. Perasaan 'mengapa aku harus berkorban terus menerus untuk orang lain? mengapa aku yang harus membayar biaya aktualisasi diri orang lain?' akan merongrong energiku untuk menjalankan visi dan misi yang dibawa oleh tobucil. Tobucil sendiri sejak awal adalah usaha yang dibangun dari idealisme, bukan perencanaan bisnis dan prediksi profit yang jelas dan nombok akhirnya menjadi resiko dari idealisme itu tadi.

Namun, nombok juga bukanlah sebuah resiko yang menjadi harga mati dari sebuah idealisme membangun ruang alternatif itu tadi. Ada strategi bertahan hidup yang bisa ditempuh biar resiko nombok itu bisa di kurangi. Caranya ya membuat strategi subsidi silang yang menyentuh dua sisi sekaligus: sisi pengembangan usahanya (sebagai sumber keuangan kegiatan komunitas) dan juga sisi pengembangan komunitasnya. Itu sebabnya, pengembangan usaha yang dilakukan tobucil dilakukan sejalan dengan pengembangan visi dan misinya. Jangan bayangkan bahwa hanya menjual buku saja bisa menutupi seluruh biaya pengeluaran yang terjadi malah nombok terus menerus itu tadi. Karena industri perbukuan sendiri di Indonesia, ga jelas regulasinya. Apalagi sekarang situasinya industri buku didominasi oleh penerbit besar saja. Coba hitung, jumlahnya tidak lebih dari tiga. Sementara di sisi lain, boom toko buku alternatif sudah lewat. Dari pemetaan komunitas literer yang mendata ada sekitar 40 toko dan komunitas literer di Bandung di tahun 2003, sekarang yang tersisa kurang dari 10 saja. Dari 10 jika di lihat yang punya kegiatan reguler yang berkaitan dengan literasipun tidak lebih dari setengahnya. Dan semua berjuangan keras untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Masing-masing berusaha menemukan strategi bertahan hidup yang pas dan sesuai dengan karakter masing-masing.

Masuk ke wilayah hobi, bagi tobucil adalah salah satu reposisi dalam rangka menemukan strategi bertahan hidup bagi keberlangsungan tobucil itu sendiri. Itu juga yang membuat tobucil menjual benang-benang rajutan. Para konsumen benang rajutan punya kontribusi yang cukup penting dalam menjaga keberlangsungan hidup tobucil. Dalam konteks ini, prinsip subsidi silang sebetulnya sudah terjadi. Selain itu pula dalam konteks yang lebih luas, koridor hobi menjadi bagian dari proses memaknai terus menerus misi tobucil untuk menjadikan literasi sebagai bagian dari keseharian, sekaligus pendekatan yang berbeda untuk tujuan yang mungkin sama dengan komunitas lain yang sama-sama mengusung misi mendukung gerakan literasi. Keberagaman pendekatan ini tentunya akan menambah keberagaman pilihan yang ada. Namun perlu diingat pula, bahwa yang paling sulit dari menciptakan alternatif pilihan adalah mempertahankannya dan mengembangkannya. Aku pribadi merasa sangat bersyukur karena sejauh ini, tobucil dengan dukungan teman-teman yang punya komitmen terhadap misi literasi, bisa menjaga konsistensi kegiatan itu meski dengan segala keterbatasan.

Pengalamanku selama 8 tahun mengelola komunitas di tobucil menunjukkan bahwa seringkali, orang cenderung tidak menghargai sesuatu yang gratis. Banyak kegiatan tobucil yang gratis diikuti dengan setengah hati oleh para pesertanya. Komitmen hanya terjadi pada tingkat fasilitator yang mendedikasikan waktu, pikiran, tenaganya secara sukarela untuk berbagi pengetahuan. Namun yang terjadi seringkali komitmen ini tidak diapresiasi dengan baik oleh para peserta kegiatan. Datang semaunya, proses belajar dijalankan dengan suka-suka dan komitmen menjadi sesuatu yang sulit dipegang. Dampaknya, fasilitator kemudian merasa ga berguna dan patah semangat untuk berbagi. Bagi tobucil, situasi seperti ini adalah persoalan yang perlu diselesaikan. Perjalanan menapaki visi dan misi, masih jauh dan panjang. Perlu strategi untuk menjaga stamina dan keberlangsungannya. Itu sebabnya setelah pindah ke jalan Aceh, konsep kegiatan dibagi kedalam dua kategori: model kelas dan model klab. Model kelas, berarti ada komitmen, dan proses timbal balik. fasilitator berperan sebagai tutor yang berbagi pengetahuan dan kemampuannya melalui pengajaran berkurikulum. Dalam model ini, ada transfer pengetahuan dan upgrade skill. Model kegiatan kelas seperti ini, sangat sulit jika peserta bisa mengikutinya secara cuma-cuma alias gratis. Komitmen bisa dibangun, ketika peserta merasa sudah mengeluarkan sejumlah biaya untuk mengikuti kegiatan model ini. Itu sebabnya, kegiatan berbayar di tobucil, outputnya bisa dibilang cukup kongkrit, misalnya dari ga bisa merajut, jadi bisa bikin syal atau kupluk. Dari ga bisa menulis fiksi, jadi bisa menyelesaikan sebuah cerpen. Komposisi pembagian dari biaya yang dibayarkan peserta kegiatan, 80 persen untuk tutor dan 20 persen untuk tobucil, membuat komitmen tutorpun jauh lebih bisa terjaga. Ada reward yang membuat tutor merasa 'pengorbanan'nya tidak sia-sia, ada apresiasi yang terukur dalam bentuk pembagian itu tadi. Dan menurutku komposisi itu cukup adil. Dua puluh persen jatah tobucil, digunakan untuk kontribusi menyewa ruangan, perawatan, fasilitas belajar yang seringkali masih harus ditambahin dari profit penjualan tobucil.

Model kedua adalah kategori kegiatan yang disebut klabs. Dalam klabs, aturan komitmennya lebih cair. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan sangat mengakomodasi aspirasi pesertanya. Peserta bisa menentukan topik bahasan dan outpun kegiatan lebih bersifat abstrak: misalnya untuk pertemuan madrasah falsafah, setelah mengikutinya, orang bisa merasa tercerahkan atau malah terganggu. Diskusi-diskusi, sharing pengalaman proses kreatif, dampaknya bagi para peserta ada pada tataran kognitif. Untuk hal-hal seperti ini, tidak ada komitmen yang dinyatakan dengan biaya keikut sertaan.

***

Hal lain yang disinggung juga oleh dia yang berkomentar adalah soal kegiatan untuk kelas menengah atas. Mmm.. dalam soal ini, posisi tobucil sebenarnya sangat jelas. Jika yang dilakukan lewat kegiatan tobucil adalah sebuah upaya pemberdayaan yang kemudian diberdayakan adalah jelas: kelas menengah. Kenapa? Kelas menengah di Indonesia (jika parameter kelas ini adalah tingkat ekonomi dan pendidikan), kelas menengah ini semakin lama semakin tebal, tapi apakah kelas menengah yang sebenernya ada di antara ini, cukup memiliki kesadaran kritis terhadap kontribusinya terhadap perubahan? Aku tidak menihilkan kesadaran itu di kelas menengah, aku melihat persoalannya mengapa kontribusi terhadap perubahan itu tidak terlihat, persoalannya ada pada kepercayaan diri atau juga kebingungan untuk memulainya. Untuk itu tobucil mengambil peran menjadi ruang alternatif untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam aktualisasi diri itu dan juga berusaha menumbuhkan kesadaran, bahwa perubahan bisa dimulai dari mana saja dan sekecil apapun itu, selama dilakukan secara konsisten dan ada komitmen di dalamnya.

Dari tujuh hari dalam seminggu, bisa meluangkan satu jam saja untuk mengerjakan hobi atau berkomunitas, kukira itu menjadi bagian dari proses berkontribusi pada perubahan: 'menemukan suaramu sendiri', 'menyatakan apa pendapatmu, bukan pendapat orang lain', melatih jemarimu merajut, membuat syalmu sendiri dan berlajar menghargai karyamu sendiri'.. hal-hal kecil, keseharian yang seringkali luput dari perhatian. Siapa yang punya keleluasaan dalam waktu (baca: meluangkan waktu luangnya), kalau bukan kelas menengah. Siapa juga yang butuh aktualisasi diri dan berpotensi menjadi agen perubahan, selain kelas menengah. Ya pada akhirnya ini memang menjadi pilihan tobucil untuk memfokuskan diri pada pemberdayaan kelas menengah, karena tobucil sendiri adalah bagian dari itu. Bukan berarti tak ada kepedulian untuk kelas bawah, untuk saat ini, tobucil belum sanggup memberdayakan kelas bawah, karena diri sendiripun masih harus diberdayakan. 'Untuk memulai sebuah perubahan, mulailah dari sesuatu yang kamu kenali dan sesuai dengan kemampuanmu'.

***

Cita-citaku dengan tobucil adalah menemukan model pengelolaan komunitas yang mandiri. Tidak bergantung funding atau sponsor. Keberlangsungan hidup komunitas justru didukung oleh komunitasnya sendiri, komitmen dan kontribusi orang-orang yang mendukungnya. Dalam konteks ini, tobucil akhirnya hanya menjadi fasilitator dan mediator yang menyediakan ruang, karena komunitasnya kemudian secara otonom mampu mengelola dirinya dan kegiatannya secara mandiri dan menjaga keberlanjutannya. Meski keberadaan keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi satu sama lain.

Aku menyadari, bahwa seringkali, untuk cita-cita sesederhana ini pun, tidak mudah untuk membuat orang-orang mengerti. Dan yang seringkali jauh lebih sulit adalah menerima bahwa orang lain juga berhak untuk tidak mengerti. Tidak semua harus mengerti. Sebuah kebijaksanaan yang aku temukan seiring berjalannya waktu dalam proses menemukan cara bertahan hidup dan konsisten dengan keyakinan dan cita-cita itu sendiri. Aku berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya, tapi jika orang masih juga tidak mengerti, aku tidak bisa memaksa. Kewajibanku adalah menjelaskan dengan sebaik mungkin gagasan dan cita-cita ini kepada orang-orang yang mungkin terlibat di dalamnya.

Jadi, terima kasih buat kamu yang sudah berkomentar di fb dan menyadarkan aku untuk memenuhi kewajibanku menjelaskan. Perkara kamu mengerti atau tidak, itu sudah perkara yang lain lagi.

Comments

I. Widiastuti said…
yang gratis aja belum tentu dia dateng mbak...
kali dia nggak ngelihat manfaatnya apa buat dia, makanya dia ngomong seperti itu. menganggap pekerjaan yang (menurut dia, mungkin) buang-buang waktu dengan uang yang dikeluarkan nggak seimbang. tapi biar aman dia pakai kata public space. buat hal yang simpel aja seperti merokok di public space juga ada aturannya.
Eugenia Gina said…
sabaar, sabaar.. :) yang penting kita punya idealism sendiri dan komitmen untuk satu hal, masalah interpretasi kadang memang bisa berarti banyak hal apalagi buat awam, tetap semangat ya!
vitarlenology said…
terima kasih gina..:) no matter how cold the winter, there's a springtime ahead..

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah