Skip to main content

Selamat Jalan Gus Dur


Foto diambil dari KOMPAS

 Aku ga tau, perasaan apa ini? tapi rasanya aku emang sedih dengan kematian Gus Dur. Bagiku Gus Dur seperti jaminan keragaman, pemikiran alternatif  dan pengakukan terhadap kelompok minoritas yang selama ini dianggap liyan, bisa tumbuh dan berkembang di negeri yang sedang belajar jadi dewasa ini. Jika penjamin itu tidak ada lagi, apa yang akan terjadi kemudian? Ku kira, selain kesedihan, perasaan yang menguasai banyak orang adalah  kekawatiran. Setiap orang yang bersetuju dengan keragaman dan pluralitas serta mendukung hak-hak minoritas, mesti menemukan keyakinan untuk menjamin keyakinan dan dukungannya itu, tanpa Gus Dur sebagai tameng yang siap menghadapi kekuasaan anti keberagaman dan abai terhadap hak minoritas.

Kepergian Gus Dur seperti kepergiaan guru, bapak yang selama ini memberi jaminan 'zona aman' pada murid dan anak-anaknya untuk terus berpikir alternatif dan mengahargai keragamanan. Gus Dur seperti meretaskan jalan memberi keberanian dan dukungan moril bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan dan keragamanan, bahwa kemuliaan ada pada sikap menghargai minoritas. Dan sekarang, jalan yang telah dirintis, keberanian untuk berbeda yang telah disemaikan itu, jadi warisan penting yang perlu terus menerus di perjuangkan.

Jasadmu mungkin sekarang sedang jadi rayahan cacing tanah, tapi inspirasi dan apa yang selalu kamu perjuangkan ga akan pernah mati.
Aku sungguh kehilanganmu..

Selamat kembali pada Sang Maha Plural..
 

Comments

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah