Skip to main content

#30hari30film Lord of The Flies (1963)

* * * * 1/2
Sutradara: Peter Brook



Bayangkan 30 orang anak laki-laki, terdampar di sebuah pulau karena pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Tiga puluh orang anak ini mesti memikirkan cara bagaimana bertahan hidup dan mencari pertolongan. Sebuah film yang diangkat dari novel karya William Colding dan digarap oleh sutradara Peter Brook.

Ketiga puluh orang anak laki-laki ini terbagi kedalam dua kelompok: kelompok paduan suara dengan Jack sebagai pemimpinnya dan siswa-siswa lainnya dengan Ralp sebagai pemimpinnya. Ketika dua kelompok ini bertemu, baik Ralpo maupun Jack, sama-sama ingin menjadi pemimpin bagi dua kelompok ini untuk mencari jalan penyelamatan mereka. Saat dilakukan pemilihan suara, mayoritas dari anggota kedua kelompok itu lebih memilih Ralp sebagai pemimpin mereka dan Jack terpaksa menerima keputusan itu. 

Sebagai pemimpin, Ralp kemudian berbagi tugas. Jack dan kelompok paduan suaranya membuat api dan berburu, sementara Ralp dan lainnya menyiapkan tempat bagi mereka untuk berteduh. Diantara kelompok itu, ada tokoh Piggy, seorang siswa gemuk, penderita asma yang menjadi bahan olok-olok di kelompok itu. Namun dibandingkan dengan yang lain, Piggy lebih rasional dan selalu memberi pandangan yang berbeda dalam kelompok. Hal ini membuatnya semakin diolok-olok dan jadi bulan-bulanan kelompok yang lain. Menjadi berbeda pada usia itu, tidak mudah dan perlu keberanian dan kecuekan ekstra.  

Kekompakan kelompok ini mulai terganggu ketika suatu hari, Jack dan kelompok paduan suaranya sibuk berburu dan api yang seharusnya mereka jaga agar tetap menyala,  tiba-tiba padam. Tepat di saat pesawat terbang melintas di atas mereka. Ralp menyalahkan Jack karena kesempatan untuk bisa diselamatkan oleh pesawat itu, hilang sudah. Sementara Jack merasa, tanpa hewan buruan yang ia dan kelompok paduan suaranya dapatkan, maka kelompok besar ini tidak akan bertahan. Kekompakan pun terbelah. Jack tidak lagi menghiraukan Ralp sebagai pemimpin kelompok  terpilih. Jack merasa perannya jauh lebih besar karena ia yang menyediakan makanan untuk kelompok itu, ia merasa otoritasnya jauh lebih besar daripada Ralp. 

Perpecahan dalam kelompok ini diperburuk, ketika sebagaian besar anggota kelompok mempercayai bahwa ada monster penghuni pulau itu yang mengincar mereka setiap malam. Piggy yang pertama kali menyatakan bahwa ia tidak mempercayai keberadaan monster di pulau itu. Sementara anggota kelompok lain, ada dalam keraguan apakah harus mempercayainya juga atau tidak. Ralp dan Jack sebagai dua orang yang dianggap sebagai pimpinan di kelompok itu, mesti membuktikan kebenaran soal monster penghuni pulau. 

Rupaya dalam hal ini Ralp tidak seberani Jack dalam upaya pembuktian. Jack yang memilih maju, melihat seperti apa gerangan monster yang tinggal di puncak bukit karang  di pulau itu. Kegugupan dan ketakutan berbalut ego karena ingin merebut tempat sebagai pemimpin kelompok, membuat Jack berbohong tentang kenyataan 'monster' yang dia lihat dan membesar-besarkannya, lalu menjadikannya mitos dalam kelompok itu. 

Dengan bermodalkan mitos yang ia bangun tentang monster penghuni pulau, Jack membentuk kelompoknya sendiri dan meninggalkan Ralp, Piggy dan anggota kelompok yang paling kecil. Ia membentuk 'suku'nya sendiri. Menciptakan ritual berdasarkan mitos yang ia karang. Rasionalitas kalah dukungan. Ralp, sebagai sosok pemimpin yang dipilih secara demokratis, kehilangan pamor dan wibawanya. 

Simon, anggota kelompok yang paling pendiam dan tidak mempercayai keberadaan mitos monster itu, diam-diam pergi ke tempat monster itu berada dan membuktikan bahwa itu hanyalah omong kosong belaka. Upaya Simon ini, tentu saja dianggap mengganggu status quo yang diciptakan Jack dalam kelompoknya. Simon mendapatkan hukuman, dipukuli sampai mati. 

Kenyataan ini. semakin membuat Ralp ciut dan mulai kehilangan harapan. Piggy lah yang kemudian berusaha terus untuk menyemangati Ralp dan mengingatkan Ralp untuk fokus pada upaya mencari penyelamatan agar mereka bisa keluar dari pulau tersebut. Sementara Jack, semakin menikmati kekuasaannya di antara kelompok yang ia bangun. Jack bahkan memerintahkan anak buahnya untuk mencuri kacamata milik Piggy yang selama ini dijadikan alat satu-satunya untuk membuat api. Ketika Ralp berusaha merebutnya kembali dari tangan Jack, Ralp malah harus kehilangan Piggy. 

Tinggallah Ralp sendiri, melawan kelompok yang dulunya kawan, kini memburunya sebagai lawan. Sampai keputusasaan itu semakin dekat menghampiri, penyelamatan itu akhirnya datang.

***
Film ini diangkat dari novel garapan sastrawan Inggris,  William Colding yang diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan memenangkan hadiah Nobel sastra pada tahun 1983.  Mengambil lokasi syuting di Puerto Rico, film garapan sutradara Inggris, Peter Brook tahun 1963 ini, tampil hitam putih dan menjadi salah satu film yang masuk dalam kategori 'criterion collection'. Hampir semua krikus memberi penilaian yang sangat positif terhadap film ini, untuk garapannya ini, Peter Brooks dinominasikan sebagai sutradara terbaik di Festival Cannes tahun 1963. Selain dikenal sebagai sutradara film, Brooks juga dikenal sebagai sutradara  dan produser teater yang handal. 

Buatku, kesederhanaan setting dan karakter-karakter yang diwakili oleh anak-anak ini, begitu kuat sekaligus mengganggu. Penonton seperti dibawa kepada ingatan masa kecil, saat permainan antar kelompok di masa kecil dulu menjadi awal dari pelajaran berpolitik di dalam kelompok dengan kepolosan dan tanpa rasa bersalah. Dan apa yang dipelajari dan dipahami lewat permainan itu, menjadi modal penting saat berhadapan dengan politik kelompok di saat dewasa, termasuk juga pola-pola politik kelompok yang kembali berulang  dalam ketidak polosannya, penuh dengan intrik serta kesengajaan dan rencana. Mungkin itu yang membedakan kepolosan dan spontanitas masa kecil dan masa dewasa yang seringkali kehilangan semua itu. Kadang ketika di masa dewasa kepolosan dan spontanitas itu ingin dipertahankan, justru kita menjadi orang dewasa yang dianggap tidak bertanggung jawab. 

Karakter Ralp, Jack, Piggy, Simon, adalah karakter-karakter yang akrab dengan diriku. Karena di masa kecil dulu, aku merasa pernah menjadi seperti mereka.  Aku belum sempat baca novelnya, jadi aku ga bisa menilai sejauh mana film ini berhasil menerjemahkan apa yang ingin di sampaikan si novel. Tapi menurutku, sebagai sebuah karya mandiri, film ini berhasil menyampaikan dengan gamblang dan jelas apa yang ingin diceritakan. Yang jelas aku selalu 'terganggu' setiap kali menonton film ini. 

Comments

yaniyanis said…
wahwah, terxta film ini dibuat tahun 1963. Mmm... Aq sempat kaget, sedangkan film ini aq nonton di thn 2013 (di TV swasta). Para pemeranx yg anak kecil smw, saat ini sdh menjadi ortu. Gak nyangka.
Makasih ya sdh posting...

Popular posts from this blog

“Rethinking Cool” Gaya Anak Muda Bandung

pic by egga Tak sengaja, suatu siang, saya mendengar percakapan dalam bahasa Sunda dua orang anak laki-laki berseragam SMP di angkot Cihaheum-Ledeng, dalam perjalanan ke tempat kerja saya. “Maneh geus meuli sendal 347 can?” pertanyaan dalam bahasa sunda yang artinya: ‘kamu sudah beli sendal 347 belum? ‘, mengusik saya. Secara reflek, saya memandang si penanya yang duduk di hadapan saya. Ketika memandang mimik mukanya yang berapi-api, mata saya terpaut pada ransel sekolah yang ada dipangkuannya, merek 347, menghiasi ransel berwarna biru tua itu. Temannya yang duduk di sebelah saya menjawab: “acan euy, ku naon aya nu anyar?’ (belum, kenapa ada yang baru?) . Anak SMP yang duduk di hadapan saya itu setengah memarahi temannya: “Payah siah, meuli atuh meh gaul!” (payah kamu, beli dong biar gaul). Saya kaget, sekaligus geli dengan dua orang anak SMP itu. Kegelian saya bukan karena ekspresi mereka, tapi bayangan dandhy yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Teman saya, si pemilik clothing la

Hujan Semalam di Malaysia, Banjir Sebulan di Sembakung*

Foto oleh tarlen Creative Commons Tulisan ini adalah catatan penelitan lapangan yang dibuat untuk Yayasan Interseksi. Tarlen Handayani adalah anggota Tim Peneliti Hak Minoritas dan Multikulturalisme di kawasan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Sembakung. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan saya putuskan sebagai tujuan dari penelitian ini, saat sampai di Nunukan, Kalimantan Timur. Dari rencana semula, wilayah penelitian saya adalah Kepulauan Mentawai, tepatnya di Siberut. Namun, saat workshop persiapan sebelum berangkat ke lapangan, tempat penelitan sepakat di pindah ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur atas pertimbangan beberapa informasi, bahwa Siberut terancam tsunami. Saya menyepakati kepindahan lokasi itu, meski berarti saya harus mempersiapkan semuanya lagi dari awal. Salah satu mentor workshop, Dave Lumenta , memberikan rekomendasi beberapa daerah di sekitar Kecam

Menjadi Kecil Itu Pilihan

Tobucil jepretan Chandra Mirtamiharja Aku sering sekali di tanya, apakah suatu hari nanti tobucil akan menjadi tobusar alias toko buku besar? meski seringnya kujawab sambil bercanda, tapi aku serius ketika bilang, tobucil akan tetap menjadi tobucil. Karena tobucil tetap memilih menjadi kecil. Sebagaian yang mendengar jawabanku bisa menerima meski mungkin ga ngerti-ngerti amat dengan maksudku 'tetap menjadi kecil' , tapi sebagian lagi biasanya langsung protes dan merasa aneh dan menganggapku tidak punya cita-cita besar dan tidak mau mengambil resiko menjadi besar. Biasanya aku akan balik berkata pada mereka yang merasa aneh itu, 'memilih tetap kecil itu bukan pilihan yang mudah loh.' Mungkin ada teman-teman yang kemudian bertanya, 'mengapa menjadi kecil itu bukan pilihan yang mudah?' bukankan kecil  itu sepele, remeh dan sederhana? Ketika memulai sebuah usaha dari hal yang kecil, remeh dan sederhana, itu menjadi hal yang mudah dilakukan. Namun jika sebuah