Skip to main content

Surat Untuk Alergi



Alergi sayang,

Sepertinya aku memang harus kompromi denganmu, tapi bagaimana? aku sedang mencari-cari caranya. Kamu bisa datang setiap pagi dan petang, meski sewaktu-waktu kamu bisa menggila seperti sekarang ini: memblok hidungku, sehingga seharian aku mesti bernafas dengan mulutku dan menjaganya dari hal-hal yang bisa membuat tenggorokanku terganggu .

Tiba-tiba aku teringat kembali bagaimana di umur 8 sampai 10 tahun dulu, aku sering sekali mimisan tiba-tiba. Ibuku biasanya langsung menymbatkan gulungan daun sirih yang di tanam di halaman rumah di salah satu lubang hidungku. Aku paling benci saat-saat seperti itu. Selain aku jadi tampak lucu dengan sumbat daun sirih itu, aku juga jadi susah bernafas. Tapi hal itu perlu dilakukan, daripada darah terus menerus mengucur dari hidung dan aku terpaksa harus diam di rumah. Jadi pilihannya waktu itu: tetap bermain dengan sumbat daun sirih di hidung, atau tanpa daun sirih dan aku harus berbaring di rumah? tentunya aku pilih yang pertama. Karena bermain adalah segalanya pada saat itu.

Saat seperti sekarang, rasanya kematian itu dekat sekali di depan mata. Jika tenggorakanku ikut memblok jalan nafasku juga, atau aku tersedak, maka matilah aku gara-gara ga bisa bernafas. Aku bertanya pada sahabatku: haruskah aku melawanmu atau berkompromi denganmu? dia bilang (dan seperti tiga orang dokter yang pernah aku datangi): kompromi saja. Tapi gimana? di saat nafasku pendek-pendek begini, dorongan untuk menyerah atau melawanmu dengan keputusasaan begitu besar. Karena menghadapimu begitu melelahkan (seperti ikatan seumur hidup ga bisa dilepaskan dengan mudah). Mungkin juga karena aku belum paham caranya bersahabat denganmu.

Baiklah, aku mengikuti saran sahabatku si pembalap gadungan,  untuk menguapi dengan air mendidih dan secolek balsem (karena ga ada minyak kayu putih). Kulakukan pengobatan masokis ini sebagai cara berkompromi denganmu. Meski rasanya seperti menyedot sesendok wasabi yang membuat gumpalan2 ingus yang mengendap di sinusku meleleh seketika. Untuk sementara, kukira cara seperti ini cukup untuk membuat kamu berkompromi denganku. Cara ini kukira lebih bijaksama (meski cukup menyiksa ketika melakukannya) daripada meracuni terus menerus tubuhku dengan obat-obat anti alergi  yang aku minum sebanyak apapun, tak membuat kau menghilang dari tubuhku.

Kurasa kau memang datang di saat yang benar-benar tepat, diakhir tahun, di saat sebagian orang biasanya berefleksi tentang hidupnya setahun terakhir. Kehadiranmu itu, membuat aku bukan hanya berefleksi tapi juga membuatku dengan sangat serius mencari cara untuk kompromi denganmu di hari-hari mendatang. Sama seperti situasi yang kupertimbangkan di usia 8-10 tahun itu, bahwa di hari-hari mendatang (jika umur panjang) ada sederet pekerjaan yang sudah masuk daftar yang harus ku lakukan di 2010. Jadi tanpa persahabatan  dan menemukan cara kompromi denganmu, pekerjaan-pekerjaan itu mustahil terlaksana.

Hal pertama untuk menjalani jalan panjang kompromi denganmu adalah aku menyatakan: aku ingin bersahabat denganmu. Terimalah niatku dan berilah aku kesempatan untuk menjalin persahabatan denganmu.

:maka izinkan aku malam ini tidur dengan nyenyak.. aku benar-benar membutuhkannya.

sahabat barumu,
t

Comments

Puwi said…
salam kenal :)
waktu aku membaca surat untuk "sahabatmu" itu, aku merasa sedih, geli, lucu, campur sebel..
memang menyebalkan sekali punya sahabat spt itu.
aku jg punya sahabat sepertimu. datang setiap pagi, siang, sore, malam.. datang di setiap waktu.. rasanya pengen bgt ganti hidung.. tp mau gimana lagi?? itu adalah sahabat kita :P
vitarlenology said…
halo salam kenal juga... sudah seminggu terakhir ini aku mencoba terapi air jahe. karena bandung sedang dingin2nya dan bisa bikin tengah malam hidung tiba2 tersumbat ga bisa nafas, akhirnya ibuku membuatkan aku air jahe (jahe di geprak kasih air dan gula merah trus di rebus), aku minum sebelum tidur dan pagi setelah bangun tidur.. hasilnya alhamdulillah, udah seminggu ini aku bangun dengan hidung lega ga bersin-bersin dan meler, mungkin karena badanku jadi lebih anget karena minum air jahe.. coba aja siapa tau manjur..:)
Puwi said…
ow... thanks buat "terapi"nya... :)
aku coba yaa...

btw nyiumin bantal kesayangan jg jadi pantangan nih buat aku...hehehe... seumur hidupku, aku punya 1 bantal kesayangan (dari bayi) yg selalu aku cium2 sebelum tidur... dan berdampak dahsyat di keesokkan harinya... hahaha.... :D
vitarlenology said…
hahahah... semakin dasyat ciumannya semakin parah bersinnya.. :))

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah