Skip to main content

Merumuskan Kembali Keterhubungan Maya


Setelah mengenal internet, bisakah kita benar-benar bisa hidup tanpanya? Jawaban yang menggampangkan tentu saja bisa, tapi jawaban yang realistis tentu saja tidak bisa. Adbusters baru-baru ini bikin kampanye yang mereka kasih nama Digital Detox Campaign. Intinya mengajak orang-orang untuk (kalau tidak bisa melepaskan) setidaknya mengurangi ketergantungan pada koneksi online atau hubungan di dunia maya.

Dengan bermunculannya social networking seperti facebook, twitter, dll, tiba-tiba saja semua jejaring sosial itu mendefinisikan apa yang disebut dengan hubungan. Bahkan lebih jauh dari itu, jejaring sosial itu menjadi panggung baru bagi setiap individu untuk tampil dan menampilkan dirinya: baik secara apa adanya, maupun di ada-ada. Pada titik ini, aku benar-benar menimbang kembali apa artinya terhubung secara online. Yang disebut teman, di account facebookku sudah mencapai angka kurang lebih 2100, sebagian besar mungkin aku belum pernah bertemu mereka, bahkan mungkin sama sekali aku ga kenal. Temanku pernah bertanya padaku, kalau ga kenal, kenapa di confirm? tentu saja jawabanku menjadi sangat praktis: tobucil. Semua jejaring sosial di dunia maya, aku pakai untuk mensosialisasikan tobucil sebagai sebuah gagasan yang membutuhkan dukungan kolektif. Facebook, twitter, adalah tempat orang-orang mengenal Tarlen yang tobucil. Jangan berharap menemukan Tarlen yang lebih dari itu di facebook. Jika ingin menemukan tarlen dengan pemikiran-pemikirannya, silahkan datang ke blog ini, tapi kalau ingin mengenal sisiku yang lebih crafty, bukalah blogku yang lain. Tapi tetap saja, jika berharap menemukan Tarlen yang Tarlen, kamu harus menemukannya langsung, ketika berhadapan denganku. Face to face.

Orang yang ingin mengenalku, tentu harus berinteraksi secara langsung denganku. Biar bisa merasakan langsung kegalakanku ketika benar-benar tidak mau diganggu tanpa aku harus bilang 'aku sedang tidak mau diganggu'. Orang lain bisa merasakan Tarlen yang tarlen saat bertatap muka secara langsung denganku. Dan persaan-persaan yang kukirimkan secara langsung kukirimkan secara langsung, jauh lebih akurat daripada sekedar lewat Yahoo Messanger. Atau bersurat-suratanlah denganku, karena tulisan tanganku jauh lebih bisa dirasakan daripada emoticon-emoticon yang kukirim lewat YM.

Itu sebabnya aku kembali memutuskan untuk tidak log in di YM (tidak available maupun invisible, bener-bener log out aja). Kalau ingin ngobrol denganku, telpon saja langsung atau sms. Aku tidak mau lagi mempercayai keterhubungan yang maya dan kemudian membuatku terjebak mempercayai seseorang dari ilusi yang dia ciptakan di YM. Atau kesalah pahamanku menangkap tanda-tanda bahasa di YM yang memang penuh dengan jebakan, sehingga aku menyimpulkan seseorang hanya dari omongannya di YM (pertemuan kemudian hanya menegas-negaskan saja apa yang sudah di katakan di YM). Aku memilih kembali konvensional sekarang.

***

Tidak dengan YM, tidak juga dengan facebook. Aku merasa tidak perlu menampilkan diriku di panggung status-status facebookku, karena aku merasa ada panggung eksistensi yang jauh lebih ril: karya nyata yang kujalani sesuai cita-cita dan keyakinan. Kalau hanya pamer kegalauan, atau mengekpresikan kelebatan pikiran, kurasa status fb seperti pojok kecil di pasar yang ramai, dimana bukan hanya kita yang berteriak menunjukkan diri, tapi banyak orang melakukannya. Dan komentar menjadi candu pengganti uang receh pengganti jerih payah kita berteriak-teriak menampilkan penggalan-penggalan drama diri kita sendiri. Pada titik ini, aku belajar memahami apa arti 'enough is enough'. Aku memilih panggung yang lebih ril untuk kujalani. Aku tak ingin menghabiskan waktuku di panggung-panggung seperti status facebook untuk kepentingan menampilkan diriku sendiri. Account facebook adalah panggung tobucil yang tarlen, bukan tarlen yang tarlen.

Itu sebabnya, sejak beberapa waktu terakhir ini, aku memilih lebih bersetia pada email dan blog (blogspotku ini, karena multiply sudah mulai ikut-ikutan seperti facebook). Dengan blog, aku merasa lebih punya ruang dan keleluasaan untuk mengungkapkan pikiran-pikiranku, tanpa ambil pusing dengan viewing history pembaca tulisanku, webstat saja sudah cukup buatku.

***

Tiba-tiba saja, aku ga sabar menerima surat balasan dari Pam yang dia kirim via pos buatku. Sebuah komunikasi jarak jauh yang intim, hangat, rasanya bisa teraba, sangat personal, tapi sudah sedemikian di lupakan. Beberapa waktu, disebuah pertemuan klab menulis di sebuah kampus Universitas Negeri, aku bertanya pada semua peserta yang hadir, 'pernahkah kalian berkirim surat bertuliskan tangan pada orang lain?' hasil yang mengejutkan dari hampir 20 orang yang hadir, 95% mengaku belum pernah menulis surat sama sekali. Bahkan sebagian menganggap surat adalah sesuatu yang sama dengan SMS. Bagiku yang pernah masuk rubrik sahabat pena di majalah Ananda waktu kecil dulu, dan mulai bersahabat pena sejak SD, kenyataan ini semakin membuatku harus melihat kembali hubunganku dengan dunia maya. Besarnya waktu yang kuhabiskan di depan komputer untuk terhubung dengan dunia maya, apakah benar-benar sesuatu yang manfaat (seorang teman pernah menganggapku oportunis karena lebih memilih mengambil manfaat sebanyak-banyaknya di dunia maya. Aku hanya mengikuti nasehat Sergey Brin dan Larry Page, dua pencipta mesin pencari google: 'Pikirkan masak-masak dan berhati-hatilah dalam memutuskan apa yang kamu upload di dunia maya. Karena kamu tidak pernah bisa menduga apa akibatnya buatmu' ) ? Ketika ada pilihan lain, kesibukan lain yang lebih ril, mengapa harus bersikukuh terus menerus terhubung secara maya? Bagiku kemudian menseleksi kembali hubunganku dengan dunia maya, membuatku menengok kembali pada hubungan yang ril, nyata. Dengan semesta, dengan teman-teman yang bisa kusapa langsung dengan tatap muka atau meneleponnya secara langsung, daripada menge-buzz nya di YM, bahkan kalau menelepon langsung juga lebih murah, mengapa harus sms.

Aku ga tau, waktu hidupku ini masih lama atau hanya sebentar lagi. Rasanya waktu yang sewaktu-waktu bisa habis dan selesai ini, lebih baik aku pakai untuk memaksimalkan hubungan-hubungan di dunia nyata, mengeksekusi banyak gagasan di kepalaku biar jadi sesuatu yang nyata dan tidak jadi sekedar omong kosong. Aku ga mau mati dalam keadaan menyesal menyia-nyiakan kemampuan mewujudkan gagasan jadi kenyataan, hanya karena aku terlalu malas dan lebih memilih menghamburkan waktu dengan keterhubungan yang semu, sibuk berteriak-teriak melemparkan kilasan pemikiran di status facebook tanpa pernah bener-benar-benar merangkaikannya sebagai karya yang nyata. Aku tidak mau menjadi pecundang di usia paruh baya nanti (jika umurku panjang) dan membuat banyak alasan dan pembenaran atas waktu yang disia-siakan.

Aku tidak memilih hidup seperti itu.

Comments

enci said…
ternyata sama ya..menemukan blog sebagai ruang sunyi tempat mencurahkan tulisan. aku pikir tarlen sebagai penggiat komunitas yang bertumpu pada internet tidak pernah berpikir seperti itu.

salam kenal...minta ijin link ke blog saya ya...selama ini selalu membaca tanpa permisi
vitarlenology said…
halo enci.. salam kenal ya.. terima kasih udah baca postingan-postinganku.. justru yang menjadi tantangan sekarang adalah bagaimana menggunakan kelimpahan informasi yang kita dapat dari internet ini dengan bijaksana.. :)

salam hangat,
t
ika said…
saya suka dengan tulisan2mu, dan memperkuat alasan2 saya yang juga enggan untuk berceloteh di dinding2 jejaring sosial.
salam kenal.....
vitarlenology said…
halo ika, salam kenal juga...
terima kasih sudah membaca tulisan-tulisanku..:) setiap orang memang bisa memilih panggung mana yagn akan dia pakai untuk eksis.. untukku sendiri yang jelas bukan facebook atau jejaring sosial.. aku ga perlu menyatakan diri dengan susah payah disitu..
@dewikhami said…
Aku merasa hidup lagi setelah membaca sebagian isi blogmu :)
Kerinduan kepada orang tua (ayah, terutama), janji-janji yang sulit kutepati, impian-impian yang bisa kita raih, kekuatan-kekuatan yang datang dari diri sendiri (bahkan, tidak perlu mencari kekuatan di jejaring maya), blogmu sangat menginspirasi :)
Maaf kalau sekarang aku jadi orang maya yang dengan mudahnya datang dan bilang aku kagum pada semua tulisanmu di blog ini.
Salam kenal, Sis ^^

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah