Skip to main content

Menimbang Yang Telah Lalu

The Luggage Store's Graffiti, San Francisco. Photo by tarlen


"If you love someone, set them free. If someone loves you, don't fuck up."
- ed. vedder-

Rasanya, ungkapan ini ga hanya pas ketika ngomongin soal hubungan asmara, tapi juga soal hubungan yang berkaitan dengan membangun cita-cita bersama. Beberapa waktu lalu, seorang teman memberitahukan kondisi sebuah ruang yang dulu pernah dibangun dan dibesarkan bersama-sama. Temanku bilang, saat ini ruang itu sedang dalam kondisi memprihatinkan, karena masalah yang sama yang membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya 'pecah kongsi'. Dan sekarang masalah itu kembali mengemuka. Bukan masalah apa yang sedang terjadi yang aku bahas disini, tapi soal bagaimana aku melihat kembali, sesuatu yang pernah di bangun dan dibesarkan bersama-sama, merasa pernah punya kontribusi, namun sekarang tidak lagi. Lalu melihat ruang itu dalam keadaan kritis.

Pengalaman ini juga ternyata dialami oleh sahabatku, ketika ia sebagai pasangan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan karir pasangannya. Selama ini banyak sekali keputusan penting dalam karir pasanganannya, sahabatku yang mengarahkan. Lalu pada satu titik mereka sebagai pasangan tidak lagi bisa 'hidup' sebagai partner. Pasangannya pun lebih banyak membuat keputusan sendiri atas hidup dan karirnya. Namun keputusan yang diambil pasangannya itu bukanlah keputusan yang dianggap tepat. Karirnya yang dengan susah payah dibangun bersama, terancam berantakan. Sementara sahabatku berada dalam situasi yang serba dilematis. Haruskan ia mengorbankan kembali dirinya untuk menyelamatkan karir pasangannya? (selama hidup bersama sebagai pasangan, sahabatku ini hampir-hampir kehilangan dirinya sendiri, karena atas nama cinta, pengorbanan dan meleburkan diri untuk pasangan menjadi ga jelas batasnya). Di sisi lain, sahabatku juga merasa ini saatnya untuk bilang 'cukup'. Saatnya bagi dia untuk meraih kembali hidupnya.

Dua pengalaman yang kurasa mirip. Dalam kasusku, ketika aku justru mendapatkan kembali semua impianku, kepercayaan diri untuk terus istiqomah, aku justru mendapati pemandangan tempatku dulu, tempat yang menjadi bagian dari sejarah impianku, sedang dalam kondisi kritis. Pada situasiku, aku memang tidak memilih berbuat apa-apa (dalam hal ini akar persoalannya memang harus di selesaikan oleh si pemilik ruang sendiri, jadi bukan saja aku yang tidak bisa melakukan apa-apa, tapi juga orang lain yang berusaha membantupun tidak bisa membantu apa-apa juga). Kejadian ini seperti sebuah segmen yang secara ruang memang terpisah dengan ruang hidupku sekarang. Mungkin ruang itu, seperti sebuah shelter, saat aku pernah memulihkan banyak kekelahanku dan mencoba mempercayai kembali apa itu impian bersama, namun setelah empat tahun mencobanya, ternyata gagal juga. Dan aku membuat keputusan meninggalkan ruang itu. Mencari ruang impianku yang lebih membebaskan, bukan ruang yang menyangkal komitmen dan kontribusi orang-orang yang menanam impiannya bersama.

Sebenernya, setelah lebih dua tahun meninggalkannya dan membangun ruang yang membebaskan itu, ruang yang pernah kusinggahi itu menjadi bagian dari masa laluku. Ketika meninggalkannya, aku dan beberapa orang yang termasuk pecah kongsi itu, membawa kesakitan yang kini sudah mulai pulih. Bagi sebagian dari kami, pernah singgah di ruang itu, adalah pengalaman berharga. Sebagian dari kami memutuskan untuk menjadikan kesakitan yang kami bawa dulu sebagai sebuah keberuntungan (jika keberuntungan bisa disebut sebagai sebuah pilihan). Tapi bagi yang tetap tinggal di dalamnya, kini pergulatannya adalah apakah ruang itu menjadi beban atau bisa jadi sebuah keberuntunganan dan mereka masih berjuang dengan itu. Aku dan beberapa temanku yang lain yang keluar dari ruang itu, menganggap diri kami telah berhasil mengambil keputusan itu. Karena itu, kami hanya bisa menyaksikannya, tanpa berbuat apa-apa. Bagi kami yang sudah melalui itu, masa lalu menjadi sesuatu yang sudah lewat. Jika ruang di masa lalu itu kemudian hancur, atau hilang sama sekali, aku hanya bisa mengiklaskannya, karena waktu yang ada di ruang itu sekarang, bukan untukku lagi.

Sementara dalam kasus sahabatku, waktu masih menjadi miliknya dan pasangannya. Meski sahabatku memutuskan untuk mendaptkan hidupnya kembali, namun hidupnya dan hidup pasangannya masih pararel dan terhubung satu sama lain. Seperti cincin-cincin rantai yang masih berkaitan satu sama lain. Sahabatku belum bisa dan mungkin tidak pernah bisa melepaskan kaitannya. Yang bisa dia lakukan adalah melindungi hatinya untuk tetap teguh mempertahankan dirinya yang pernah terampas atas nama pengorbanan. Pasangannya seperti hendak melompat jurang, tapi tangannya berpegang pada lengan sahabatku. Apa yang semestinya dia lakukan? melepaskannya? menarik pasangannya? atau ikut terjun bersama?

Dihadapkan pada situasi sahabatku dan membandingkannya dengan situasiku, aku kadang melihat diriku yang 'terasa kejam', tapi juga rasional. Rasionalitas yang muncul untuk melindungi diriku sendiri dari kesakitan karena sebagian yang lain mengabaikan komitmen atas mimpi yang pernah dibangun bersama-sama itu. Meski di sisi lain, hatiku mengatakan: 'jangan ganggu alam yang sedang bekerja memberikan pelajaran kehidupan', seperti juga aku tidak bisa membantu kupu-kupu berjuang keluar dari kepompongnya, jika itu hanya membuat si kupi-kupu justru kehilangan kemampuan untuk terbang.

Ada hal-hal yang memang aku lebih baik tidak mengintervensi proses pembelajaran atas kehidupan orang lain. Aku sudah memilih keluar dari ruangan itu. Dan yang lain memilih tetap tinggal. Semua sama-sama mendapat kesempatan untuk memilih.

Sometimes you fucked up and you couldn't set them free. But you knew the concequences.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah