Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an
Penulis : Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun 2010
Pernah, pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto begitu
anti terhadap rambut gondrong. Bahkan Soeharto pernah memerintahkan dibentuknya
Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong).
Antipati yang sedemikian besar terhadap rambut gondrong ini menjadi kajian sejarah yang menarik dalam buku yang ditulis Aria Wiratma Yudhistira.
Buku ini merupakan hasil skripsinya sebagai mahasiswa di jurusan sejarah Universitas Indonesia, diberi judul: Dilarang Gondrong! Praktik kekuasaan Orde baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an.
Antipati yang sedemikian besar terhadap rambut gondrong ini menjadi kajian sejarah yang menarik dalam buku yang ditulis Aria Wiratma Yudhistira.
Buku ini merupakan hasil skripsinya sebagai mahasiswa di jurusan sejarah Universitas Indonesia, diberi judul: Dilarang Gondrong! Praktik kekuasaan Orde baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an.
Aria mencatat, pernyataan Pangkopkamtib pada tanggal 1
Oktober 1973 dalam sebuah acara perbincangan di TVRI, menyatakan bahwa rambut
gondrong membuat pemuda menjadi Onverschillig
alias acuh tak acuh (hlm 1). Pernyataan ini selanjutnya menjadi pembenaran atas
tindakan anti rambut gondrong. Meski di sisi lain, protes dari kalangan muda
pun bermunculan. Seperti yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1973 dan
dilakukan oleh 11 orang delegasi Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung
(DM-ITB), dengan dipimpin Muslim Tampubolon sebagai ketua perwakilan mahasiswa,
mereka mendatangi DPR-RI di Jakarta untuk memprotes pernyataan Pangkopkamtib
tersebut (hlm. 2). Untuk itu, selanjutnya buku ini mencoba untuk fokus dalam
menelisisk, bagaimana praktek kekuasaan (Orde Baru) diterapkan kepada para
pemuda pada masa itu.
Ketika membicarakan anak muda, Aria berpegang pada dua jenis pengelompokan anak muda.
Pertama yang bersikap apatis terhadap
persoalan politik, dan kedua yang memiliki kesadaran tiinggi terhadap
persoalan bangsa. atau yang disebut sebagai kelompok mahasiswa. (hal 11).
Sementara dua kelompok anak muda ini, berada dalam lingkungan yang menurut
penelitian Saya Shiraishi: “bapak”, “ibu” dan “anak” serta Soeharto sebagai
“Bapak Tertinggi” (Supreme Father). Dengan demikian orang tua memiliki
kedudukan dominan dikarenakan pengalaman hidupnya menuntut penghormatan dari
anak-anaknya (hlm. 10) Dengan
menempatkan Soerharto sebagai ‘bapak Orde Baru’ maka tertutuplah kesempatan
bahwa revolusi di Indonesia dipegang oleh generasi muda, seperti yang telah
terjadi sebelumnya (hal. 33).
Sementara, pada saat Orde Baru mulai membangun pondasinya di
era 1960-an, di Amerika Utara dan Eropa berkembang budaya tandingan yang
dimotori oleh anak-anak muda. Di Amerika Serikat, gerakan hak sipil orang kulit
hitam, gerakan perempuan, gerakan orang-orang hispanik dan penduduk asli
Indian, menjadi cara bagi generasi muda menentang budaya dominan dan tatanan
sosial yang telah mapan yang dibangun setelah Perang Dunia II (hal. 40).
Munculnya perang dingin antara dua blok kekuatan usai Perang Dunia II; Amerika
dan Uni Sovyet, menumbuhkan kejenuhan dan semangat damai anti perang di
kalangan anak muda Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Utara. Hippies lalu muncul
sebagai sebuah gagasan tentang cara hidup atau cara pandang alternatif atau
berbeda dengan kehidupan yang dominan berlaku pada saat itu. Kaum hippies ini
menjadi mudah dikenali karena secara kasat mata dapat dilihat dari
penampilannya yang eksentrik: rambut panjang, jenggot yang dibiarkan tak
dicukur, pakaian longgar aneka warna (psikedelik), sandal, kalung, gelang dan
perempuannya tidak memakai bra (hal. 42-43).
Ketika pengaruh hippies ini masuk ke Indonesia dengan gaya
hidup bohemian, menjadi persoalan karena dianggap mengganggu ketentraman umum
oleh pemerintah (hal. 45). Bahkan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dalam
harian Suara Karya, 22 Januari
1972, mengatakan “Meskipun bagsa Indonesia tekenal ramah tamah, tetapi terhadap
hippies tak perlu ramah dan pada waktunya nanti akan dilarang.” (hal. 46).
Dalam buku ini, Aria melihat bahwa semangat flower generation
yng dibawa oleh kaum hippies ini, ketika masuk dan mempengaruhi gaya hidup
muda-mudi Indonesia, lebih pada persoalan imitasi gaya hidup dan penampilan
daripada simbol pemberontakan terhadap kemapanan seperti yang terjadi di negara
asalnya. Perbedaan ini menurut Aria dikarenakan Indonesia masih berada dalam
tahap transisi, sehingga “kemapanan” secara budaya, ekonomi serta politik belum
tercapai (hal. 54). Namun Aria juga memaparkan bahwa sebagian generasi muda
juga menolak ketika disebut tenggelam
dalam kebudayaan atau pengaruh barat dan terjerumus dalam dekadensi
moral karenanya. Bagi kalangan generasi muda yang membantah, “Kebudajaan kami
bukanlah kebudajaan Indonesia atau kebudajaan Barat, melainkan kebudajaan
internasional” (hal. 95).
Tuduhan dekadensi moral terhadap gaya hidup generasi muda
pada saat itu, juga tidak lepas dari pencitraan yang dibangun oleh media massa.
Lewat judul-judul pemberitaan yang mendeskreditkan rambut gondrong seperti yang
dimuat di harian Pos Kota pada
Oktober 1973: ”7 Pemuda Gondrong Merampok Biskota”, “Waktu Mabuk Di
Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”. Juga yang muncul di
harian lain seperti Angkatan Bersenjata pada tahun yang sama: “5 Pemuda
Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”. Citra buruk diterakan pada rambut
gondrong sehingga identik dengan kriminal dan pelaku kejahatan (bab 5). Upaya
mengkriminalisasikan rambut gondrong menjadi salah satu cara Orde Baru pada
saat itu mengontrol gejolak dan ketidakpuasan generasi muda terhadap kekuasaan pada saat itu.
Yang menarik dari buku ini adalah tidak banyak kajian
sejarah yang menghubungkan persoalan gaya hidup serta kontrol terhadap tubuh
laki-laki sebagai cara untuk mempertahankan status quo dalam kekuasaan Orde
Baru. Rambut gondrong bukan lagi sekedar keinginan tampil beda. Ketika gaya
hidup ini dilakukan secara komunal dengan mengadopsi semangat perlawanan atas
kemapanan, maka rambut gondrong bisa dianggap sebagai ancaman serius bagi
penguasa. (Tarlen Handayani)
Comments
mungkin bermula dari peraturan ini kali yah... sampe sekarang gondrong juga masih dilarang di kampus..