Skip to main content

Aku Adalah Rentang Keragamanan Pekerjaanku



Aku paling bingung menjelaskan apa sesungguhnya pekerjaanku. Pertama karena yang aku kerjakan cukup banyak dan beragam. Kedua, jika disebut ga punya profesi yang tetap, ya begitulah aku. Aku ga pernah melewati jenjang karir dengan menduduki jabatan dan posisi tertentu atau menjadi profesional  dalam bidang tertentu sampai naik dan naik trus ada di puncak. Aku bisa dikatakan ga pernah melewati hal-hal demikian. Namun, dari jenis pekerjaan aku mengerjakan rentang pekerjaan dari jenjang yang paling bawah (cleaning service), sampai yang paling tinggi (mengambil keputusan tertinggi dari apa yang aku kerjakan).

Keragaman jenis pekerjaan dan bidang pekerjaan yang aku kerjakan selama ini, membuatku kesulitan menjelaskannya hanya dalam satu kata yang mencerminkan profesi tertentu. Suatu saat, sahabatku pernah menjelaskan pada temannya, tentang apa yang aku kerjakan dan menurutku cukup menggambarkan rentang pekerjaan yang aku lakukan: community developer. Meski istilah ini pun ga otomatis langsung membuat orang mengerti, pekerjaan seperti apakah community developer itu. Karena setelah menyebut pekerjaanku dengan istilah itu, sahabatku harus menjelaskan kembali pada temannya, apa itu community developer. "ya, dia bikin sebuah tempat, namanya tobucil disitu ada kegiatan belajar menulis, diskusi, workshop, pameran.." Begitulah penjelasan singkat sahabatku tentang pekerjaanku yang dia sebut sebagai community developer.

Sebutan itu, memang menjadi tepat ketika konteksnya hanya dibatasi pada apa yang kulakukan di tobucil, tapi bagaimana dengan hal lain-lain yang kukerjakan? Apakah, memanajeri sebuah string quartet, menjadi peneliti lepas, crafter bisa disatukan dalam sebuah label profesi tertentu? Kadang aku suka iseng menyebut diriku sebagai penyedia jasa. Tergantung pemesan, heheheh.. kecuali pekerjaan sebagai community developer dari tahun 2001 sampai sekarang lewat tobucil. Sepertinya itu satu-satunya pekerjaan tetapku dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir. Sisanya ya freelancer dengan variasi bidang pekerjaan yang cukup luas. Benang merah dari semua keragamanan pekerjaan yang kulakukan itu adalah koridor sosial dan budaya. Meskipun yang kulakukan sekarang dengan sahabatku si pembalap gadungan, ga berhubungan dengan koridor itu karena ini ilmu komputasi. Sebuah titik baru yang membuat rentang keragaman pekerjaanku menjadi meluas.

***

Sebenarnya, aku ga terlalu mempersoalkan kebingunganku sendiri dalam menjelaskan pekerjaanku. Satu saat aku bisa menyebut diriku: pedagang, bisa juga peneliti, atau manager, crafter, atau apapun itu. Hanya saja kemudian aku tergelitik untuk membaca kembali rentang pekerjaanku yang beraneka ragam itu dan mencoba melihatnya dalam satu kerangka yang saling berkaitan. Dan sepertinya community developer, menjadi satu jenis  pekerjaan yang ternyata memang memerlukan keterampilan pekerjaan-pekerjaan lain. Untuk bisa membangun sebuah komunitas, aku memerlukan kemampuan sebagai peneliti karena komunitas pasti membutuhkan riset untuk membuat strategi pengembangan. Keahlian sebagai crafter juga diperlukan untuk melatih kemampuan mengeksekusi dari gagasan menjadi sesuatu yang kongkrit. Kemampuan managerial udah jelas diperlukan, karena tanpa keahlian itu, mana mungkin bisa mengembangkan komunitas. Aku jadi mendapat penjelasan untuk diriku sendiri, bahwa rentang keragaman pekerjaanku itu disebabkan karena aku merasa perlu bisa mengerjakan banyak hal. Aku tipe orang yang perlu mengetahui dan memahami proses dari awal sampai akhir dan bisa menjalankannya. Bukan karena aku tidak percaya pada orang lain untuk mengerjakan tiap-tiap bagian dari proses itu, namun dengan pengetahuan itu, aku bisa mengerti pekerjaanku sendiri secara utuh. Dan tentunya, saat mendelegasikan bagian-bagian pekerjaan itu, aku tau apa yang harus kulakukan.

Bagiku, sulit untuk membuat pembeda dan pemisah, antara pekerjaan dan hidupku. Hidup adalah kerja keras itu sendiri untuk menemukan kebaruan-kebaruan dan kualitas hidup. Dan pekerjaan seperti sebuah tools untuk menggali kebaruan-kebaruan itu. Aku tidak membatasi rentang keragaman minatku dengan batasan karir atau pendalamanan satu profesi tentu. Sepanjang keragaman keahlian yang aku dapatkan dari pekerjaan-pekerjaan itu bisa memberikan banyak manfaat, bukan hanya pada diriku sendiri, namun juga pada orang lain, pada sekelilingku, mengapa tidak. Konsekuensi logis dari pilihan ini adalah, aku memang ga bisa atau akan mengalami kesulitan untuk masuk pada sebuah sistem yang sudah mapan atau sebuah sistem yang membatasi aku hanya pada satu bidang pekerjaan tertentu dengan aturan yang rigid. Karena sistem yang seperti itu akan membatasi banyak potensi yang aku miliki dan mempersempit rentang keragaman minatku itu. Karenanya, aku perlu menciptakan sistem sendiri yang bisa mengakomodasi rentang keragaman dan kebutuhan ku.

Jadi jelas bagiku, bahwa pekerjaan bukan sekedar persoalan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam hidup, tapi pekerjaan adalah sejumlah kesempatan untuk menemukan kualitas hidup. Itu sebabnya, penting bagiku untuk menentukan posisi tawarku dari setiap pekerjaan yang aku terima. Penting untuk menentukan tujuan dari sebuah pekerjaan di awal. Mengapa aku menerima pekerjaan yang ini, bukan yang itu. Bagaimana dengan demensi moral, waktu, ekonomi, spiritual (mendapatkan pengalaman-pengalaman baru, perspektif baru buatku itu bisa menjadi sangat spiritual). Karena tujuan dengan langkah-langkah juga mesti sinkron. Kalo ga, ya eror nanti hasilnya. Termasuk juga mempertimbangkan resikonya. Tidak ada kesempatan dan pekerjaan yang tidak mengandung resiko yang menjadi penting dalam menghadapi resiko adalah kejujuran dalam menghitung kemampuanku untuk menghadapinya sesuai dengan situasi dan kondisi. Aku ga bisa memanipulasi diriku untuk pekerjaan-pekerjaan yang resikonya sudah jelas-jelas tidak mungkin aku sanggup menanggungnya, secara fisik maupun mental. Bahkan saat mencoba pekerjaan baru atau mencoba kemampuanku pada batas yang paling jauh, itupun bukan tanpa perhitungan atau bisa dilakukan dengan modal nekat belaka. Kalau dalam ilmu sahabatku, itulah yang disebut dengan menentukan rentang kemungkinan-kemungkinan paling dekat dan yang paling jauh. Aku yakin, setiap orang jika mau melakukan perhitungan itu pada dirinya sendiri dengan jujur, dapat menemukan batas terjauh dan terdekat atau terendah dan tertinggi dari kemampuannya sendiri. Dan rentang kemampuan ini sesuatu yang bergerak terus. Dinamis, karena hidup adalah pergerakan itu sendiri.

Rasanya jika pekerjaan itu bisa mendefinisikan seseorang. Aku lebih memilih, aku yang mendefinisikan pekerjaanku, bukan pekerjaan yang mendefinisikan siapa aku. Aku adalah kebaruan-kebaruan itu sendiri yang kudapat lewat tools bernama pekerjaan dengan rentang keragaman yang luas dan membuatku mampu membangun kualitas diri sebagai manusia..

(Aku jadi geli sendiri, aku menuliskan tulisan ini tanpa sadar terpengaruh logika penjelasan MSB-First Bounded Interval Dynamic Precision hihihih... )

Comments

I. Widiastuti said…
"aku yang mendefinisikan pekerjaanku" bisa jadi betul ya mbak...take control with everything we do.

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah